Breaking News

Belajar Kehidupan dari Moral dalam Novel

Judul          : Syuga Sonyaruri Memerahkan Kesunyian Malam

Penulis       : Nurul Ibad, MS

Penerbit     : LKiS

Cetakan     : I, 2011

Tebal         : xii + 272 halaman, 13x 20,5

Peresensi   : Junaidi*

Mengapa Tuhan menghukumku dengan kecantikan yang tak abadi, sementara aku hanya bisa hidup dengan kecantikan ini” (Hal. ix). Ibad dalam buku novel ini menjadi sosok penasehat bagi berlangsunganya kehidupan kaum hawa. Diakui atau tidak, bahwa kaum hawa merupakan identik dengan kecantikan dan selalu bersolek dalam kesehariannya. Ini dengan tujuan menambah daya tariknya terhadap lawan jenisnya.

Sangatlah wajar dan pantas dalam menjalani kehidupan ini jika seorang perempuan selalu bersolek dan memperindah diri. Karena perempuan hanya menunggu laki-laki yang akan menjadi pasangan hidupnya kelak. Sebagai seorang laki-laki hanya akan memilih dan menilai mana perempuan yang cocok untuk menjadi pasangan hidupnya agar mencapai keluarga yang harmonis dan penuh dengan cinta.

Sebenarnya jika kita melihat isi penjelasan Ibad melalui seluk beluk tulisannya ini, bahwa kecantikan bukanlah ukuran utama dalam menjalani kehidupa ini. Kecantikan hanya akan mendatangkan fitnah dan petaka dalam kehidupan. Memilih seorang gadis untuk menjadi pendamping hidup tidaklah harus dari kecantikannya, akan tetapi saling setia demi mencapai keharmonisan keluarga.

Dampak Nikah Paksa

Apapun yang dipaksakan dalam pelaksanaannya, tentu akan ada dampak yang tidak enak dari buah hasil pelaksanaan pemaksaan tersebut. Dalam ajaran agama Islam saja memaksa tidaklah dibenarkan. Namun tak kalah penting dengan adat pernikahan di belahan dunia ini, kawin paksa sering kita dengar dan dampaknya cukup tidak baik bagi salah satu pasangan suami istri (Pasutri) tersebut, katakanlah Siti Nurbaya tidak akan pernah sirna dari kehidupan ini.

Ibad dalam kaitannya dengan kawin paksa melukisakan dampaknya tersebut melalui kata-kata yang begitu lugas dalam novel ini. Dalam kawin paksa itu tentu ada ketegangan yang terjadi jika peristiwa itu berlanjut dan tidak sesuai dengan keinginan orang yang akan menjalani kehidupan berkeluarga tersebut. Memang, meskipun berjalan begitu mulus pelaksanaannya, akan tetapi jika ada salah satu jiwa Pasutri itu masih merasa tertekan, suatu saat akan melakukan pemberontakan.

Tulisan Ibad ini akan menjadi pelajaran bagi kita semua dalam menghadapi pernikahan yang dipaksakan. Hal-hal yang dipaksakan tidaklah bernilai baik, berupa apupun itu alasannya, meskipun toh alasannya baik dan diterima oleh Pasutri, di kemudian hari akan sudah tentu ada keregangan keluarga, bisa jadi perceraian yang terjadi. Padahal, dalam ajaran agama Islam tujuan nikah adalah keharmonisan dan kebahagiaan yang harus berlanjut.

Mengapa dalam ajaran Islam mengawinkan perempuan yang masih gadis itu masih boleh dipaksakan oleh orang tua? Ini yang menjadi pertanyaan besar bagi kita saat ini. Ya, memang kadang benar pilihan orang tua, kadang juga seorang Gus dalam memilihkan jodoh, akan tetapi jika orang tersebut bukan pilihan kita dan kita tidak mau, kita sendiri yang akan menanggung akibatnya.

Kebahagiaan, kesengsaraan, pertengkaran, kesusahan, dan tanggung jawab hidup kelak dalam perjalanan hidup bukan kembali pada comblang, tetapi kembali pada yang menjalani. Apakah dalam hal demikian tidak haram dan berdosa bagi Ortu atau seorang Gus menyiksa batin seseorang dengan kekeramatannya? Orang tua memang bertujuan membahagiakan anaknya dengan pilihannya pula, jika anak itu merasa bahagia, maka orang tuanya pun akan ikut dalam kebahagiaan tersebut.

Ibad menggambarkan sosok orang yang dipaksakan dalam menikah. Melalui tulisannya ini bahwa mereka yang yang dipaksa menikah dengan orang yang bukan pilihannya dengan alasan apapun (layaknya Siti Nurbaya) kerukunan dan keluarga yang sakinah sangat sulit untuk digapai dalam kehidupannya. Paling tidak novel ini menjadi sebuah bacaan dan pelajaran bagi kita semua dalam mengarungi bahtera kehidupan di dunia.

Minyikapi Pangkat

Berbaur dan bergaullah dengan masyarakat luas dengan penuh cinta kasih karena merekalah kelak yang akan menjadi bimbinganmun. Bersikaplah terbuka untuk siapa saja dan jangan menutupi diri. Posisi Gus bukanlah kedudukan yang pantas dibanggakan, bukanlah status yang harus dipuja dan disegani. Jadikanlah posisi Gus sebagaimana pengusaha, petani, pengemis, gelandangan, dan lain sebagainya. Hapuslah jarak antara Gus dengan masyarakat kebanyakan. Status Gus adalah untuk memberikan pelayanan dan bukan untuk mendapat pelayanan. Dekatilah umat sebelum mendekatimu. Rangkullah umat dengan penuh kemesraan sebelum mereka merangkulmu. Buatlah mereka bahagia dengan pelayananmu. Dengan demikian mereka akan menjadi barisan setia dalam jemaatmu dan mau mendengarkanmu” (Hal. 62-63).

Hal yang sangat mendominasi dalam tradisi pernikahan adalah pangkat dan kedudukan. Islam saja dalam ajarannya menganjurkan hidup yang penuh bahagia dalam menentukan pilihan. Ibad dalam menggambarkan kuasa nikah ini menggunakan sesosok Gus yang memiliki kekeramatan yang sangat disegani oleh para pengikutnya, dengan kekermatannya itu segala keinginannya untuk melakukan apa saja mudah untuk dicapai dan dilakukan, khususnya dalam urusan pernikahan.

Namun, novel ini akan menjadi sebuah nasehat bagi kita sebagai pembaca dalam menyikapi pangkat dan kedudukan yang kita miliki. Bukan untuk semena-mena, apalagi sebagai seorang Gus tidaklah harus mengutamakan kepangkatannya dalam segala urusan hidup.



* Peresensi adalah mahsiswa jurusan Sastra Inggris fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Hp          : 087866119361      
E-Mail     : john_gapura@yahoo.com

Tidak ada komentar