Kisah Kelam Batavia Banjir Darah Warga Cina yang Dibantai VOC
“Setiap tempat bersimbah darah dan kanal-kanal dipenuhi dengan
mayat-mayat. Sebagian besar kota diselimuti abu dan lima ribu warga Cina
yang terkenal rajin dan penuh pengabdian itu telah tewas.” Demikian
kisah memilukan dari sebuah catatan akhir abad ke-18 yang pernah
tersimpan di perkumpulan komunitas Cina di Jakarta.
![]() |
Benteng Batavia |
Sebuah kota
membutuhkan warga yang menghidupkan kegiatan perekonomian. Salah satu
komunitas perintis yang bermukim di dalam tembok kota adalah masyarakat
Cina yang kelak menjadi cikal bakal budaya peranakan di kota itu.
Bahkan, VOC menunjuk seorang kapitan pertama untuk mengatur masyarakat
Cina di Batavia pada awal abad ke-17.
Pada awal abad ke-18
perekonomian dunia yang melesu dengan turunnya harga gula turut
mempengaruhi kehidupan Batavia. Pengangguran di Batavia meningkat,
sementara itu pendatang dari Cina kian memadati kota tertua di Asia
Tenggara itu. Setidaknya 4.000 orang Cina bermukim di dalam tembok kota,
sedangkan sekitar 10.000 orang berada di luar tembok kota.
Gubernur
Jenderal VOC—Kongsi Dagang Hindia Timur— Adriaan Valckenier, melakukan
kebijakan untuk mengirimkan kelebihan pengangguran itu ke Sri Langka
karena di pulau tenggara India itu VOC juga mendirikan benteng dan kota
persinggahan. Namun, terdapat desas-desus yang berkembang di Batavia
bahwa orang-orang Cina yang dikirim dengan kapal ke Sri Langka itu
dibunuh dengan menceburkan mereka ke laut lepas.
Komunitas Cina di
pinggiran Batavia mulai resah dan mengancam untuk melakukan
pemberontakan di kota. Mereka juga mendapat dukungan dari warga Cina
dalam tembok kota, melengkapi diri dengan berbagai senjata. Di beberapa
tempat, seperti Meester Cornelis—kini Jatinegara—telah dikuasai
pemberontak Cina.
Pada 9 Oktober 1740, terjadilah huru hara di
dalam tembok Kota Batavia. Para serdadu VOC melakukan perampokan dan
pembersihan warga Cina. Permukiman Cina dibakar. Semua warga Cina dalam
tembok kota, baik pria, maupun wanita, bahkan anak-anak yang lari
berhamburan ke jalanan kota itu dibunuh dengan keji.
Bahkan,
beberapa ratus orang Cina yang menjadi tahanan di Stadhuis—Balai Kota
Batavia, kini Museum Sejarah Jakarta—dibebaskan, lalu disembelih di
halaman belakang gedung itu. Diperkirakan antara 5.000 sampai 10.000
warga Cina telah dibantai.
Rumah Kapitan Cina Ni Hoe Kong yang
terletak di Roa Malaka—nama jalan itu masih ada hingga kini—dijarah dan
dihancurkan. Sang Kapitan yang bertanggung jawab terhadap segala
aktivitas orang-orang cina itu ditangkap dan akhirnya wafat dalam
pembuangannya di Ambon.
Seorang pelaku pembantaian dan perampokan, G.Bernhard Schwarzen, berkisah dalam bukunya Reise in Ost-Indien yang terbit pada 1751. Ironisnya, dia juga membunuh orang Cina yang dia kenal baik dan kerap mengundangnya makan malam.
Menurutnya,
baru empat hari kemudian pembantaian berhenti. Tak tersisa lagi orang
Cina di dalam tembok kota. “Seluruh jalanan dan gang-gang dipenuhi
mayat, kanal penuh dengan mayat,” tulisnya. “Bahkan kaki kita tak akan
basah ketika menyeberangi kanal jika melewati tumpukan mayat-mayat itu.”
Dua
tahun kemudian, Gubernur Jenderal Valckenier yang dianggap bertanggung
jawab atas tragedi di Batavia, dijatuhi hukuman penjara di Kastil
Batavia selama 9,5 tahun sebelum akhirnya meninggal dan dimakamkan tanpa
upacara.
Menurut Mona Lohanda, pemerhati sejarah peranakan Cina dan penulis buku Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia,
kerusuhan 1740 meluas hingga ke Jawa. Bahwa tragedi orang-orang Cina
bukan hanya berdampak kepada kehidupan di Batavia, tetapi juga berakibat
pada ketidakstabilan politik di Kasultanan Mataram.
Bagaimana
peristiwa itu meluas hingga ke Jawa? Dampak tragedi Oktober 1740, telah
membuat Kasultanan Banten bersiaga dengan tiga ribu prajuritnya untuk
menghadang orang-orang Cina yang melarikan diri dari Batavia.
Gagal
memasuki Banten, para pelarian itu bergerak ke timur. Sejumlah seribu
orang bertemu di pantai sisi utara Pati, kota kecil di Jawa Tengah.
Akhirnya, sebagai tindakan balasan, mereka bergabung dengan komunitas
Cina asal Semarang dan mengepung benteng VOC di kota itu. Tak hanya itu,
mereka juga menyerang pertahanan VOC di Rembang, sebuah benteng pinggir
pantai. Tampaknya, inilah perlawanan terhebat dan terheroik orang-orang
Cina kepada VOC dalam sejarah peranakan Indonesia yang terlupakan.
Jikalau
Raja Kartasura, Susuhunan Pakubuwana II, menyatukan antara kekuatan
pemberontakan orang-orang Cina dan kekuatan prajurit keratonnya, mungkin
saja VOC bisa hengkang dari Jawa Tengah. Namun, sang raja tampaknya
menyia-nyiakan momentum sehingga VOC berhasil menguasai keadaan dengan
campur tangan dalam urusan kerajaan. Meskipun konspirasi Cina-Jawa dalam
“geger pacinan” dapat dipatahkan VOC, perseteruan keluarga itu baru
berakhir pada 1755 dengan terbaginya Mataram menjadi Kasunanan Surakarta
dan Kasultanan Yogyakarta.
Usai tragedi kebiadaban itu, tidak ada
warga Cina yang kembali ke Batavia. Lalu, VOC memberikan izin tinggal
bagi orang-orang Cina di sebelah selatan tembok kota, daerah ladang tebu
dan berawa milik Arya Glitok, seorang adiwangsa asal Bali. Kelak,
pecinan baru itu dikenal dengan sebutan mirip nama belakang bekas
pemiliknya: Glodok.
(sumber: http://nationalgeographic.co.id/)
Tidak ada komentar