Maaf, Aku Nggak Bisa Jadi Bini Yang Baik Gus...
Kata orang, jadi istri seorang anak kyai itu menyenangkan. Apalagi
jika sang anak kyai itu berasal kalangan keluarga berada. Selain ada
jaminan masa depan yang lebih baik, ada hal lain yang membuat semua
wanita berlomba lomba mencuri perhatian para anak kyai atau seringkali
di panggil 'gus' itu. Yakni soal prestise, kehormatan dan kemuliaan.
"Orang orang tak akan lagi memanggilmu dengan sebutan yang mengolok olok, Pluk" kata Babe di suatu pagi.
Pria
paling di tuakan di komplek Mendung Kelabu itu memang bukan ayah
kandungku. Tapi sejak kecil dialah yang memungutku dari seorang ibu yang
hingga kini aku tak pernah melihat seperti apa wajahnya. Ia yang
merawatku sejak masih bayi merah, menyekolahkanku walau hanya tamat SD
dan selalu menyemangatiku untuk tetap tegar dalam melewati onak duri
kehidupan.
Pict : posmetrobatam.com
Namaku Puput Kembang Kirana. Sebuah nama yang hanya pajangan di atas
KTP. Sebab hingga menginjak usia dua puluh tahun, tak sekalipun aku
pernah mendengar orang memanggil nama itu. Teman sekolahku waktu kecil,
kawan kawanku di komplek, para orang tua termasuk juga Babe selalu
memanggilku dengan sebutan 'Cempluk'. Panggilan kampungan memang. Tapi
aku tak merasa risih dengan sebutan itu.
"Kamu akan di
panggil Ning atau setidaknya Mbak. Dan kalau suamimu naik kelas
menggantikan kelas menjadi kyai, kamu akan di panggil bu Nyai. Orang
orang sekitarmu akan menghormatimu. Bicara sopan lagi ramah padamu. Para
ibu yang datang padamu akan sangat senang jika kamu mendoakan anak
mereka, suami mereka dan diri mereka agar selalu di lindungi oleh
Allah".
"Tidak ada yang berani menyakitimu lagi, Pluk" pungkas laki laki yang setahuku terus hidup membujang hingga usia senja itu.
Sudah
menjadi kebiasaan Babe kalau lagi duduk berdua selalu saja berceramah
layaknya pengkhutbah di atas podium. Memang, terkadang juga suka melucu.
Tapi tak jarang temanya membosankan. Soal kebaikan, soal masa depan,
soal pekerjaan dan segala tetek bengek yang menurut pemikiran anak muda
sepertiku tidak penting penting amat.
Seperti halnya pagi
ini. Kalau biasanya Babe hanya memintaku untuk sarapan sebelum berangkat
mengamen di bus bus kota, kali ini bapak angkat menahan waktuku lebih
lama hanya demi mendengar ocehannya. Aku sempat berfikir, ada apa
gerangan. Apalagi yang di bicarakan adalah sesuatu yang sangat tidak
biasa. Bicara soal rumah tangga, soal kyai dan soal anak kyai. Yang
semua itu tak pernah terlintas dalam memori otakku. Jangankan mengenal
dunia kyai. Membaca kitab sucipun aku tidak bisa. Kalau menyanyikan lagu
lagu cinta, menggesek biola atau menabuh kendang yang terbuat dari pipa
bekas, aku jagonya. Jangan bertanya juga bagaimana aku berdoa dan
beribadah, karena aku merasa itu bukan duniaku. Kalau bertanya berapa
kali aku menenggak minuman keras, jenis minuman apa saja yang pernah
masuk melewati kerongkonganku dan berapa seberapa sering aku teler,
mungkin aku bisa menerangkan.
"Babe ngomong apaan sih ?.
Biasa aja kali. Nggak usah ngomongin macem macem gitu. Mending Babe
doain Cempluk biar dapat duit banyak hari ini" ucapku memprotes.
Ku
raih biola bututku yang berada tepat di bawah meja makan dan berharap
Babe mengakhiri khutbahnya segera. Tapi belum juga pantatku terangkat
dari kursi, sang Babe menatap tajam ke arahku.
"Duduk !!!" sergahnya setengah memaksa.
Akhirnya aku hanya bisa terdiam menunggu apa yang akan ia katakan selanjutnya.
Pria
yang usianya aku taksir enam puluh tahun itu mengendurkan urat wajahnya
yang tegang. Sepintas senyum terlepas dari sudut bibirnya yang tertutup
kumis tebal berwarna putih total itu. Dan aku segera paham bahwa Babe
tidak sedang ingin memarahiku.
"Semalam ada tamu istimewa kemari" Babe memulai cerita.
Ku
angkat alisku dan mencoba mengingat ingat kejadian semalam. Tapi
sebentar kemudian aku menggaruk garuk kepala. Sejak pukul tujuh aku
sudah terkapar di tempat tidur selepas minum minuman keras bersama kawan
kawanku di belakang rumah.
"Yang datang masih muda. Lebih tua dari usiamu sepuluh tahun".
"Ahh, itu sih udah bapak bapak, Be..." potongku.
"Dengar dulu!" suara Babe meninggi.
Aku diam menggerutu dalam hati.
"Dia
baru saja terpilih sebagai anggota legislatif dan akan segera berkantor
di Jakarta. Babe memang tidak terlalu mengenalnya. Tapi Babe kenal
siapa bapaknya. Bapak dia masih satu kampung sama Babe. Hanya beda nasib
aja. Dia tokoh masyarakat, sementara Babe hanya berandalan brengsek
yang terusir dari kampung dan akhirnya terdampar di ibukota".
"Trus, apa hubungannya dengan Cempluk, Be ?" aku penasaran.
Babe
menarik nafas panjang. Menghisap sisa cerutu di tangannya lalu
memandangku dengan tatapan penuh misteri. Tangan kirinya mengeluarkan
selembar foto dari balik saku. Ada gambar seorang pemuda perlente dengan
peci hitam melekat di kepalanya.
"Ganteng juga" pikirku.
"Namanya Gus Amru" terang Babe.
"Dia
bilang, sering melihatmu mengamen di bus kota. Bukan hanya sekali dua
kali. Bahkan nyaris tiap hari ia terpaksa naik bus kota ke tempat kerja
demi melihatmu bernyanyi. Suara kamu merdu, katanya".
Aku
sempat bertanya dalam hati, apakah pria yang bernama Gus Amru itu
mencariku untuk membantu mengorbitkanku jadi penyanyi terkenal. Kalau
iya, tentu ini kesempatan yang tak akan pernah aku lewatkan. Tapi...
"Dia menyukaimu, Pluk".
"Waduhh..." aku terkejut.
"Kalau kamu setuju, dia akan melamarmu untuk di jadikan istrinya".
Blarr
Seperti
tersengat petir di siang bolong, jantungku mendadak bergemuruh. Bukan
karena gembira di minati anak kyai lagi pejabat penting, tapi akal
sehatku masih belum mampu mencerna sesuatu yang baru saja Babeku
katakan.
"Di lamar ?. Menjadi pengantin ?. Berumah tangga ?. Jadi seorang ibu ?" kalimat kalimat itu silih berganti mengotori pikiranku.
Mending
kalau kawinnya sama teman teman selevelku. Yang sama sama tahu latar
belakang. Sama sama paham sifat masing masing. Dan tentu saja sama sama
otaknya bocor. Ini yang melamar adalah seorang pejabat. Anak ulama
ternama pula. Dan aku yakin hidupnya jauh lebih mapan dari sekedar
gembel sepertiku.
"Terima ajalah, Pluk" saran Ajay, salah satu kawan satu gengku di sela sela pesta miras yang kita gelar di sebuah kebun kosong.
"Kapan lagi loe dapat kesempatan memperbaiki keturunan".
"Gue juga dukung!" sahut Kucel yang kelihatannya mulai mabuk berat.
"Gue mau kok jadi bodyguard kalian. Lumayan khan daripada ngamen mulu..." celotehnya khas orang mabuk.
"Jangan mimpi loe, Cel" ledek Rudi, kawan gengku yang lain, "tiap hari loe kerjanya mabuk, mana bisa fokus...?. Ha ha ha".
"Enak
aja. Gue bakalan insyaf, bangsat !!" balas Kucel yang kemudian di
iringi gemuruh tawa dari kawan lain yang berjumlah lima orang.
Untuk
sejenak, aku merasa terhibur dengan omongan konyol mereka. Walaupun
sebenarnya di otakku juga sudah mulai di kerubuti kunang kunang berwarna
warni.
"Kayaknya gue nggak bisa deh, bro" kataku.
"Kenapa ?" Ajay.
"Kalian khan tahu, gue cewek macem apa? dari kalangan mana ? dan kelakuannya kayak gimana?" aku mencari alasan.
"Mana
bisa gue hidup di kalangan keluarga taat macam begitu ?. Yang ada gue
bakalan di maki maki tiap hari oleh orang tuanya" keluhku was was.
Entah
karena ucapanku yang terlalu emosional atau apa, semua orang tiba tiba
menghentikan aktifitasnya dan mengarahkan pandangannya kepadaku. Ada
semangat solidaritas yang aku tangkap dari wajah wajah kusut mereka.
Yang membuatku merasa tidak sendirian menghadapi masalah.
"Menurut gue, loe coba aja dulu Pluk" ucap Ajay sembari menepuk pundakku.
"Kalian ntar gimana ?. Vokalisnya siapa ?" merasa berat.
Ajay hanya tersenyum tipis, "khan ada Kucel...".
"Loe pikirin diri loe sendiri aja dulu. Jalani apa yang di rencanain Babe. Setidaknya nyenengin hati Babe".
"Kalau gue nggak nyaman ?".
"Mmmm..." Ajay mengguman, "kita kita janji akan terima loe lagi di sini kalau loe nggak bahagia di sana".
Serentak semua orang menganggukkan kepala.
Satu
dukungan yang semoga saja makin menguatkan kesiapanku. Aku sendiri tak
tahu apakah aku bisa mencintai pria bernama Gus Amru itu atau tidak.
Bahkan seumur hidup aku tak pernah merasakan apa yang orang bilang di
sebut 'cinta'. Banyak pria yang aku temui mengatakan aku ini cantik,
seksi dan menggemaskan. Tak sedikit pula yang berusaha mendekatiku. Tapi
entah mengapa aku sendiri tidak begitu tertarik dengan segala hal
mengenai cinta. Yang aku tahu, kebahagiaan itu manakala aku bisa membuat
bapak angkatku merasa bangga dengan kerja kerasku. Manakala aku masih
bisa meluangkan waktu merenda kebersamaan dengan kawan kawan satu geng.
Menghisap sepuntung rokok bareng bareng, menuangkan alkohol ke dalam
gelas dan menenggaknya hingga semua rasa penat hilang seketika.
Dalam
waktu dekat aku akan menghadapi situasi yang benar benar baru. Situasi
yang mungkin saja akan memaksaku merubah total seluruh gaya hidupku.
Menjadi istri seorang 'gus'. Menjadi bagian dari keluarga pemuka agama
terpandang. Aku bingung harus memulai darimana. Aku bingung apa yang
harus aku persiapkan untuk menghadapi kehidupan baru nanti. Aku bingung
apakah orang orang sekitar Gus Amru akan menerimaku dengan tangan
terbuka dan tidak mengungkit ungkit masa laluku.
"Sekali ini Babe minta sama kamu, Pluk" Babe berharap sangat.
"Kamu
sudahi kebiasaanmu. Merokok, mabuk dan keluyuran tiap malam. Kamu harus
fokus. Jangan malu maluin Babe. Babe udah brengsek, masak kamu mau
ikutan brengsek".
"Iya, be" anggukku walau belum yakin.
"Babe
udah beliin kamu buku pesholatan. Buku doa doa. Kamu pelajari itu.
Kalau nggak bisa baca Arab, baca tulisan latinnya aja. Jadi nanti biar
calon suamimu nggak kecewa. Masak bini ustadz nggak bisa sholat ?".
Lagi lagi aku hanya mengangguk.
"Pernikahanmu
dua minggu lagi. Soal biaya, calon suamimu udah ngasih bantuan yang
lebih dari cukup. Babe udah ngomong ke semua penghuni komplek agar pas
hari H semua bersiap menyambut".
Setelah itu, persiapanpun
di mulai. Aku tak tahu berapa banyak uang yang di berikan Gus Amru pada
Babe. Tapi aku lihat lingkungan komplek Mendung Kelabu tiba tiba
berubah total. Jalan jalan di bersihkan, rumah rumah yang kusam dan bau
di renovasi, pos ronda yang biasa buat mangkal bapak bapak kini di sulap
menjadi mushola. Babe juga mengumpulkan para ibu ibu agar di hari
pernikahan nanti semua pakai busana muslim. Jangan lagi memakai pakaian
yang seksi dan menantang syahwat. Beberapa wanita penghibur yang biasa
beroperasi di salon salon plus komplek Mendung Kelabu juga di himbau
untuk meliburkan diri. Untuk itu Babe memberi ganti dengan uang tunai
yang entah berapa jumlahnya. Maka dalam sekejap, komplek Mendung Kelabu
menjadi terlihat lebih islami.
Sebuah upaya yang menurutku
benar benar serius. Entah seperti apa sebenarnya pria bernama Gus Amru
itu. Hingga ia berani mengorbankan banyak hal demi mencapai tujuannya.
Dan yang aku masih tak habis pikir, apa yang membuatnya begitu berhasrat
memperistriku. Tidak mungkin kalau hanya karena kepandaianku menyanyi.
Karena aku tahu pasti kemampuanku berseni biasa biasa saja. Apakah
karena aku cantik ?. Rasanya banyak wanita yang lebih cantik lagi
berperilaku baik di banding aku. Atau, dunia memang sudah gila ?.
======
Dua
minggu kemudian ritual pernikahan di laksanakan. Mungkin bagi keluarga
Gus Amru terkesan biasa saja, tapi bagiku dan mungkin seluruh penghuni
komplek Mendung Kelabu termasuk pesta yang cukup menyita perhatian.
Hanya saja, bukan itu yang sesungguhnya aku fikirkan. Melainkan
bagaimana melewati masa masa selanjutnya. Bagaimana aku harus berlaku
seperti layaknya istri dari seorang anak kyai. Mampukah aku ?. Mampukah
aku merubah gaya hidupku. Keluyuran malam mungkin bisa aku kurangi,
apalagi kalau nanti aku tinggal di daerah asal Gus Amru yang konon
berada di lingkungan pesantren. Tanpa adanya kawan kawan satu gengku,
mana bisa keluyuran. Tapi soal merokok dan minum, aku sama sekali belum
bisa memberi jaminan. Kedua benda itu bagiku sudah menjadi konsumsi
wajib. Aku sudah kecanduan hingga ke level yang kronis. Jika ada akses
mendapatkannya, bisa jadi kebiasaan itu akan terus aku lakukan. Walau
mungkin secara diam diam.
Dan pada akhirnya, apa yang aku
khawatirkan satu per satu terjadi juga. Sesuatu yang membuatku salah
tingkah, serba salah dan terus mengutuki diri sendiri. Insiden pertama
terjadi ketika usai pesta pernikahan. Beberapa kawanku yang merasa hari
ini adalah yang terakhir aku bersama mereka, menyambangiku malam itu.
"Kita bersulang untuk yang terakhir kali, Pluk" kata Kucel setelah membawaku ke kebun kosong.
Di
situ sudah ada beberapa kawan lain yang sudah mempersiapkan beberapa
botol minuman. Ada Ajay, Rudi dan Giwang. Seorang dari mereka menuangkan
segelas minuman untukku.
"Abis ini kita nggak punya waktu lagi..." kata Ajay sembari menyodorkan gelas itu.
Aroma
anggur yang harum semerbak sontak menggoda hasratku. Beberapa hari
terakhir memang aku berusaha untuk tidak menyentuh barang itu. Demi
menuruti kata Babe. Tapi kali ini sungguh aku tak kuasa menahan diri
untuk menolaknya. Apalagi jika melihat wajah wajah sahabat
seperjuanganku yang berharap perpisahan ini membawa kesan mendalam.
Malam
itupun aku membiarkan Gus Amru tidur sendirian di kamar, sementara aku
malah mabuk mabukan bersama teman teman. Biar sajalah. Aku yakin Gus
Amru juga memaklumi kalau tahu bagaimana persahabatan kami. Dan keesokan
harinya aku lihat suamiku tak terlalu berlebihan dalam bereaksi. Dia
hanya menanyakan kemana aku semalam tanpa bertanya apa yang aku lakukan.
Setelah aku jawab kalau aku ke tempat kawan kawan untuk berpamitan, ia
malah bilang,
"Sepertinya kamu lelah sekali. Banyak banyaklah istirahat. Jangan lupa, dua hari lagi kita akan ke pesantren abahku".
Hanya
itu ucapan yang keluar dari mulut Gus Amru. Justru yang marah besar
malah bapak angkatku. Babe yang sering menyaksikan keadaanku kusut
langsung melabrakku begitu suamiku pergi ke tempat kerja.
Plakk!!!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiriku. Perih rasanya. Tapi aku sungguh tak bisa berbuat banyak.
"Kamu mau mempermalukan Babe ?. Heh ??" bentaknya keras sekali. Hingga mungkin tetangga rumah mendengarnya.
"Sekali ini aja Be" aku membela diri, "lagian abang nggak bakal paham apa yang aku lakuin".
"Itu khan menurutmu" sambar Babe memerah.
"Pokoknya kalau kamu mengulang lagi kebiasaanmu di tempat suamimu, Babe nggak akan mengampuni lagi!!".
Aku
terdiam dalam bisu. Tak biasanya Babe semarah ini. Dia tahu aku tukang
minum, tukang mabuk dan pecandu rokok. Tapi tak pernah marah hingga
menampar seperti ini. Sedih hatiku. Kenapa aku tak juga mampu melawan
keinginan yang hadir dari dalam diriku sendiri. Bagaimana jika nanti aku
sudah tinggal di tempat Gus Amru. Bagaimana kalau aku tidak bisa
menghilangkan kebiasaan ini. Apakah aku harus pasrah saja dan kembali ke
Jakarta. Menjalani kehidupan seperti semula. Mengamen, bercengkerama
dengan teman teman dan menikmati hidup apa adanya.
Pertarungan
batin yang tidak mudah. Bahkan ketika aku sudah tinggal di lingkungan
pesantren, aku masih merasa kesulitan merubah diri. Kalau lagi belanja
ke supermarket, sudah pasti aku menyisihkan uang untuk membeli rokok dan
minuman beralkohol yang kadarnya cukup rendah. Dengan kondisi suami
yang super sibuk, aku lebih punya banyak waktu untuk mengkonsumsi barang
barang itu. Tentu saja dengan cara sembunyi sembunyi. Sebab di rumah
ada mertua, ipar dan santri santri.
Tapi namanya bau
busuk. Walau di simpan rapat rapat akhirnya tercium juga. Suatu ketika
mertuaku perempuan tiba tiba masuk ke kamarku. Mendapatkanku lagi
merokok dan menenggak minuman keras. Dalam keadaan setengah sadar, aku
di hadapkan pada mertua laki laki untuk dan di adili. Dan tanpa menunggu
waktu suamiku pulang, mertua mengusirku dari pesantren.
Dengan
berbekal uang seadanya aku kembali ke Jakarta. Kawan kawanku yang sejak
awal sudah aku beritahu menjemputku di bandara. Di sana kami berunding
untuk mencari jalan keluar.
"Gue nggak mungkin ke Mendung Kelabu. Babe bakalan mengusir gue" keluhku pada mereka.
"Tenangkan diri loe, Pluk. Kita udah siapin semuanya" Ajay terlihat tenang.
"Siapin gimana ?" aku terheran.
"Gini"
Rudi menimpali, "setelah loe nggak di Mendung kelabu, kami berempat
dapat pekerjaan di tempat salah seorang pejabat" terangnya.
"Ajay jadi sopir, gue bagian office boy, Giwang tukang kebun dan Kucel jadi satpam".
"Nah,
kebetulan bos sedang cari pembantu wanita. Yahh, buat masak nyuci dan
lain lain. Daripada loe terlunta lunta, mendingan loe ambil tuh job.
Kita bakalan rekomendasikan loe biar di terima" kata Ajay menerangkan.
Hanya
sebentar berfikir, akhirnya aku menyetujui usulan mereka. Dengan mobil
yang di kendarai Ajay, kami menuju sebuah kawasan perumahan elite yang
entah siapa penghuninya. Ke empat sahabatku itu mengajakku memasuki
sebuah rumah besar yang sepertinya rumah dinas pejabat. Tidak menuju
ruang tamu melainkan menyusuri lorong yang tembus ke belakang rumah. Di
situ ada taman kecil dengan kolam ikan berukuran tiga kali tiga meter.
Sesosok pria terlihat jongkok di pinggir kolam dengan posisi memunggungi
kami. Sepertinya ia sedang memberi makan ikan ikan yang ada di kolam.
"Loe ngomong sendiri ya" Ajay membisikiku.
Dan
entah di dorong oleh kekuatan apa, aku memberanikan diri melangkah
mendekati pria itu. Sementara ke empat kawan yang tadi di sampingku
hilang entah kemana.
"Gimana perjalananmu, Pluk" kata pria di pinggir kolam itu seraya bangkit dan menyambut kedatanganku.
"Abang ??" teriakku histeris.
Ternyata dia adalah Gus Amru, suamiku.
"Sini, mendekatlah padaku" sambutnya dengan tangan terentang.
Sikapnya
yang tak pernah berubah sejak awal aku mengenalnya, membuat batinku
seolah di aduk aduk. Rasa bersalah, rasa sesal sekaligus sedih berbaur
menjadi satu. Tatapan matanya begitu sejuk. Seolah tidak sedang terjadi
apa apa. Padahal aku yakin ia pasti sudah di beritahu mengenai masalahku
oleh mertua. Senyumnya mengisyaratkan sesuatu yang tulus.
"Sini, sayang...." panggilnya dengan sebutan mesra.
Akupun
segera berlari menubruknya. Menyandarkan kepalaku di dadanya dan
bersedu sedan dalam dekapannya. Lamat lamat aku dengar bibirnya
membisikkan kalimat kalimat indah.
Aku mencintaimu
Mencintai matamu
Yang sembab oleh riuh suka lara
Aku mencintai suaramu
Yang melengking laksana kicauan nuri di dahan kering
Aku juga mencintai marahmu,
Mencintai jengkelmu
Dan bencimu
Aku mencintai cerita ceritamu
Yang tergurat dalam setiap episode hidupmu
Aku juga mencintai masa lalumu
Masa depanmu
Dan setiap masa yang mengiringimu
Aku mencintai pintu rumahmu
Yang memberiku jalan untuk memasuki relungnya
Aku juga mencintai terasmu
Halamanmu,
Bahkan selokan di pinggir rumahmu
Aku mencintai masalahmu
Yang selalu menyesakki pikiran warasmu
Aku juga mencintai dukamu
Sukamu
Dan rasa lemahmu mengarungi keadaan
Aku mencintai bayanganmu
Yang setia mengikuti setiap jejakmu
Aku juga mencintai jasadmu
Nyawamu
Dan juga ketiadaanmu
Aku mencintai langitmu
Yang atapnya melindungimu dari setiap bahaya
Aku juga mencintai pijakanmu
Jembatanmu
Juga lubang menganga yang membuatmu terus terperosok
Aku mencintai kebodohanmu
Yang seringkali membuatmu kalah
Aku juga mencintai cerdikmu
Mencintai nalarmu
Juga kecerobohanmu
Aku mencintai kemalasanmu
Yang membuatmu terus terjebak dalam kegamangan
Aku juga mencintai kerja kerasmu
Semangatmu
Juga keteledoramu
Aku mencintai kesetiaanmu
Yang tak goyah oleh hempasan badai menyapu
Aku juga mencintai penghianatanmu
Kuat dan rapuhmu
Hitam dan putihmu
Siang dan malammu
Lapar dan kenyangmu
Hidup dan matimu
Nakal dan taatmu
Aku mencintai segala yang ada dalam dirimu
Mencintai segala yang ada di sekitarmu
Juga yang tidak ada dalam dirimu dan sekitarmu
Penulis : Komandan Gubrak
Tidak ada komentar