Inikah Mentalitas Petinggi DPR Kita
Sekali lagi kehadiran ketua DPR RI dan rombongannya di acara konferensi pers kampanye Donald Trump telah menjadi pemberitaan dan perbincangan yang tidak saja hangat, tapi panas. Mungkin begitulah situasi dunia kita yang sedang dilanda "climate change".
Sesungguhnya karena "climate change" saya ingin
memastikan jika efeknya memang ada. Salah satunya adalah "climate
change" dari masa Orde Baru ke masa reformasi yang diwakili, salah
satunya, oleh Bung Fadhli Zon.
Saya ingin menegaskan pertama kali kalau saya bukan politisi
dan juga tidak punya kepentingan politik apa-apa. Saya hanya rakyat biasa yang,
seperti banyak rakyat lainnya, punya kepedulian. Kepedulian kepada bangsa dan
negara. Seorang anak bangsa yang telah lama menetap di luar negeri tapi tetap
cinta dan ingin melihat bangsa dan negaranya hebat, sehebat bangsa-bangsa lain,
termasuk Amerika.
Climate change menjadi salah satu motivasi saya. Kita pernah
terkungkung dalam satu "climate" yang menggerahkan. Penguasa negara
ingin membangun keseragaman atas nama stabilitas. Banyak yang gerah, marah dan
menginginkan segera kehadiran climate yang baru. Yaitu climate yang membuka
kanal-kanal kebebasan agar angin segar dapat memberikan hidup baru.
Kini kanal-kanal itu sudah terbuka. Yang menjadi masalah
kemudian apakah kanal ini akan mengalirkan air bersih atau justeru air najis
dan kotor? Pertanyaan yang tentu perlu dijawab oleh para so called
"actor" di lapangan.
Ketika saya menuliskan tentang ketua dan wakil ketua DPR
beserta rombongan hadir dalam acara konferensi pers kampanye Donald Trump,
ternyata kanal-kanal kebebasan kembali teruji. Tujuan utama dan pertama saya
adalah mengingatkan pejabat publik jika apa yang dilakukan itu tidak benar dan
tidak menguntungkan bangsa dan negara di satu sisi. Di sisi lain tidak
menguntungkan kami komunitas Muslim di Amerika Serikat.
Testing the water
Ternyata tulisan saya itu disambut luas dan bahkan menjadi
perbincangan panas, tidak saja di kalangan politisi, tapi masyarakat secara
luas. Apalagi dalam dunia keterbukaan yang didukung oleh sosial media yang
dahsyat.
Selain memang bertujuan mengeritik, atau tepatnya
mengingatkan pejabat jika kehadiran di acara Donald Trump di momen seperti itu
tidak etis dan merugikan, juga ingin kembali menguji sampai di mana kata
"change" itu tertanam di hati para pejabat dan politisi kita.
Kita seringkali mendengar jika para politisi kita menjadikan
barat dan Amerika sebagai "guru" demokrasi dan kebebasan. Tapi
mampukah atau maukah mereka menyikapi kritikan-kritikan rakyatnya sebagaimana
pejabat Amerika menyikapinya?
Ternyata harapan itu masih jauh. Kritikan saya justeru
dibalik dan dianggap fitnah. Malah akan disomasi.
Beginikah kanal kebebasan yang diperjuangkan dengan peluh
bahkan darah rakyat kita disikapi? Keinginan rakyat untuk menyampaikan apa yang
diyakininya "benar" ditanggapi dengan emosi dan amarah?
Saya jadi terpikir jangan-jangan "climate change"
itu memang teori bohong?
Yang pasti, keputusan saya memberanikan diri untuk
menyampaikan pendapat apa adanya ditanggapi secara personal mereka yang
terlibat. Ada yang mencari tempat kerja saya, posisi saya sebagai Imam, masalah
komunitas yang ada seperti perseteruan antar beberapa anggota jamaah dengan
pengurus masjid, dll. Intinya mereka mencari celah di mana kemungkinan ada celah
untuk menekan sehingga saya merubah posisi.
Dalam beberapa komunikasi ke saya Bung Fadhli Zon tidak lagi
membahas isu yang sesungguhnya (kampanye DT). Tapi membahas tentang siapa
Shamsi Ali, apa kerjanya, rajinkah masuk kantor, dll.
Saya jadi terpikir beginikah tingkat pemikiran dan cara
bersikap dari seorang pejabat negara? Apalagi tentang seseorang yang saya tahu
getol menantang kezaliman Orde Baru di masa lalu. Lalu kenapa mentalitas Orde
Baru justeru menular kepada mereka yang menjabat saat ini?
Saya justeru khawatir kalau keluhan beberapa staf kedutaan
atau konsulat di beberapa tempat memang benar adanya. Menurut mereka para
anggota Dewan yang berkunjung ke negara/kota mereka tidak ada bedanya dengan
pejabat Orde Baru. Cenderung "ngebos" dan minta dilayani bak raja.
Jika tidak petugas kedutaan/konsulat bisa diancam macam-macam.
Salah kaprah
Saya ikut merasakan kali ini. Saya sejak pertama tiba di
kota New York bekerja juga pada Perwakilan RI untuk PBB. Masjid Al-Hikmah yang
seharusnya tempat saya mengabdi tidak mungkin menggaji saya untuk menutupi
kebutuhan hidup yang tinggi di kota ini.
Rupanya ini adalah satu celah yang ingin dipakai oleh mereka
untuk menekan saya. Dianggapnya jika saya diancam untuk dihentikan dari kerja
saya akan menjadikan saya mundur dari posisi semula. Padahal, dari awal hidup
saya, bahkan mati saya, sepenuhnya di tangan Allah. Selama ini juga perjalanan
hidup saya rasanya mengalir bak air dalam genggaman takdir Ilahi.
Justeru yang saya sedihkan adalah apa yang terjadi dengan
reformasi? Para politisi kita sibuk mendiskusikan reformasi di berbagai bidang
kehidupan bernegara dan berbangsa. Tapi reformasi mentalitas terlupakan.
Akibatnya seringkali yang terjadi adalah mereka bilang lain, mereka buat lain.
Mereka yang buat aturannya mereka juga yang akali. Wal'iyadzu billah!
Sumber : Notes Facebook Shamsi Ali Satu
Tidak ada komentar