Paduan Jarak Politik Jokowi
Oleh : Bestian Nainggolan
Menjejak bulan kesembilan usia pemerintahannya,
upaya Presiden Joko Widodo bersama jajaran kabinetnya mulai menuai
hasil. Ia tidak hanya mampu menguatkan posisi keterpilihan dirinya di
mata publik. Dalam kurun waktu yang sama, ia pun mulai berhasil
mengukuhkan eksistensi politik dirinya dalam kepungan partai-partai
politik.
Mencermati hasil survei opini publik yang dilakukan
secara periodik, pencapaian baru dalam kiprah politik pemerintahan
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mulai
teridentifikasi selepas penilaian enam bulan usia pemerintahan. Jika
semenjak awal pelantikan dirinya dan pengukuhan kabinet menuai pujian,
pada bulan keenam usia pemerintahan justru mulai berbalik. Dari sisi
kinerja perekonomian, kesejahteraan sosial, hingga penegakan hukum,
semuanya dinilai kurang memuaskan yang berujung pada penurunan persepsi
publik terhadap citra pemerintahan.
Namun, penilaian kali ini
berbeda. Setidaknya, dibandingkan dengan periode penilaian sebelumnya,
terdapat dua kondisi yang berhasil ditoreh oleh pemerintahan saat ini
sekaligus mampu menggambarkan karakteristik politik pemerintahannya yang
berbeda. Kedua kondisi tersebut terkait dengan strategi jarak politik
yang dibangunnya. Di satu sisi, Jokowi bersama jajaran kabinetnya
berhasil mengurai ancaman jarak politik yang mulai renggang antara
dirinya dan masyarakat. Di sisi lain, ia juga berhasil mengelola jarak
politik dalam berhadapan dengan kekuatan politik partai, baik partai
politik pendukung langsung pemerintahan, koalisi partai pendukung,
maupun koalisi partai yang beroposisi.
Membalikkan kondisi
Makin
rekatnya jarak politik Presiden dan masyarakat terlihat dari rekaman
hasil survei opini publik. Dalam tiga bulan terakhir, pemerintahan
Jokowi mampu membalikkan opini publik dari ancaman penurunan kepuasan.
Dalam momen yang tergolong krusial, seperti ancaman melemahnya laju
perekonomian, ancaman konflik politik horizontal, seperti yang terjadi
di sebagian partai politik, ataupun ancaman kian meningkatnya
ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum akibat upaya pendelegitimasian
institusi pemberantasan korupsi, nyatanya pemerintahan Jokowi mampu
mengubahnya menjadi peningkatan dukungan dan kepercayaan publik.
Kondisi
demikian berbeda jika dibandingkan dengan apa yang pernah terjadi pada
berbagai era pemerintahan sebelumnya. Kepemimpinan Presiden Abdurrahman
Wahid, Megawati Soekarnoputri, ataupun dua periode kepemimpinan Susilo
Bambang Yudhoyono juga mengalami penurunan kepuasan yang dinyatakan
publik terhadap kinerja kepemimpinan mereka. Tren penurunan kepuasan
publik pun relatif mirip, yaitu berlangsung selepas bulan keenam masa
pemerintahan. Penurun apresiasi ini kemudian berlanjut terus-menerus
secara konsisten, ada yang berlangsung hingga tahun kedua, tetapi ada
pula yang berlangsung hingga usia tahun keempat pemerintahan. Namun,
menjelang berakhirnya periode pemerintahan, terjadi titik balik
perubahan yang menandakan adanya peningkatan apresiasi publik secara
signifikan.
Akan tetapi, pada kasus pemerintahan saat ini, selepas
bulan keenam, penurunan apresiasi publik tidak berlangsung lama
lantaran pada bulan kesembilan justru berbalik menjadi apresiasi positif
yang sangat signifikan. Peningkatan apresiasi tersebut bahkan mampu
mendekati kondisi apresiasi tertinggi yang pernah dicapai pemerintah
saat ini, yaitu pada usia tiga bulan pemerintahan (Januari 2015).
Kondisi demikian dapat dijelaskan oleh berbagai hal, salah satunya
terkait dengan aksi reaktif Presiden berikut jajaran kabinet
pemerintahan saat ini dalam berkinerja ataupun mengelola persepsi
publik. Aktifnya langkah Presiden dan Wakil Presiden, yang diikuti pula
oleh gaya blusukan anggota kabinetnya, terbukti mampu membangun
kesan kepada publik bahwa kabinet saat ini kerap hadir dan berupaya
keras mencoba memecahkan setiap permasalahan bangsa. Ketika tekanan
ekonomi makin mengimpit, misalnya, kecepatan berespons dan mewacanakan
alternatif pengendalian. seperti pembangunan berbagai infrastruktur di
daerah, ditunjukkan. Tak pelak, citra kepemimpinan Jokowi bersama
jajaran kabinetnya menuai apresiasi positif. Saat ini, tak kurang dari
80 persen responden yang menilai "baik" dan "baik sekali". Padahal, pada
tiga bulan sebelumnya hanya 65 persen yang menilai "baik" dan "baik
sekali". Dengan pencapaian tersebut, saat ini apresiasi publik terhadap
citra pemerintahan bahkan mulai mendekati kondisi pada awal-awal
pemerintahan ini terbentuk karena saat itu hampir 9 dari 10 responden
survei menyatakan "baik" dan "baik sekali".
Peningkatan citra
berjalan paralel dengan derajat keterpilihan Jokowi. Sebagai gambaran,
apabila saat ini dilakukan pemilihan presiden, berdasarkan hasil survei
kali ini, dari semua responden yang sudah memiliki calon presiden
pilihan mereka, tidak kurang dari 56 persen menyatakan akan memilih
Jokowi. Kondisi ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penilaian tiga
bulan lalu karena saat itu hanya 43 persen yang memilih Jokowi. Namun,
apabila dibandingkan dengan hasil Pemilu Presiden pada Oktober 2014 yang
menempatkan dirinya sebagai Presiden, tingkat keterpilihan saat ini
tergolong mirip, yang sekaligus mengindikasikan kemampuan dirinya
memulihkan kepercayaan para pemilih yang sempat tergerus.
Perubahan dukungan
Selain
mengungkapkan kecenderungan semakin pulihnya hubungan politik Jokowi
dengan masyarakat, hasil survei juga mengindikasikan adanya perubahan
pola hubungan politik antara presiden dan partai-partai politik.
Sebagaimana yang terjadi pada bulan-bulan awal kepemimpinan Jokowi, naik
ataupun turunnya apresiasi publik terhadap kinerja Presiden berkorelasi
dengan peningkatan ataupun penurunan apresiasi terhadap partai politik
pendukung Presiden, seperti PDI-P dan partai-partai yang tergabung dalam
Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Sebagai gambaran, pada bulan
ketiga usia pemerintahan, tatkala apresiasi positif diraih pemerintah,
PDI-P mampu menempatkan dirinya sebagai partai politik yang paling
populer di masyarakat. Pada bulan keenam usia pemerintahan, ketika
terjadi penurunan popularitas Jokowi, PDI-P pun turut turun. Namun, saat
ini berbeda. Peningkatan apresiasi ataupun tingkat keterpilihan Jokowi
di mata publik tidak serta-merta diikuti oleh meningkatnya popularitas
PDI-P dan partai-partai politik yang tergabung dalam KIH. Sekalipun
tingkat keterpilihan PDI-P masih tertinggi, dibandingkan penilaian
sebelumnya relatif stagnan, tidak terjadi peningkatan sebagaimana yang
terjadi pada popularitas Jokowi. Hal yang sama terjadi pada popularitas
KIH yang relatif tetap dibandingkan dengan tiga bulan sebelumnya.
Perubahan
pola hubungan ini mengindikasikan telah terbangun jarak politik baru di
mata masyarakat antara pemerintahan Jokowi dan partai politik
pendukungnya. Tidak selalu apresiasi publik terhadap pemerintahan Jokowi
berelasi positif dengan popularitas partai-partai pendukungnya. Dalam
konteks politik yang lebih luas, kondisi ini dipandang cukup ideal
lantaran mampu mencairkan dikotomi politik yang terbangun semenjak
Pemilu Presiden 2014.
Penelusuran terhadap hasil survei ini
menunjukkan bahwa pola hubungan semacam inilah yang diharapkan publik,
baik mereka yang mengaku menjadi pendukung partai pendukung pemerintah
maupun yang tergabung dalam partai-partai yang beroposisi. Dengan
perkataan lain, pemerintahan Jokowi di mata publik sudah membangun jarak
politik yang seharusnya terhadap partai politik, tidak hanya terhadap
partai-partai KIH, tetapi juga partai-partai yang beroposisi terhadap
pemerintahannya. (Litbang Kompas)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Juli 2015, di halaman 5 dengan judul "Paduan Jarak Politik Jokowi".
Sumber : http://print.kompas.com/baca/2015/07/28/Paduan-Jarak-Politik-Jokowi
Tidak ada komentar