Breaking News

Demokrasi kok Boros ???

"Ucapan ulama sepertinya tidak lagi manjur. Banyak sekali kandidat yang di dukung oleh kyai, nyatanya malah kalah. Kenapa ?. Karena biasanya yang sowan ke kyai adalah kandidat yang notabene tidak punya uang. Pemilih lebih melihat uang daripada memilih taat pada fatwa ulama".

"Dulu, para caleg yang maju dalam kontestasi adalah mereka yang dalam masyarakat sudah terbukti memiliki pengabdian. Maka itulah masyarakat mendukungnya untuk maju. Tapi sekarang, rasanya hal seperti itu sudah sangat langka. Mereka lebih mementingkan pencitraan, mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk memoles dirinya agar di pilih. Dan bukan karena melalui pengabdian pada masyarakat".
Diskusi rutin di Sokotunggal, Rawamangun Jakarta Timur

Ungkapan ini saya kutip dari pernyataan salah satu pentolan MKRI (Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia), Adie Massaedi beberapa saat lalu pada sebuah diskusi rutin yang di gelar di padepokan Sokotunggal Rawamangun, Jakarta. Pernyataan yang saya pikir bukan sekedar isapan jempol semata. Faktanya yang terjadi di lapangan memang demikian. Demokrasi yang di gagas oleh para 'reformis' pasca 98 setidaknya menyisakan bara api yang makin hari makin membakar seluruh struktur yang ada. Masyarakat mendadak di hadapkan kepada sebuah sistem yang sangat kapitalis. Yang semua kegiatan politik selalu bertumpu pada segi materi.

Pernyataan ini juga di amini oleh sohibul bait, Gus Nuril Arifin. Menurut salah satu Dewan Khos Pagar Nusa ini, untuk menjadi caleg DPR RI di sebuah dapil, untuk biaya saksi saja, seorang caleg harus mengeluarkan uang tak kurang dari 300 juta rupiah. Ini belum termasuk biaya alat peraga, biaya kampanye, biaya survey dan biaya biaya lain yang tentu saja angkanya lebih dahsyat lagi. Padahal gaji seorang anggota parlemen tidaklah sebanding dengan pengeluaran yang di korbankan caleg untuk menggapai kursi kekuasaan. Maka tidak heran jika kemudian,  mereka yang menduduki jabatan itu berlomba lomba untuk mengeruk uang rakyat demi mengembalikan modal yang sudah di keluarkan. Politik kapitalis ini bukan saja telah merusak tatanan pemerintahan yang ada, akan tetapi sudah sedemikian masif menghancurkan tatanan sosial di masyarakat. Bahkan sudah masuk ke lembaga keagamaan yang sudah seharusnya steril dari intrik intrik kepentingan.

Dalam kesempatan yang sama, Ratna Sarumpaet, seniman sekaligus Ketua MKRI kurang lebih menyatakan keprihatinan serupa. Aktifis yang sudah malang melintang dalam memperjuangkan demokrasi, kesetaraan dan keadilan ini mengaku heran dengan respons masyarakat yang sangat minim. Jelas jelas ketidak adilan sudah merusak semua nilai di sekitarnya, tapi mereka hanya bisa diam.


Kita Butuh Pressing Group Yang Kuat

Sepertinya memang begitu. Reformasi yang sudah di bangun oleh para pendahulu, nyatanya malah menyeret kondisi bangsa ini ke dalam jurang kapitalistik nan kejam. Persaingan dalam memperebutkan kekuasaan sudah tidak lagi di pijakkan pada pola right man on the right job, akan tetapi lebih bertumpu pada pemilik modal. Partai Politik yang seharusnya menjadi pabrik bagi calon calon kader bangsa, justru menjadi pelopor merebaknya politik kapitalis. Kita bisa melihat bagaimana proses pencalegan yang di lakukan partai politik. Fenomena masuknya puluhan pekerja hiburan yang tanpa melalui kaderisasi layak, fenomena caleg berbau nepotisme, masuknya para pemilik modal sebagai tulang punggung partai dan lain sebagainya.

Dalam demokrasi memang sah sah saja. Setiap warga masyarakat berhak untuk memilih dan di pilih. Akan tetapi sudah seharusnya kepentingan masyarakat yang nanti akan di pimpin menjadi dasar pokok untuk maju. Bisa di bayangkan, apa yang terjadi nanti, ketika seseorang yang sama sekali buta terhadap persoalan masyarakat, tiba tiba tampil menjadi pemimpin ?. Bukankah ini justru akan menjadi malapetaka bagi bangsa ?.

Kondisi yang demikian carut marutnya, sudah saatnya mendapat penanganan serius. Seperti kata Ratna Sarumpaet, masyarakat sebagai pemilik sah negeri ini tidak boleh hanya diam dan jadi penonton. Harus ada gerakan nyata untuk melawan hegemoni kapitalis.

(Di saring dari diskusi rutin malam Jum'at di Pondok Pesantren Sokotunggal Rawamangun, Jakarta)
Penulis : Komandan Gubrak

Tidak ada komentar