ISLAM SONTOLOYO
Oleh : Ir Soekarno
Didalam
surat kabar “Pemandangan” 8 April saya membaca suatu perkabaran
yang ganjil. Seorang guru agama dijebloskan ke dalam penjara tahanan
karena ia memperkosa kehormatan salah satu seorang muridnya yang masih
gadis kecil. Bahwa orang dijebloskan kedalam tahan kalau ia memperkosa
gadis, itu tidaklah ganjil. Dan tidak terlalu ganjil pula kalau seorang
guru memperkosa sseorang muridnya. Bukan karena ini perbuatan tidak
bersifat kebinatangan. Jauh dari itu. Tetapi oleh karena memandang
kadang-kadang terjadi kebinatangan yang semacam itu. Yang saya katakan
ganjil ialah caranya si guru itu “menghalalkan” ia punya
perbuatan. Cobalah tuan baca yang berikut ini, yang saya ambil over dari
“Pemandangan” tadi itu:
Keterangan
lain-lain mengenai akalnya guru itu mempengaruhi murid-muridnya. Kepada
tiap-tiap yang menjadi murid diobroli bawa ia pernah bicara dengan Nabi
Besar Muhammad SAW. Lalu masing-masing diajarnya untuk mendekati Allah
tiap-tiap malam jumat berzikir sejak magrib sehingga subuh dengan
permulaan berseru ramai-ramai “Saya muridnya Kiyai Anu” dengan seruan ini
katanya supaya terkenal dan Allah megnmpuni dosanya.
Tiap-tiap
murid perempuan, meskipun masih kanak-kanak musti ditutup
mukanya. Jikalau waktu pertemuan malam Jumat golongan perempuan
dipisahkan dalam, untuk murid lelaki spesial didalam langgar. Kiyai itu
menerangkan dalam ajaranya :
“Perempuan
itu boleh disedekah”. Artinya demikian : sebagai diatas
ditegaskan, murid-murid perempuan itu “diharamkan dahulu”, kata guru itu.
Artinya : perempuan-perempuan itu mesti dinikahi olehnya.
Yang jadi kiyainya ia juga.Yang jadi pengantinnya ia juga.
Caranya demikian:
Kalau
seorang murid laki-laki yang mempunyai isteri yang jadi muridnya
juga. Istrinya itu dihadapan dia lantas menjatuhkan talaqnya
tiga. Seketika juga perempuan dinikahi dengan lain lelaki (kawan
muridnya) sehingga tiga lelaki dalam seketika itu juga berturut-turut
tiga kali dinikahi dan diceraikan lagi, keempat kalinya dinikahi olenya
sendiri.
Kecuali
janda atau gadis, tidak dinikahkan dengan lain orang, tetapi langsung
dinikahkan dengan Dadjal sendiri. Dengan cara demikian tiap-tiap istri
yang jadi muridnya berarti dari pada Dadjal tersebut dalam pemandangan golongan mereka.
Demikianlah
cara yang demikian ini berlaku juga dengan gadis yang jadi perkara
ini. Oleh karena gadis itu sudah diharamkan oleh guru itu.
Demikianlah, maka
pada satu hari gadis ini dipikat oleh guru itu masuk kedalam satu
rumah, dan disitulah ia dirusak
kehormatannya.Halal, sah, oleh karena sudah istrinya.
Sungguh, kalau
reportase disurat kabar “pemandangan” itu benar,maka benar-benarlah
disini kita melihat Islam Sontoloyo. Sesuatu perbuatan dosa dihalalkan
menurut hukum fiqih. Tak ubahnya dengan tukang merentenkan uang yang
“menghalalkan” ribanya itu dengan cara berjual beli sesuatu barang
dengan orang yang mau meminjam uang dari padanya. Tahukah tuan, cara
tukang riba itu menghalalkan ia punya pekerjaan riba?. Tuan mau pinjam
uang dari pada Rp 100,-,dan sanggup bayar habis bulan Rp 120,-.Ia mengambil
sehelai kain, atau sebuah kursi, atau cincin, ataupun sebuah batu, dan ia
jual barang itu “op credit” kepada tuan dengan harga Rp 120,-. ”Tidak usah
bayar kontan,habis bulan saja bayar Rp 120,-itu”. Itu kain atau kursi
atau cincin atau batu kini sudah menjadi milik tuan karena sudah tuan
beli, walaupun “op credit”. Lantas ia beli kembali barang itu dari tuan
dengan harga kontan Rp 100,-. Accord?. Nah, inilah tuan terima uang
pembelian kontan yang Rp100,-itu.Asal tuan jangan lupa:habis bulan tuan
bayar tuan punya hutang kredit yang Rp 120,-itu!
Simpel
comme bonjour! Kata orang Perancis. Artinya: tidak ada yang lebih mudah
dari ini”!. Bukan!. Ini bukan riba. Ini bukan merentenkan uang, ini
dagang, jual beli, halal,syah, tidak dilarang oleh agama!
Benar, ini
syah, ini halal, tapi halalnya Islam sontoloyo!. Halalnya orang yang mau
main kikebu dengan Tuhan. Atau orang yang mau main
“kucing-kucingan” dengan Tuhan. Dan, kalau mau memakai perkataan yang lebih
jitu, halalnya orang yang mau mengabui mata Tuhan!
Seolah-olah
Tuhan diabui mata!. Seolah-olah agama sudah dipenuhi atau sudah
diturut, kalau dilahirkannya syariat saja sudah dikerjakan!. Tetapi
tidaklah justru yang demikian ini sering-sering kita jumpakan?
Tidak
justru Islam terlalu menganggap fiqih itu satu-satunya tiang
keagamaan. Kita lupa, atau kita tidak mau tahu, bahwa tiang keagamaan
ialah terutama sekali terletak didalam ketundukan kita punya jiwa pada
Allah. Kita lupa bahwa fiqih itu, walaupun sudah kita saring
semurni-murninya, belum mencukupi semua kehendak agama. Belum dapat
memenuhi syarat-syarat ketuhanan yang sejati. Yang juga berhajat kepada tauhid, kepada ahlak, kepada kebaktian rohani, kepada Allaah,dan kepada
lain-lain lagi.
Dulu di lain tempat, pernah saya menulis:
Adalah
seorang “sayid” yang sedikit terpelajar, tetapi ia tak dapat memuaskan
saya. Karena pengetahuannya tak keluar sedikitpun jua dari
“kitab-fiqih”. Mati hidup dengan kitab fiqih itu. Qur’an dan api Islam seakan-akan mati. Karena kitab fiqih itu sajalah yang mereka
jadikan pedoman hidup. Bukan kalam Ilahi sendiri. Ya, kalau difikirkan
dengan dalam-dalam, maka kitab fiqih-kitab fiqih itulah yagn seakan-akan
ikut menjadi algojo roh dan semangat Islam. Bisakah ? sebagai misal, satu
masyarakat menjadi hidup, menjadi bernyawa, menjadi levend, kalau
masyarakat itu hanya dialaskan saja kepada Wetboek van strafrecht dan
Burgerlijk Wetboek, kepada artikel ini dengan artikel itu?. Masyarkat yang
demikian itu akan segeralah menjadi masyarakat mati, masayrakat
bangkai, masyarakat yang bukan masyarakat. Sebab tandanya masyarakat ialah
justru ia punya hidup, ia punya nyawa. Begitu pula, maka dunia Islam
sekarang ini setengah mati. Tiada roh, tiada nyawa, tiada api, karena umat
Islam sama sekali tenggelam didalam “kitab fiqihnya” saja. Tidak terbang
seperti burung garuda diatas udara-udaranya Levend Geloof. Yakni
udara-udaranya agama yang hidup”.
Sesudah
beberapa kali membaca saya punya tulisan-tulisan didalam P.I ini, tuan
barangkali lantas mengira bahwa saya adalah membenci fiqih. Saya bukan
pembenci fiqih, saya malahan berakta tiada masyarakat Islam
dapat berdiri zonder hukum-hukumnya fiqih. Sebagaimana tiada masyrakat
satupun dapat berdiri zonder Wetboek van Stafrecht dan Burgerlijk
Wetboek. Maka, begitu juga tiada peri kehidupan Islam dapat ditegakkan
zonder wetboeknya fiqih. Saya bukan membenci fiqih, saya hanya membenci
orang atau perikehidupan agama yang terlalu mendasarkan diri kepada
fiqih itu saja, kepada hukum-hukumnya syariat itu saja.
Dan
sungguh,tuan-tuan, pendapat yang begini bukanlah pendapat saya yang picik
ini saja, juga Farid Wadji, juga Muhammad Ali, juga Kwada Kamaludin, juga
Amir Ali berpendapat begitu. Farid Wadji pernah berpidato dihadapan kaum
Orientalis Eropa tentang arti fiqih itu buah peri kehidupan Islam. Dan
beliau berkata bahwa “kaum Orientalis yang mau mengukur Islam dengan
fiqih itu saja sebenarnya adalah berbuat tidak adil kepada Islam . Oleh
karena fiqih belum Islam seluruhnya, dan malahan kadang-kadang sudahlah
menjadi satu sistem yang bertentangan dengan Islam yang sejati. Muhammad
Ali tidak berhenti-henti berjuang dengan kaum-kaum yang mau membelenggu
Islam itu kedalam mereka punya monopoli undang-undang. Dan Kwaja
Kammaludin menulis di dalam ia punya “Evangelie van de Daad”, satu kitab
yang dulu saya pernah katakan berlian, dan saya pujikan keras
kepada semua orang Islam dan bukan Islam, sebagai berikut : ”Kita hanya
ngobrol tentang sembahyang dan puasa, dan kita sudah mengira bahwa kita
sudah melakukan agama. Khotib-Khotib membuat khotbah rahasia-rahasianya
surga dan neraka, atau mereka mengajar kita betapa caranya kita mengambil
air wudu’ atau rukun-rukun yang lain, dan itu sudahlah dianggap cukup
buat mengerjakan agama. Begitulah jualah keadannya kitab-kitab agama
kita. Tetapi yang demikian itu bukanlah gambaran kita punya agama yang
sebenar-benarnya. Cobalah kita punya ulama-ulama itu menerangkan
kepada dunia wetenschap betapa rupanya etik yang diajarkan oleh
Qur’an. Maka tidak akan sukarlah bangsa-bangsa barat ditarik masuk
Islam, kalau literatur yang demikian itu disebarkan kemana-mana”.
Dan
bagaimana perkataan Sayid Amir Ali?. Mempelajari kitab-kitab fiqih
tidaklah cukup buat mengenal semangat dan rohnya Islam yang
sejati. Malahan kitab-kitab fiqih itu kadang-kadang berisi hal-hal yagn
berlawanan dengan rohnya Islam yagn sejati. Dan maukah tuan mendengar
pendapatnya orang alim lain yang bukan Islam?. Masih ingatkah tuan akan
perkataan Prof.Snouch Hurgronje yang saya sitir dalam P.I dua minggu
yang lalu?. Yang mengatakan,bahwa bukan Qur’an kini yang menjadi wetboek
orang Muslim pada umumnya, tetapi
apa “dicabutkan ulama-ulama dari segala waktu dari Qur’an itu dan
sunnah itu”?. Maka ini ulama-ulama dari segala waktu adalah terikat pula
kepada ucapan-ucapan ulama-ulama yang dahulu dari mereka, masing-masing
di dalam lingkunganya mazhabnya sendiri-sendiri. Mereka hanya dapat
memilih antara pendapat-pendapatnya autoritei-autorietei yang terdahulu
dari mereka. Maka syariat itu seumumnya akhirnya tergantung pada
ijma’,dan tidak kepada maksud-maksudnya firman yang asli. Atau ambilah
misalnya lagi pendapat Prof.Tor Andrea. Professor inipun
berkata:”Tiap-tiap agama akhirnya hilang ia punya jiwa yang dinamis, oleh
karena pengikut-pengikutnya lebih ingat kepada ia punya wettensysteem
saja, dari pada kepada ia punya ajaran jiwa.Islampun tidak terluput dari
faham ini.”
Tuan barangkali
berakta, apa kita perlu pusingkan pendapat orang lain?. Janganlah tuan
berkata begitu. Orang lain sering kali mempunyai pendapat lebih benar
diatas agama kita, sering kali mempunyai pendapat yang lebih
“onbevangen” diatas agama kita dari pada kita sendiri, oleh karena mereka
tidak terikat tradisi fikiran yang mengikat kita, tidak teriak oleh
“cinta buta” yang mengikat kita kepada agama kita itu. Lagi pula, benarkah
mereka punya pendapat itu bahwa tidak ada orang asing yang
benar?. Apakah tidak ada orang asing yang tepat di dalam pendapatnya?
Cobalah
kita mengambil satu contoh. Islam melarang kita makan daging babi. Islam
juga melarang kita menghina kepada si miskin, memakan haknya anak
yatim, memfitnah orang lain, menyekutukan Tuhan Yang Maha Esa itu. Malahan
yang belakangan ini dikatakan dosa yang terbesar, dosa datuknya
dosa. Tetapi apa yang kita lihat?. Coba tuan menghina si miskin, makan haknya
anak yatim, memfitnah orang lain, musrik di dalam tuan punya fikiran dan
perbuatan. Maka tidak banyak orang yang akan menunjuk kepada tuan dengan
jari seraya berkata: tuan menyalahi Islam. Tetapi coba tuan makan daging
babi, walaupun hanya sebesar biji asampun dan seluruh dunia akan
mengatakan tuan orang kafir!. Inilah gambarannya jiwa Islam sekarang
ini. Terlalu mementingkan kulit saja. Tidak mementingkan isi. Terlalu
terikat kepada “uiterlijke
vormer” saja. Tidak menyala-nyalakan “intrinsieke waarden”. Dulu saya
pernah melihat satu kebiasaan disalah satua kota kecil ditanah
Priangan. Disitu banyak sundal, banyak bidadari-bidadari yang menyediakan
tubuhnya buat pelepas nafsu yagn tersebut. Tetapi semua
“bidadari-bidadari” itu bidadari “Islam”, bidadari
yagn tak melanggar syarak agama. Kalau tuan ingin melepaskan tuan punya
birahi kepada salah seorang dari mereka, maka adalah seorang penghulu
yang akan menikahkan tuan lebih dulu dengan dia buat satu malam. Satu
malam tuan punya isteri yang sah. Satu malam tuan boleh berkumpul dengan
dia zonder melanggar larangan zina. Keesokan harinya bolehlah tuan
menjatuhkan talak tiga pada tuan punya kekasih itu tadi!, Dia mendapat
“nafkah” dan “mas kawin” dari tuan, dan mas penghulupun dapat persen dari
tuan. Mas penghulu ini barang kali malahan berulang-ulang juga
mengucapkan syukur kepada Tuhan, bahwa Tuhan telah memperkenankan dia
berbuat satu kebijakan, yakni menghindari dua anak Adam dari pada dosanya
perzinahan!
Tidaklah
benar perkataan saya, bahwa ini bernama main kikebu dengan Tuhan,atau
main mengelabuhi mata Tuhan?. Perungklukan, persundalan, perzinahan, di
“putarkan” menjadi perbuatan yang halal. Tetapi juga tidakkah benar ini
hanya satu fase saja dari gambarnya masyarakat kita seluruhnya, yang
lebih mementingkan fiqih saja, haram-makruh saja, dari pada “intrisieke
waarden” yang lain-lain?
Ach, saya
meniru perkataan budiman Kwaja Kamaludin: alangkah baiknya kita
disampingnya fiqih itu mempelajari juga dengan sungguh etiknya
Qur’an, intrinsieke waardenya Qur’an. Alangkah baiknya pula kita meninjau
sejarah yang telah lampau, mempelajari sejarah itu,melihat dimana
letaknya garis menarik dan dimana letaknya garis menurun dari masyarakat
Islam, akan menguji kebenaran perkataan Prof.Tor Andrea yagn mengatakan
bahwa juga Islam terkena fatum kehilangan jiwanya yang dinamis, sesudah
lebih ingat kepada ia punya sistem perundang-undangan dari pada kepada
ia punya ajaran jiwa. Dulunya dari dulu Endeh pernah saya
tuliskan: ”umumnya kita punya kiyai-kiyai dan kita punya ulama-ulama tak
ada sedikitpun “feeling” kepada sejarahnya”. Ya,boleh saya katakan
kebanyakan tak mengetahui sedikitpun dari sejarah itu. Mereka punya minat
hanya menuju kepada agama khususnya saja, dan dari agama ini, terutama
sekali bagian fiqih. Sejarah, apalagi bagian “yang lebih dalam”,yakni yang
mempelajari kekuatan-kekuatan masayrakat yang menyebabkan
kemajuan keamajuan atau kemundurannya sesuatu bangsa, sejarah itu sama
sekali tidak menarik mereka punya perhatian. Padahal disini, disinilah
padang penyelidikan yang maha penting. Apa sebab mumdur?. Apa sebab bangsa
ini dizaman ini begini?. Apa sebab bangsa itu di zaman itu begitu?. Inilah
pertanyaan-pertanyaan maha penting yang harus berputar, terus menerus
didalam kita punya ingatan, kalau kita mempelajari naik turunya sejarah
itu.
Tetapi
bagaimana kita punya kiyai-kiyai dan ulama-ulama?. Tajwid membaca
Qur’an, hafadz ratusan hadis, mahir dalam ilmu syarak, tetapi pengetahuan
tentang sejarah umumnya nihil. Paling mujur mereka hanya mengetahui
“tarich Islam” saja, dan inipun terambil dari buku-bukunya tarich Islam
yang kuno,y ang tak dapat tahan ujianya ilmu pengetahuan modern.
Padahal
dari tarich Islam inipun saja mereka sudah akan dapat menggali juga
banyak ilmu yang berharga. Kita umumnya mempelajari hukum,tetapi tidak
mempelajari caranya orang dulu menafsirkan hukum itu.
Kita
cakap mengaji Qur’an seperti orang maha guru di Mesir,. Kita kenal isinya
kitab-kitab fiqih seperti seorang advokat kenal isinya ia punya kitab
hukum perdata, kita mengetahui tiap-tiap perintah agama dan tiap-tiap
larangan agama sampai yang sekecil-kecilnyapun juga, tetapi kita tidak
mengetahui betapa caranya
Nabi, sahabat-sahabatnya, tabiin-tabiin, kholifah-kholifah dan mentafsirkan
perintah dan larangan-laranga itu didalam urusan sehari-hari dan
didalam urusannya negara. Kita sama sekali gelap dan buta buat didalam
hal mentafsirkan itu,oleh karena tidak mengenal tarich.
Dan
apakah Pengajaran Besar yang tarich itu kasihkan kepada kita?. Pengajaran
Besar tarich ini ialah, bahwa Islam dizamannya yang pertama dapat terbang
meninggi seperti burung garuda diatas angkasa, oleh karena fiqih tidak
berdiri sendiri, tetapi ialah disertai dengan tauhid dan etiknya Islam
yang menyala-nyala.
Fiqih pada
waktu itu hanyalah “kendaraan” saja, tetapi kendaraan ini dikusiri oleh rohnya etik Islam serta tauhid yang hidup, dan ditarik oleh kuda
sembrani yagn diatas tubuhnya ada tertulis ayat Qur’an: ”Jangan kau
lembek, dan jangan kamu mengeluh, sebab kamu akan menang, asal kamu mukmin
sejati. Fiqih ditarik oleh agama hidup, dikendarai agama hidup, disemangati agama hidup: Roh Agama Hidup yang berapi-api dan
menyala-nyala!. Dengan fiqih yang demikian itulah umat Islam menjadi
cakrawala diseparuh dunia!
Tetapi
apakah pula kebalikan dari Pengajaran Besar ini?. Kebalikannya Pengajaan
Besar ini ialah Pengajaran Bear pula yang tarich itu menghasilkan kepada
kita didalam periodenya yang kedua. Pengajaran Besar,bahwa sejak Islam
studie dijadikan fiqh studie ini mendapat kedudukan sentral didalam
Islam studie itu, disitulah garis kenaikan itu menjadi membelok
di bawah, menjadi garis yang menurun. Disitulah Islam lantas “membeku”
menurut katanya Essad Bey, membeku menjadi satu sistem formil
belakang. Lenyaplah ia punya tenaga yang hidup itu, lenyaplah ia punya
jiwa penarik. Lenyaplah ia punya ketangkasan yang meningkatkan kepada
ketangkasan yang mengingatakan kepada ketangkasan harimau. Kendaraan tiada
lagi ia punya kuda,tiada lagi ia punya kusir. Ia tiada bergerak lagi, ia
mandek!
Dan
bukanlah saja mandek!. Kendaraan mandek lama-lamapun menjadi amoh. Fiqh
bukan lagi menjadi petunjuk dan pembatas hidup, fiqh kini kadang-kadang
menjadi penghalangnya perbuatan-perbuatan kaum Soontoolooyoo!
Maka
benarkah perkataan Halide Edib Hanum, bahwa Islam dizaman akhir-akhir
ini “bukan lagi agama pemimpin hidup, tetapi agama pokrol bambu”.
Jikalau
umat Islam tetap tidak mengindahkan Pengajaran-pengajaran Besar
sejarahnya sendiri,jikalau pemuka-pemuka Islam di Indonesia tidak
mengikuti jejaknya pemimpin-pemimpin besar di negeri lain seperti
Muhammad Ali, Farid Waddji,Kwadja Kamaludin, Amir Ali dll, yang menghendaki
satu geestelijke wedergeboote
(kebangunan roh baru) didalam duni Islam. Jikalau pemuka-pemuka kita itu
hanya mau bersifat ulama-ulama fiqh saja dan bukan pemimpin kejiwaan
sejati, maka janganlah ada harapan umat Islam Indonesia akan dapat
mempunayai Kekuatan Jiwa atau Kekuatan jiwa yang hebat untuk menjunjung
dirinya dari keadaan aib yang sekarang ini.
Janganlah kita ada harapan dapat mencapai persanggupanya Allah yang tertulis diatas tubuhnya kuda sembrani tadi itu.
Janganlah kita kira sudah mukmin tetapi hendaklah kita insaf,bahwa banyak diaklangan kita yang Islamnya Isalam sontoloyo!
“Panji Islam”, 1940
Tidak ada komentar