GUS DUR SERING TAK PUNYA UANG
Oleh: KH. Husein Muhammad
Dulu, ketika Gus Dur masih memimpin
NU, Surahman, tetangga desa saya, pernah bekerja membantu beliau di
PBNU. Saban hari menunggu kantor PBNU, sekaligus membersihkan kamar di
mana Gus Dur duduk berkantor. Sebelumnya dia, beberapa tahun membantu di
rumah Kiyai Fuad Amin (alm), pengasuh pesantren Babakan Ciwaringin,
Cirebon, mertua saya, sambil mengaji. Lalu Kiyai Fuad menugaskannya di
PBNU. Surahman pernah bercerita kepada saya mengenai pengalamannya
bekerja di PBNU dan menemani (melayani) Gus Dur. Katanya, setiap hari
Gus Dur menerima banyak sekali surat dari warga dan umatnya di
daerah-daerah ; ada pengurus NU, Kiyai, santri, petani, nelayan, tukang
kebun, pedagang kelontong, dan lain-lain. Surat-surat itu dibacanya satu
per satu. Kebanyakan isinya adalah permohonan bantuan dana untuk
keperluan yang beragam, baik untuk fasilitas organisasi, pembangunan
masjid, mushalla, madrasah, pesantren atau untuk diri sendiri dan
keluarganya yang sedang kekurangan biaya hidup.
Gus Dur
membacanya satu persatu dengan teliti. Ia lalu mengambil kartu pos wesel
yang sengaja disiapkan dan ditaroh di lacinya. Kemudian ia menulis
dengan tangannya sendiri. Di dalamnya ia menuliskan angka rupiah
tertentu dan berbeda-beda. Gus Dur mengambil honor-honor yang
diperolehnya dari tulisan yang dimuat atau dari seminar yang
dihadirinya, lalu dibagi menurut pertimbangannya sendiri. Gus Dur lalu
memanggil Surahman dan memintanya membawa pos-pos wesel itu ke kantor
Pos dan mengirimkannya ke alamatnya masing-masing. Bersama dengan
kartu-kartu pos wesel itu Gus Dur juga menyerahkan uangnya. Saat itu
tidak ada orang lain di situ, kecuali dirinya (Surahman). Pengurus PBNU
yang lain tak pernah tahu soal yang satu ini. Jika kemudian ada yang
tahu, maka pastilah dari mulut Surahman sendiri, tidak yang lain. Bukan
sekali saja Surahman diminta mengerjakan tugas pribadi tersebut, dan dia
tidak tahu Gus Dur masih punya uang lagi atau tidak, sesudah itu.
Adik saya, sekaligus keponakan Gus Dur; Nanik Zahiro, juga bercerita
kepada saya. Dia pernah kuliah di Institute Ilmu Al Qur’an (IIQ),
Jakarta, awal tahun 90 an, dengan biaya dari Gus Dur. Setiap bulan dia
datang ke PBNU untuk bertemu pamannya itu, mengambil uang kost dan biaya
kuliahnya. Suatu hari dia pernah kehabisan uang, karena uang dari Gus
Dur digunakan untuk keperluan lain yang tidak terduga. Dia sudah minta
kiriman dari ayahnya di Tambak Beras, Jombang, tetapi belum juga tiba.
Dia datang ke Gus Dur di kantor PBNU untuk meminta bantuan tambahan,
mendadak dan mendesak. Tetapi ketika itu Gus Dur sedang tak punya uang.
Namun beliau tak menolaknya. Ia mengatakan: “Tunggu sebentar ya, Nan?
Saya akan pergi dulu sebentar”. Ia pergi ke tempat sebuah seminar yang
hari itu kebetulan harus dihadirinya. Tidak lama sesudah itu beliau
kembali ke kantor. Keponakannya masih menunggu di situ. Lalu menyerahkan
amplop honor seminar yang masih tertutup rapat itu kepadanya. “Ambil
seperlunya saja ya?”, katanya. Nanik menerimanya dengan senang. Kemudian
dia membuka amplop itu di hadapan pamannya itu. Sesudah menghitung isi
amplop tersebut, dia bilang bahwa keperluannya adalah seluruh isi amplop
itu. Gus Dur diam saja. “Ya sudah, gak apa-apa”.
Ditulis 18 Desember 2014.
Sumber: https://www.facebook.com/husayn.muhammad/posts/10205300672172094
Tidak ada komentar