Jangan Biarkan 'Dia' Bertarung Sendirian (sebuah surat untuk Para Pencari Gus Dur)
“Nggak penting memikirkan kalah menang, yang penting kebersamaan…”
oleh Mohammad Hafidz Atsani
Begitu
jawaban sederhana dari kawan saya ketika di tanya soal bagaimana
prospek Yenny Wahid dan PKBIBnya di 2014. Kalimat yang menurut saya
cukup tulus. Bukan datang dari seseorang yang memang ikut ambil bagian
dalam struktur partai, bukan aktifis LSM dan setahu saya belum pernah
bertemu langsung dengan idolanya, Gus Dur. Pengembaraannya menuju
peraduan sang tokoh pluralis di mulai justru di saat sang ‘Penakhluk’
telah tiada. Dia datang ketika pesta telah usai. Ketika semua tamu
pulang dan bercengkerama dengan kehidupan ‘baru’nya masing masing.
Menyedihkan
mungkin. Mimpinya untuk ikut mencicipi lezatnya pesta anggur bersama
sang sastrawan kehidupan mendadak pupus manakala yang ia dapatkan hanya
piring piring kotor, meja kursi yang berserakan dan gelas gelas kusam
dengan bau anggur nan menyengat. Tidak ada sisa, tidak ada setegukpun
yang bisa di kais untuk meredakan kehausan yang melanda tenggorokannya.
Bahkan, yang paling membuatnya begitu teramat terpukul adalah, tidak ada
sang sastrawan kehidupan di sana. Sunyi, senyap dan hening.
Cut…cut…!
Abaikan
sejenak kalimat kalimat yang tidak terlalu puitis di atas dan mari kita
kembali ke dunia nyata. Dunia fakta, dan dunia yang ilmu hitung masih
berlaku. He he he…
PKBIB. Terus terang saya belum terlalu
familiar mengucapkannya. Bahkan kepanjangannya apa, juga belum hafal
betul. Yang mungkin tersisa dalam ingatan saya barangkali hanya satu
kata kunci. Yenny Wahid. Nama lengkapnya Zannuba Arifah Chafsoh. Putri
kedua Gus Dur yang lahir dari rahim ibu Shinta Nuriyah pada tanggal 29
Oktober 1974 ini mungkin tak asing lagi di blantika politik nasional.
Pernah menjadi staf kepresidenan di awal pemerintahan SBY, sempat di
daulat sebagai sekjen partai besutan bapaknya, namun perlahan tapi pasti
terpental dari pusaran.
Banyak yang memprediksi bahwa
karir politik anak biologis Gus Dur ini bakalan tamat seiring makin
rapuhnya perlawanan kubu PKB Gus Dur terhadap Muhaimin. Logikanya
sederhana, saat sang ayah masih berdiri tegak di belakangnya saja, ibu
dari Malica Aurora Madhura ini tak pernah sanggup menghentikan dominasi
lawan politiknya di PKB. Lalu apa yang bisa di perbuat ketika kini ia
sendirian ?.
Saya masih ingat betul, di awal pasca
wafatnya sang ‘Penakhluk’, Yenny Wahid masih cukup punya kemampuan
untuk menggalang para pendukungnya. Sukses ikut ambil bagian dalam event
event peringatan wafatnya Gus Dur, sukses membuat kubu Muhaimin pontang
panting meredam manuvernya, dan puncaknya adalah di selenggarakannya
muktamar PKB Gus Dur di Surabaya yang sudah kita duga dari awal menjadi
tempat pengukuhan Yenny Wahid sebagai ujung tombak PKB Gus Dur.
Cerita
menarik dari wanita cantik yang juga menjadi direktur di Wahid
Institute ini tak cukup hanya sampai di situ. Kendati sukses
menyelenggarakan muktamar di Surabaya, usahanya untuk mematahkan
dominasi Muhaimin rupanya belum mencapai titik hasil yang memuaskan.
Apalagi secara de jure PKB Muhaimin di anggap lebih sah secara hukum.
Praktis perlawanan demi perlawanan yang di lakukan kubu PKB Gus Dur
hanya menabrak tembok beton yang keras bukan main.
2011
PKB Gus Dur bermetamorphose menjadi PKBN. Dengan mengusung logo yang
hampir mirip dengan PKB Muhaimin, partai ini di daftarkan ke kementerian
hukum dan HAM. Tapi nahas, PKBN di vonis tidak lolos verifikasi.
Terlepas bahwa kegagalan PKBN lolos verifikasi itu di karenakan ada
tangan kuat yang sengaja menggagalkan, yang pasti sejak itu saya dan
mungkin banyak orang menganggap bahwa perlawanan PKB Gus Dur sudah
berakhir. Game over.
Namun rupanya perkiraan saya sedikit
meleset. Seperti tabiat bapaknya, Yenny Wahid rupanya belum mengenal
kata menyerah. Awal Juli 2012, bersama Kartini Syahrir (Ketua Partai
Perjuangan Indonesia Baru), Yenny Wahid membuat kesepakatan untuk
menyatukan langkah dengan melebur PKBN dan PPIB menjadi satu wadah
bernama PKBIB (Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru). Dalam Kongres
PPIB yang di selenggarakan di hotel Red Top, 12 Juli 2012, Yenny Wahid
di percaya sebagai ketua umum dan mendapat amanat untuk meloloskan
partai hasil merger ini untuk ikut bertanding di 2014.
Lalu bagaimana prospek PKBIB di 2014 ?.
Jika
kita mengacu pada suara PKB di pemilu 2009 yang hanya mampu
mengumpulkan angka sekitar 5% atau separuh dari yang pernah di hasilkan
di pemilu sebelumnya, tentu kita akan menyimpulkan bahwa PKBIB
setidaknya masih punya harapan untuk survive. Minimal jika kita
asumsikan suara yang hilang itu adalah suara loyalis PKB Gus Dur, angka
5% sudah di pegang. Ini belum termasuk tambahan suara dari PPIB yang
walaupun di 2009 hanya mengumpulkan suara ratusan ribu.
Akan
tetapi itu sekedar hitung hitungan di atas kertas. Dan sebaiknya semua
elemen di PKBIB tidak menggunakan kalkulasi cara kuno itu. Selain hanya
akan memperpanjang polemik dengan PKB yang pada akhirnya bisa jadi
boomerang buat kemajuan partai, asumsi seperti itu juga menyesatkan.
Karakteristik
pemilih kita sebagian besar bukan tipe pemilih yang loyal. Tidak ada
jaminan pemenang pemilu kemarin akan memenangkan kembali di pemilu
selanjutnya. Kedua, jumlah suara mengambang alias mereka yang belum
menentukan pilihan hingga hari ini masih relatif besar. Angkanya di
atas 25%. Apalagi menurut perkiraan kami, pemilu 2014 nanti jumlah
peserta pemilu bisa jadi tidak lebih banyak dari pemilu sebelumnya.
Jadi, apa yang mau di rebut dan ributkan dengan PKB ?.
Tentu
bukan pekerjaan mudah, untuk sekedar survive di 2014. Apalagi seperti
yang kita tahu, PKBIB bukan partai borjuis yang punya stok dana
melimpah. Jangankan untuk beriklan di media massa, untuk urusan kantor
saja mesti setengah mati mengusahakannya. Bahkan beberapa saat lalu saya
sempat mendapat curhat dari salah satu ketua cabang PKBIB, belum
kompetisi saja sudah harus bersaing dengan partai lain yang dananya jauh
lebih kuat, untuk mendapatkan minimal 1000 anggota partai, sebagai
syarat kelolosan tingkat kabupaten/kota. Pusing khan ?.
Belum lagi urusan rebutan ‘suhu’. Ha ha ha…
Untuk
yang terakhir ini sebagai seorang santri, saya cukup memaklumi. Bahwa
bagaimanapun keberadaan tokoh kharismatik di tengah tengah para politisi
tentu sangatlah penting. Ibarat anak nakal, ada orang tua yang berperan
sebagai pengingat dan pengayom. Selain itu, keberadaan sesepuh juga
berpotensi menaikkan elektabilitas suara. Tapi menurut saya, hal semacam
ini tidak harus di jadikan halangan untuk terus berjuang. Kalau memang
sesepuhnya enggan bersinggungan dengan politik atau mungkin lebih nyaman
di tempat lain, ya nggak perlu di ratapi.
Justru harus
menjadi pelecut bagi anak anak muda untuk kreatif dan mandiri. Dan juga
kita harus ingat, bahwa negri ini di dirikan oleh anak anak muda yang
punya semangat dan daya juang tinggi. Soekarno ketika menjadi Presiden
umurnya 44 tahun, KH Wahid Hasyim ketika menjadi anggota BPUPKI umurnya
baru 31 tahun. Hayam Wuruk sewaktu naik tahta dan mengangkangi nusantara
di usia muda. Revolusi di Timur Tengah juga di galang oleh anak anak
muda. Jadi mau model apalagi ?.
Saya senang, banyak sekali
kader muda di PKBIB. Baik di DPP, apalagi mereka yang duduk di level di
bawahnya. Ini prospek bagus untuk masa depan yang lebih baik. Yang
terpenting harus ikhlas berjuang. Saya kira para sesepuh juga akan
melihat apa yang kita kerjakan. Kalau bagus, pasti di dukung. Kalau
masih tetap sama dengan politisi yang lain, ya siap siap di tinggalkan.
Nggak penting memikirkan kalah menang, yang penting kebersamaan. He he he…
Merdeka!!!
Tidak ada komentar