Breaking News

Fakta Lengsernya Gus Dur

"Tiga minggu sebelum Gus Dur di jatuhkan melalui SI MPR, Mahfudz MD mengatakan bahwa ada utusan yang mewakili beberapa ormas ingin menghadap Gus Dur. Utusan ini bermaksud menawarkan diri membela Gus Dur dengan mengerahkan jutaan umat Islam guna mengepung Senayan. Namun utusan ini meminta syarat kepada Gus Dur untuk mengeluarkan maklumat untuk mengganti Pancasila dengan syariat Islam. Mahfudz MD kemudian menyampaikan perihal ini kepada Gus Dur"



Artikel ini kami tulis berdasarkan testimoni Ketua MK, Prof DR Mahfud MD dalam acara diskusi Gusdurian, Jum'at 4 Januari di Kantor Wahid Institute

Kasus ini di mulai ketika Ir Sapuan (wakil kabulog kala itu) dengan di antar Suwondo menghadap Presiden Wahid di istana guna membicarakan masalah krisis yang melanda Indonesia. Setelah pertemuan itu Suwondo yang konon mengaku sebagai teman dari presiden Wahid meminta Sapuan untuk mengeluarkan dana bulog sebesar 35 milyar rupiah guna mengatasi krisis yang di maksud. Karena Sapuan menganggap Suwondo sebagai ‘orang’nya Presiden dan lagi ia di janjikan akan di angkat sebagai Kepala Bulog setelah dana itu cair maka ia bersedia membantu.

Menurut keterangan Mahfudz MD, Presiden memang membutuhkan dana untuk menanggulangi krisis. Akan tetapi Presiden Wahid sama sekali tidak meminta dana itu harus di ambilkan dari bulog. Pencairan dana bulog ini (seperti keterangan tersangka di pengadilan) murni atas inisiatif kedua orang itu (Sapuan dan Suwondo). Pengadilan tidak pernah menyebut bahwa Presiden Abdurrahman Wahid terlibat dalam kasus ini. Hingga kedua orang ini di putus hukuman masing masing 4 tahun penjara, keterlibatan Gus Dur dalam kasus Bulogate tidak pernah bisa di buktikan. Bahkan Kejagung akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Perkara) untuk Presiden Wahid. Dengan demikian, secara hukum Gus Dur bersih dari kasus Bulogate, tegas Ketua MK yang juga mantan menteri di era Presiden Abdurrahman Wahid itu.

Demikian juga dengan kasus Bruneigate. Kasus ini menurut Mahfud MD tidak bisa di pidanakan karena dana yang di maksud bukan di minta oleh kepala negara kepada negara lain, melainkan murni berupa dana bantuan (zakat) Raja Brunei untuk masyarakat Indonesia.

Namun demikian, kasus ini oleh kalangan politisi di sikapi lain. Kalangan DPR yang sudah kadung percaya bahwa Gus Dur terlibat dalam kasus itu kemudian membentuk Pansus Dana Yanatera Bulog dengan tujuan untuk meminta keterangan soal kasus bulogate dan bruneigate. Secara hukum tatanegara, keberadaan pansus ini sebenarnya cacat hukum. Pembentukan Pansus yang menurut UU  No 6/1954 mensyaratkan adanya pencatatan melalui lembar negara pada prakteknya tidak pernah di penuhi. Pansus tetap bekerja walaupun tanpa melalui prosedur yang di atur dalam hukum tata negara.

Dalam UU No 6/1954 di sebutkan :

UU No. 6/1954 Tentang Hak Angket DPR pasal 2 ayat 1 : "Putusan selengkapnya termaksud dalam ayat (2) pasal 1 diumumkan dengan resmi dalam Berita Negara, sesuai dengan risalah Dewan Perwakilan Rakyat yang bersangkutan"

Pansus yang di pimpin Bakhtiar Chamsah (anggota FPPP) ini nyata nyata cacat hukum karena kenyataannya kegiatan ini baru di catatkan pada berita negara setelah tiga bulan bekerja. Dengan demikian, maka bisa di katakan keberadaan pansus ini sebenarnya illegal.

Berangkat dari hasil pansus dana Yanatera Bulog, DPR yang sejak awal sepertinya memang berniat menjatuhkan presiden kemudian menjatuhkan surat memorandum I pada tanggal  1 Februari 2001. Memorandum ini oleh Gus Dur di tolak. Penolakan ini kemudian membuat DPR lagi lagi mengeluarkan memorandum II di bulan Mei.

Pada tanggal 2 Juni 2001, Gus Dur meminta  Jenderal Suroyo Bimantoro mundur sebagai Kapolri dan melantik Irjen Chaerudin Ismail sebagai Wakapolri. Permintaan Gus Dur ini rupanya mendapatkan perlawanan di tubuh Polri. Namun Gus Dur bergeming, pada tanggal 1 Juli bertepatan dengan hari Bayangkara, Presiden resmi memberhentikan Jendral Bimantoro dari jabatan sebagai Kapolri dan di susul pada tanggal 21 Juli 2001 Presiden melantik secara resmi melantik Chaerudin Ismail sebagai penjabat sementara Kapolri.

Tindakan ini kemudian memantik reaksi DPR yang akhirnya meminta MPR untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa dengan alasan Presiden telah melanggar  Tap MPR No 6 dan 7/1999 tentang penggantian Kapolri. Menurut Mahfud MD, keputusan DPR yang langsung meminta MPR menggelar SI ini cacat hukum. Seharusnya jika alasannya adalah karena Presiden mengganti Kapolri tanpa persetujuan DPR, upaya yang di lakukan tidak langsung menggelar sidang Istimewa. Untuk kasus Kapolri, DPR seharusnya menyampaikan nota memorandum terlebih dahulu, bukan langsung menggelar sidang istimewa. Ini sesuai dengan Tap MPR no 3/1978 Pasal 7  ayat 2-4 :

(2). Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menganggap Presiden sungguh melanggar
Haluan Negara, maka Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan
memorandum untuk mengingatkan Presiden.
(3). Apabila dalam waktu tiga bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum
Dewan Perwakilan Rakyat tersebut pada ayat (2) pasal ini, maka Dewan
Perwakilan Rakyat menyampaikan memorandum yang kedua.
(4). Apabila dalam waktu satu bulan memorandum yang kedua tersebut pada ayat
(3) pasal ini, tidak diindahkan oleh Presiden, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta Majelis mengadakan Sidang istimewa untuk meminta
pertanggungan jawab Presiden.



Gus Dur dan Syariat Islam

Tiga minggu sebelum Gus Dur di jatuhkan melalui SI MPR, Mahfudz MD mengatakan bahwa ada utusan yang mewakili beberapa ormas ingin menghadap Gus Dur. Utusan ini bermaksud menawarkan diri membela Gus Dur dengan mengerahkan jutaan umat Islam guna mengepung Senayan. Namun utusan ini meminta syarat kepada Gus Dur untuk mengeluarkan maklumat untuk mengganti Pancasila dengan syariat Islam. Mahfudz MD kemudian menyampaikan perihal ini kepada Gus Dur.

Begitu mendapat laporan itu, Gus Dur bukannya menerima tawaran dari kelompok itu, tapi dengan lantang Gus Dur berkata : “Lebih baik saya tidak jadi presiden daripada harus mengganti Pancasila!!”.

Kesimpulan Penulis :

1. Isu bahwa Gus Dur di jatuhkan dari kursi kepresidenan karena kasus Bulogate dan Bruneigate adalah tidak benar. Pengadilan mengatakan Gus Dur tidak terlibat dan Kejaksaan telah mengeluarkan SP3 atas kasus itu terhadap Gus Dur

2. Sidang istimewa MPR 1 Agustus 2001 cacat hukum karena menyalahi prosedur ketatanegaraan

3. Keputusan pemakzulan Presiden alurnya tidak jelas. Di mulai dengan alasan kasus Bulogate/Bruneigate lalu berganti dengan alasan pencopotan Jendral Bimantoro dan terakhir mengenai dekrit Presiden.

4. Tidak ada kejelasan atas dasar pasal apa, haluan negara mana yang di langgar Gus Dur sehingga MPR terpaksa menjatuhkan Presiden

Pasal 4
Majelis dapat memberhentikan Presiden sebelum habis masa jabatannya,
karena :
a. Atas permintaan sendiri.
b. Berhalangan tetap.
c. Sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara.

Penulis : M Hafidz Atsani, Pendiri Komunitas Gubrak Indonesia 
Photografer : Suryo Tanggono

8 komentar:

  1. Bagus tulisannya, mas. Lengkap sekali dengan keterangan Ketetapannya.

    Kalau boleh ditambahkan:
    1) Sumbangan dari Sultan Brunei (bukan dari negara Brunei kepada negara Indonesia) adalah hasil pertemuan H. Masnuh (seorang aktivis NU) disalurkan langsung kepada berbagai yayasan, bukan kepada Presiden GusDur.
    2) Memorandum I cacat dalam isi, karena bunyi Memorandum I DPR saat itu adalah "Presiden diduga kuat melanggar haluan negara" di mana alasan yang sesuai dengan TAP MPR untuk memberhentikan Presiden adalah "sungguh-sungguh melanggar haluan negara."
    Dua pelanggaran memorandum tersebut adalah menggunakan frase "diduga kuat" yang hanya merupakan tuduhan, dan terbuktinya secara hukum bahwa Gus Dur tidak melanggar haluan negara.
    3) GusDur sempat ditawari untuk melakukan deal-deal politik dengan 2 partai politik besar. Kompromi yang diminta adalah Gus Dur tidak memecat-mecat mentrinya, juga Gus Dur memberikan jatah mentri kepada kedua parpol. Pimpinan Parpol yang akan memilih siapa mentri yang akan diajukan kepada Presiden. Ini ditolak oleh Gus Dur, dilandasi prinsip konstitusional: memilih pembantu presiden adalah hak prerogatif Presiden. "Parpol tidak boleh mengatur Presiden. Itu bahaya untuk demokrasi!" demikian kata Gus Dur.

    Terimakasih atas tulisannya. Salam.
    - Alissa Wahid -




    BalasHapus
  2. Terima kasih tambahan informasinya mbak Alissa.
    Ini masih ada beberapa bahan hasil me record kemarin yang memang belum sempat di olah....

    BalasHapus
  3. Kemarin sempat hadir, penuh banget, adakah rekaman video-nya?
    Bila ada, alangkah lebih bagus lagi bila diupload di Youtube untuk lebih mudah disebarluaskan lagi.

    Materi tersebut juga dicopy di http://wiki.aswajanu.com/KH_Abdurrahman_Wahid#Fakta_Pelengseran_dari_Presiden
    Semoga membantu menyebarkan.

    Nuwun,



    -Cak Usma-

    BalasHapus
  4. Cak Usma, Kebetulan Team Gubrak nggak mendokumentasikannya secara live. Kayaknya sih ada kawan lain yang bikin video. Tunggu aja, nanti ada kayaknya yang bakal mengunggah ke youtube. Kalau sekedar photo photo, insya Allah besok hasil jepretan kita akan kita upload di web ini...

    BalasHapus
  5. skenario panjang. ......saya tdk simpatik dg Amin Rais saat itu sebagai ketua MPR.....sumbernya persoalan.

    BalasHapus
  6. ini pembelajaran bagi kita semua, agar kita mengambil teladan yang baik dan meninggalkan perilaku saudara saudara kita yang tidak baik, atau bahkan dari kita sendiri yang tidak baik, mulai saat ini kita harus kita tinggalkan semua itu, trims

    BalasHapus
  7. Kalau saya tdk usah repot repot menilai, itu semua jls si amin rais yg iri dan dalang semuanya,,,,, dan tdk usah repot repot menilai kalau Gusdur orgnya tdk baik mana mungkin mpe skrg makamnya di penuhi para peziarah,,,

    BalasHapus
  8. tulisan lama yang perlu diawetkan, saya sangat mengapresiasi almarhum Gusdur,

    BalasHapus