Musim Panen: NU & Generasi Muda Nahdliyin
(Tulisan ini sudah dimuat dalam buku: Binhad Nurrohmat (Ed), 2010,
Dari Kiai Kampung Ke NU Miring: Aneka Suara Nahdliyin Dari Beragam
Penjuru, Jakarta: Penerbit Ar-Ruzz Media)
Krisis “Orang Pandai”
Musim panen (harvesting season) akan tiba 25 tahun lagi.
Itulah prediksi yang pada dekade 1990-an pernah dilontarkan oleh mantan
Rektor Universitas Paramadina Jakarta, almarhum Nurcholish Madjid (Cak
Nur). Cak Nur mencoba merespon perkembangan Nahdlatul Ulama (NU) dan
generasi muda Nahdliyin pada saat itu. Takjub melihat fenomena baby-booming,
yakni muncul dan berkembang pesatnya generasi muda terdidik-terampil
(selanjutnya disebut orang pandai) Nahdliyin, Cak Nur memprediksi bahwa
25 tahun lagi NU akan memanen bibit-bibit mudanya itu. Pada saat panen
tiba, mereka akan menguasai sektor-sektor penting dalam struktur
kelembagaan negara dan masyarakat di Indonesia. Prediksi Cak Nur tentu
bukan tanpa alasan. Pada dasawarsa 1980 & 1990-an memang terlihat
ada geliat intelektualisme & aktivisme baru dikalangan generasi muda
Nahdliyin. Periode NU dibawah kepemimpinan almarhum KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) ini bahkan dianggap sebagai periode dimana NU terlahir
kembali (reborn) untuk yang kedua kalinya sejak pertama-kali berdiri pada 31 Januari 1926.
Munculnya geliat intelektualisme & aktivisme baru dikalangan
generasi muda Nahdliyin ini tentu sedikit berbeda dengan periode-periode
sebelumnya. Sejak masa revolusi kemerdekaan hingga dekade 1980-an,
misalnya, selain dibidang agama, jarang ditemui generasi muda Nahdliyin
yang terdidik-terampil modern dibidang-bidang lain. Pada tahun 1950-an,
ulama besar NU almarhum Kyai Wahid Hasyim yang juga ayah almarhum Gus
Dur, bahkan pernah berseloroh menyatakan bahwa mencari “orang pandai” di
NU adalah ibarat mencari tukang es pada jam 1 malam. Pada saat itu Kyai
Wahid Hasyim merasakan betul sulitnya mencari orang pandai di dalam NU.
Hal ini memaksa para pemimpin NU pada saat itu untuk merekrut “orang
luar” untuk dijadikan pengurus dan anggota NU. Ketika Partai NU keluar
sebagai pemenang ketiga pada Pemilu tahun 1955, mereka kesulitan
mengirimkan orang pandai dari NU yang bisa dikirim ke parlemen. Untuk
mengatasi krisis ini, mereka lalu merekrut beberapa tokoh dari luar
seperti Prof Sunarjo (ekonom),Asrul Sani (sutradara), Usmar Ismail
(seniman), dan dua orang keturunan Tionghoa Tan Kiem Liong dan Tan Eng
Hong (pengusaha) untuk bergabung dengan NU. Hal ini tentu amat bisa
dimaklumi, karena pada tahun-tahun itu NU mengalami defisit sumber daya
manusia. Sebenarnya yang terjadi bukannya tidak ada “orang pandai” di
dalam NU. NU sendiri adalah organisasi ulama dan ulama dalam bahasa Arab
berarti “orang berilmu”atau “ilmuwan”.Namun, kata “ulama” dalam NU pada
saat itu sepertinya telanjur direduksi hanya menjadi “ilmuwan agama”
atau orang yang ahli tentang agama saja. Karena keahlian mereka sangat
terbatas, NU mengalami kesulitan ketika jam’iyah ini bertransformasi
dari sebuah organisasi keagamaan menjadi partai politik. Partai politik
membutuhkan wakil yang menguasai berbagai bidang ilmu, tidak hanya ilmu
agama saja.
Imbas dari minimnya “orang pandai” dalam NU juga terlihat jelas
ketika pada saat itu posisi-posisi penting dalam struktur kelembagaan
negara dan masyarakat lebih banyak dipegang oleh kaum Muslim
terdidik-terampil kota. Mereka umumnya berlatarbelakang modernis. Kalau
tidak dari Masyumi, ya dari Muhammadiyah. Faktor langkanya kaum
terdidik-formal inilah yang membuat generasi muda Nahdliyin pada saat
itu semakin lama semakin terpinggirkan perannya dalam percaturan bangsa
dan masyarakat, sehingga mereka hanya menempati peran-peran yang kurang
strategis.
Dalam konteks relasi rakyat dan negara, NU pada masa Orde Baru juga
sering tidak diuntungkan oleh birokrasi dan bahkan mengalami
marginalisasi. Dalam bahasa sederhana para kyai, NU (baik secara jama’ah
maupun jam’iyah) tak ubahnya seperti “pendorong mobil mogok”. Ketika
mobil sudah bisa terdorong dan berhasil dikendarai, sang pendorong
justru tertinggal (untuk tidak mengatakan sengaja ditinggalkan) di
belakang dan tak turut serta dalam pergerakan mobil itu. Ada juga yang
mengibaratkan NU sebagai “lengkuas yang dibutuhkan untuk bumbu masak,
namun dipinggirkan manakala masakan sudah matang”. Menurut pengamat NU
asal Belanda Martin van Bruinessen (2004), NU memang punya bobot politik
yang cukup besar. Ini karena NU memiliki massa yang jumlahnya sangat
banyak (lebih dari 40 juta) dan bisa dimobilisasi dalam krisis politik.
Pada zaman revolusi, dan juga pada zaman peralihan dari Orde Lama ke
Orde Baru, orang-orang NU cukup memainkan peranan penting. Misalnya,
sebagai unsur utama laskar Hizbullah dan Sabilillah pada 1945-49, dan
turut membantu proses penggulingan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada
1965-66. Berkat kekuatan fisiknya, NU memainkan peranan penting dalam
perubahan politik dua masa peralihan tersebut. Akan tetapi, sumbangan
penting itu tidak pernah dapat diterjemahkan menjadi pengaruh nyata
dalam pemerintahan, dewan perwakilan, maupun masyarakat sipil. Dua tokoh
NU yang paling menonjol pada masa peralihan tersebut, Wahid Hasyim dan
Subchan ZE, kemudian disingkirkan (dimarginalisir) dari sistem politik.
Massa NU yang demikian banyaknya juga tak dilibatkan dan tetap berada di
pinggiran.
Tanpa harus menggunakan perspektif dan teori konspirasi terhadap
pemerintah Orde Baru, menurut saya, lagi-lagi hal di ini juga
sedikit-banyak dipicu oleh sebuah sebab yang mencolok. Yakni,
terbatasnya orang pandai dari kalangan generasi muda Nahdliyin yang
memadai untuk bisa masuk ke dalam lingkaran birokrasi yang memiliki
logika dan rasionalitas sendiri. Saat awal Orde Baru, seperti pada kasus
tahun 1955, NU memang defisit politisi handal. Ketika termarginalisir
dan berada di luar “pagar pemerintah”, NU juga kesulitan menyuarakan
aspirasinya karena minimnya “orang pandai”. Implikasi dari hal ini,
salah satunya, adalah keharusan atas kepemilikan keahlian yang bukti
formalnya diperoleh melalui mekanisme pendidikan formal.
Panen “Orang Pandai”
Namun, pada pertengahan dasawarsa 1980an, mulai terjadi perubahan
mengejutkan di tubuh NU. Menurut Martin, perubahan yang paling sering
disorot media massa dan sering menjadi bahan kajian akademis pada saat
itu ialah proses ‘kembali ke khitthah 1926’. Pada tahun 1984, melalui
Muktamar Situbondo, NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan
kembali menjadi ‘jam’iyyah diniyyah’, bukan lagi wadah
politik. Dengan kata lain, sejak saat itu, para kiai NU bebas
berafiliasi dengan partai politik mana pun (termasuk dengan Golkar) dan
menikmati enaknya kedekatan dengan pemerintah. NU tidak lagi
‘dicurigai’ oleh pemerintah, sehingga segala aktivitasnya seperti
pertemuan, seminar dan yang lainnya tidak lagi dilarang dan bahkan malah
sering ‘difasilitasi’. Perubahan tersebut, menurut Martin, meski
merupakan momentum penting dalam sejarah politik Orde Baru, tapi dapat
juga dipahami sebagai sesuatu yang berkesesuaian dengan tradisi politik
Sunni, yakni mencari akomodasi dengan penguasa.
Perubahan lain ditubuh NU yang juga yang tidak kalah mengejutkan,
menurut Martin, adalah terkait generasi muda Nahdliyin. Perubahan ini
ditandai dengan mulai munculnya dinamika baru generasi itu dengan
melalui geliat intelektual dan menjamurnya aktivitas sosial, yang nyaris
tak tertandingi oleh generasi muda dari kalangan masyarakat lain.
Selain itu, generasi muda Nahdliyin yang sebelumnya kebanyakan hanya
tamatan pesantren dan tidak menguasai ilmu-ilmu umum, pada tahun 1980-an
mulai berbondong-bondong memasuki perguruan tinggi umum di kota-kota
besar. Urbanisasi dan proyek pembangunan yang digelontorkan Presiden
Soeharto menciptakan peluang bagi kaum Nahdliyin yang kebanyakan tinggal
di pedesaan untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke pendidikan tinggi
dan modern. Generasi muda Nahdliyin yang lahir pada akhir 1960-an dan
sesudahnya, adalah generasi baby-boomer yang mendapat kesempatan untuk
belajar lebih baik dibanding para orang tua mereka.
Generasi itu umumnya mengenyam pendidikan agama dan pendidikan umum
secara sekaligus. Kombinasi antara pesantren dan atau madrasah dengan
sekolah/perguruan tinggi umum. Ledakan baby-boomer NU ini mulai
dirasakan tahun 1980-an dan 1990-an dan semakin keras ledakannya setelah
memasuki tahun 2000-an. Seperti sudah disebutkan di atas, generasi muda
Nahdliyin kini mulai banyak mengisi jabatan dan posisi penting, baik di
pemerintahan maupun lembaga professional. Mereka juga menguasai gerakan
masyarakat sipil yang sebelumnya didominasi generasi muda modernis dan
kelompok sekuler.
Menurut Luthfi Assyaukanie (2010), yang paling menggembirakan adalah
bahwa generasi muda Nahdliyin juga “leading” dalam pengembangan
pemikiran Islam, khususnya yang menyangkut wacana pembaharuan. Lazim di
ketahui bahwa gerakan pembaharuan Islam adalah milik kaum modernis.
Gerakan ini di Indonesia pertama-tama di mulai oleh kaum modernis di
Sumatera Barat dengan di dirikannya sekolah-sekolah modern seperti
Adabiyah, Jembatan Besi dan Thawalib.
Di Jawa, gerakan pembaharuan Islam juga di usung oleh kaum modernis,
terutama Muhamadiyyah. Sebelum tahun 1980-an NU sering dianggap sebagai
organisasi Islam yang anti-pembaharuan, reaksioner terhadap dunia modern
dan bahkan mendapatkan stereotip sebagai organisasi kolot dan
anti-kemajuan. Namun itu semua berubah sejak pertengahan tahun 1980-an,
khususnya ketika Gus Dur memimpin organisasi ini. Gus Dur melakukan
gebrakan-gebrakan yang belum dilakukan para pendahulunya. Ia membawa NU
menjadi organisasi Islam yang dinamis. Di tangannya, NU mengalami
artikulasi intelektual yang tinggi dan bahkan mampu melampaui pencapaian
organisasi-organisasi Islam modernis lainnya. Selain memimpin NU selama
3 periode (1984-1999), Gus Dur sendiri menjadi ikon banyak isu penting
yang diusung gerakan sipil di Indonesia. Dia menjadi ikon demokrasi,
pluralism, kebebasan, HAM dan sebagainya. Di era Gus Dur, ruang
kebebasan berpikir di dalam NU dibuka selebar-lebarnya.Ini mendorong
generasi muda Nahdliyin untuk semakin belajar banyak hal dan
mengartikulasikannya dalam praksis-praksis sosial dimasyarakat. Lebih
jauh Luthfi berpendapat bahwa Gus Dur bahkan menjadi pelindung mereka
dari kritik dan serangan para tokoh senior NU dan tak sejalan gebrakan
generasi muda Nahdliyin. Kondisi ini memunculkan banyak sekali generasi
muda Nahdliyin dengan varian pemikiran dan aktivitasnya.
Dengan menyebut mereka sebagai generasi progresif, La Ode Ida (2004) menyusun 3 tilopogi generasi muda Nahdliyin.
Pertama, kelompok progresif-transformis, yakni
mereka yang secara internal mengupayakan penyadaran terhadap subyek
(utamanya massa akar-rumput NU). Mereka berharap subyek tersebut yang
akan mengubah dirinya sendiri serta melakukan perubahan dalam komunitas
yang lebih luas. Mereka ingin melakukan pencerahan agar massa
akar-rumput NU tidak terjebak dalam persoalan politik pragmatis,
sehingga nantinya NU dapat mentransformasikan programnya dalam berbagai
hal dan berbagai wilayah kehidupan. Model seperti ini banyak dilakukan
oleh generasi muda Nahdliyin yang aktif di P3M, Lakpesdam, dan LP3ES.
Kedua, kelompok progresif-radikalis. Yakni mereka
memperjuangkan kesetaraan (egalitarian) dengan menjungjung tinggi atau
bersandar pada nilai-nilai HAM dan kultur dasar komunitas. Kelompok ini
sering disebut sebagai ‘virus pemikiran dan gerakan kiri’ asal NU.
Generasi muda Nahdliyin yang aktif di LKiS dan Syarikat bisa dijadikan
contoh model berfikir yang seperti itu.
Ketiga, kelompok progresif-moderat, yakni mereka
yang memiliki ide-ide perubahan tetapi tidak memiliki ideologi yang
jelas dan konsisten. Mereka tidak mau total sebagaimana kelompok pertama
dan kedua. Mereka lebih memilih berada ditengah-tengah arus yang ada.
Terlepas dari segala perbedaan tipologi generasi muda Nahdliyin
tersebut, menurut La Ode Ida, ketiganya telah menjadi corak berfikir
kalangan muda. Mereka banyak bergabung dalam organisasi dan LSM yang
mampu menampung cara berfikir mereka. Contohnya, dengan khazanah
berfikir yang mensinergikan antar kitab kuning dengan keilmuan
modern-kontemporer mereka mampu membuat genre baru pemikiran yang
terkadang saat bisa meresahkan kalangan kiai-kiai sepuh NU.
Perkembangan pesat generasi muda Nahdliyin ini dibidang intelektual
dan aktivitas sosial ini menurut Hairus Salim dkk (1998) ini didorong
oleh beberapa hal.
Pertama, akses pendidikan yang tinggi. Pengamat NU
asal Perancis Andree Feillard dalam salah satu penelitiannya yang
dilakukan tahun 1990-an menunjukkan bahwa Gerakan Pemuda Ansor,
misalnya, sebagai besar anggotanya pernah mengenyam sekolah umum. Mereka
juga pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi dengan komposisi
40 % di perguruan tinggi Islam (IAIN) dan 54 % di perguruan tinggi umum.
Sisanya (6%) adalah mereka yang pernah kuliah di kedua jenis perguruan
tinggi itu. Menurut Andree, karena semakin tingginya persentuhan mereka
dengan dunia pendidikan, semakin tinggi pula khazanah keilmuan yang
mereka miliki.
Kedua, kekayaan tradisi intelektual. Disamping
generasi muda Nahdliyin fasih dan familiar dengan khazanah Islam klasik
yang mereka peroleh dipondok pesantren dan atau madrasah, mereka juga
mendalami ilmu-ilmu umum. Dengan tidak tercerabut dari akar tradisinya,
mereka sangat intens melakukan kritik sosial dan mengawinkan
kosa-pengetahuan baru dengan khazanah tradisi yang mereka miliki.
Ketiga, pengaruh Gus Dur. Periode kepemimpinan Gus
Dur di NU dengan segala gebrakan dan pemikirannya (seperti gagasan
pribumisasi Islam), tidak saja memicu kalangan kyai-kyai sepuh NU untuk
melakukan kritik, tetapi juga mendorong generasi muda Nahdliyin untuk
mengembangkannya dan bahkan mengaplikasikannya dalam praksi-praksis
sosial. Meski Gus Dur sering dihakimi kiai-kian sepuh karena gebrakan
dan pemikirannya, namun ia sangat besar kontribusi besar bagi
perkembangan generasi muda Nahdliyin selanjutnya.
Keempat, marginalisasi ekonomi-politik. Harus di
akui bahwa dalam perjalanan sejarahnya, NU seringkali, untuk tidak
mengatakan senantiasa, dimarginalkan oleh rezim yang berkuasa. Orde
Baru, terutama pada fase awal, termasuk yang paling getol menempatkan
NU secara periferal. Tidak jarang sikap oposisi NU dengan pemerintah
Orde Baru menyebabkan subordinasi dan diskriminasi pemerintah terhadap
NU. Realitas historis seperti inilah yang barangkali menjadi cambuk
generasi muda Nahdliyin untuk bangkit dengan berbekal pengetahuan &
pengalaman yang mereka miliki.
Selain 4 faktor di atas, naiknya status ekonomi warga NU juga menjadi
daya dukung bagi muncul dan menguatnya sumber daya manusia berkualitas
dikalangan generasi muda Nahdliyin. Hal ini menyebabkan relasi antar
sesama anggota masyarakat cenderung bisa terjadi secara seimbang di
antara warga NU dan lainnya. Pada proses selanjutnya, penguatan
kapasitas ekonomi warga NU semakin mendorong mereka untuk mengejar
pendidikan setinggi mungkin. Bidang yang diambil juga tidak melulu studi
Islam melainkan merambah ke bidang-bidang lainya. Hasilnya, dalam 5
tahun terakhir ini, muncul generasi muda Nahdliyin bergelar magister dan
doktor dari universitas-universitas terkemuka di luar negeri seperti di
Amerika, Eropa, Australia, Afrika dan juga dari universitas ternama di
dalam negeri dengan ragam bidang ilmu yang bervariasi.
Potret geliat intelektual dan aktivitas social generasi muda
Nahdliyin, khususnya di jalur cultural, salah satunya, terekam dalam
buku yang di edit Hairus Salim (1998) berjudul Kultur Hibrida: Anak Muda NU di Jalur Kultural.
Buku ini merupakan kumpulan biografi 9 tokoh muda NU yang menceritakan
latarbelakang, biografi intelektual, perhatian dan aktivitas yang mereka
lakukan. Kesembilan tokoh muda ini dapat dikelompokkan pada tiga
bagian; pertama, intelektual muda; kedua, pekerja seni; ketiga,
pekerja sosial yang bergerak pada bidang penguatan masyarakat petani,
buruh, pekerja rumah tangga, pendampingan anak jalanan, dan aktivis
gerakan mahasiswa. Merekalah beberapa sosok muda NU yang sungguh-sungguh
bergerak secara konsisten di jalur cultural. Kultur hibrida ini,
menjadi semacam virus-positif yang menjangkiti banyak generasi muda
Nahdliyin baik dalam hal intelektualisme maupun aktivisme mereka.
Dari sisi intelektualisme, kultur ini menjadikan generasi muda
Nahdliyin mengembangkan tradisi atau buda intelektual yang bersifat
perpaduan dari beberapa komponen. Dari sinilah kita mengenal ide Islam
Nusantara ala M Jadul Maula, Islam Post-Tradisional ala Ahmad Baso,
Islam Liberal ala Ulil Abshar-Abdalla, Islam Kiri ala anak-anak PMII dan
sebagainya. Proses negosiasi kreatif antara Islam normatif yang
diwahyukan melalui instrumen kultural kemanusiaan masyarakat Arab dan
historisitas masyarakat Islam dalam babakan sejarah panjangnya, termasuk
dalam sentuhan nilai & tradisi kultural lokal Indonesia, semuanya
menjadi mekanisme penting dari lahirnya kultur hibrida dikalangan
generasi muda Nahdliyin. Melalui kultur ini, mereka tidak hanya merujuk
pada khasanah tradisional keagamaan saja, tapi bersifat eklektik, dari
berbagai sumber.
Generasi muda Nahdliyin sekarang tidak hanya berkutat pada tradisi
Islam klasik dan menekuni kajian Islam pesantren saja, tetapi juga mulai
gandrung dengan pemikiran-pemikiran sekuler dan kontemporer seperti
filsafat, sosiologi, antropologi, politik, ekonomi dan bahkan bidang
teknologi dan juga ilmu-ilmu alam. Mereka juga tidak hanya merujuk pada
kitab kuning yang ditulis oleh ulama-ulama klasik, tetapi juga buku-buku
hasil karya pemikir kontemporer (baik pemikir Islam maupun non Islam)
seperti M Arqoun, Abid al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zayd, M Syahrour, Farid
Essack, Hassan Hanafi, Fatima Mernissi, Amina Wadud, Karl Marx, Karl
Popper, Juergen Habermas, Paul Riceour, Piere Bourdeau, Jacques Derrida,
Michel Foucault, Roland Barthes, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Dari sisi aktivisme, generasi muda Nahdliyin tidak hanya konsern
dengan bidang-bidang yang terkait langsung dengan keIslaman seperti
fiqh, tasawuf, dan yang lainnya, tetapi juga pada pemberdayaan ekonomi,
social dan politik, advokasi kaum buruh dan petani, advokasi kaum
minoritas, HAM, emansipasi wanita dan sebagainya.
Catatan Penutup
Melihat semua fenomena di atas, panen ‘orang pandai” tampaknya sedang
dan akan terus di alami oleh NU. Faktanya, geliat intelektualisme dan
aktivitas social semakin lama semakin menjamur dan menggurita dikalangan
generasi muda Nahdliyin. Padahal tahun 2010 ini belumlah melewati angka
25 tahun seperti di prediksi almarhum Cak Nur. Ini bias dibaca sebagai
fenomena menarik di mana perkembangan dan dinamika generasi muda
Nahdliyin berlangsung sedemikian cepat dan pesatnya. Meski demikian, ada
2 hal yang mesti mendapat perhatian.
Pertama, soal karakter ke-NU-an. Tidak bias dipungkiri, geliat
intelektual & aktivitas sosial generasi muda Nahdliyin memang
dipengaruhi oleh semangat yang oleh Hairus Salim di sebut sebagai kultur
hibrida dengan modek eklektisimenya yang kental (menggabungkan tradisi
atau budaya intelektual yang bersifat perpaduan berbagai komponen).
Karena NU merupakan jam’iyyah yang meletakkan dasar akidah ahlus-sunnah
wal-jama’ah (aswaja), mau tidak mau, ini menjadi basis dan ruh dari
semua pemikiran dan aktivitasnya. Eklektisisme sendiri juga sebenarnya
sudah inheren dalam doktrin aswaja. Kaidah “melestarikan yang lama yang
baik dan mengambil yang baru yang lebih baik” (al-muhafadzoh ‘ala
al-qodim al-sholih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah) sudah begitu
familiarnya dikalangan generasi muda Nahdliyin. Menurut Kyai Sahal
Mahfudz (1999) Dalam derajat tertentu, semangat eklektisisme ini
mendasari dan turut membentuk pola berpikir dan bersikap yang moderat
dikalangan generasi muda Nahdliyin. Mereka misalnya tidak mengalami
xenophobia (takut terhadap hal-hal baru) terhadap segala inovasi
peradaban dari luar. Pendeknya, semangat eklektisisme membentuk sebuah
karakter moderat dan akomodatif terhadap segala aspek dan dinamika
kehidupan. Akan tetapi perlu di ingat pula bahwa batas antara moderasi
dan pragmatisme sangatlah tipis. Dalam pragmatisme, semangat
eklektisisme bias berubah bentuk menjadi lemahnya pertahanan diri
menghadapi dinamika baru dalam kehidupan. Oleh karena itu, generasi muda
Nahdliyin di tuntut untuk selalu melakukan peremajaan (rejuvenation)
doktrin-doktrin dan nilai-nilai ke-NU-an agar sesuai dengan tuntutan
dan tantangan zaman, serta melakukan transformasi disegala bidang tanpa
harus kehilangan karakter ke-NU-annya.
Kedua, soal lambannya gerak NU dalam merawat dan memanfaatkan potensi
banyaknya sumber daya manusia (SDM) handal diberbagai bidang yang
sebenarnya di miliki. Saat ini, SDM handal NU itu kini semakin membesar
dan bahkan tidak hanya berada di Indonesia saja tapi juga di luar
negeri. Akan tetapi , potensi besar ini belum terlalu mendapatkan
perawatan dan pemanfaatn yang maksimal dari Jam’iyyah NU. Dalam hal ini,
peran aktif para pengurus NU di semua level beserta lajnah, banom dan
organisasi-organisasi underbow-nya dalam merawat potensi SDM yang
dimilikinya haruslah dilakukan secara maksimal. Kalau perlu, mereka
pro-aktif, menjemput bola, dengan cara menyediakan forum dan media
tempat SDM handal NU tersebut bisa berkontribusi untuk NU. Melalui
perawatan dan pemanfaatn SDM handal NU secara maksimal diharapkan mereka
tidak jatuh ke tangan ‘kelompok lain’. Dengan beragam alasan, sudah
cukup banyak SDM handal NU yang akhirnya “murtad”, menyeberang ke
kelompok lain. Ini semestinya bisa di hindari jika Jam’iyyah NU cukup
tanggap dan konsern dengan SDM handal yang dimilikinya.
Tidak ada komentar