MEROBEK BENDERA MEMBELAH BANGSA
Dalam pidato politik di depan publik pasca pelantikannya sebagai
Gubernur DKI, Anis Rasyid Baswedan menyatakan bahwa kini saatnya pribumi
menjadi tuan rumah di negeri sendiri karena dulu pribumi ditindas dan
dikalahkan.
Zastrouw Al-Ngatawi dan Gubraker |
Pidato politik Gubernur DKI yang menggunakan istilah
pri dan nonpri ini dapat membahayakan keutuhan bangsa karena bisa
memancing tumbuhnya sikap rasis dan sektarian serta menebalkan sikap
saling curiga antar sesama warga bangsa.
Mengangkat issu pri dan
non pri ini sebenarnya bertentangan dengan konteks historis, yuridis
dan ideologis bangsa Indonesia yang beragam.
Secara historis
pemilahan pri dan non pri merupakan konstruksi sosial yang dibangun oleh
kaum penjajah sebagai upaya untuk memecah belah masyarakat negeri
jajahan. Kaum pribumi ditekan dan direndahkan sedangkan kaum nonpri
dimuliakan dengan berbagai fasilitas untuk dijadikan alat menekan kaum
pribumi.
Kondisi ini yang ingin dilawan oleh para pendiri bangsa
Indonesia. Mereka bersatu padu menghancurkan sekat-sekat sosial yang membelah
masyarakat menjadi pri dan non pri. Semangat kebangsaan dan kesadaran
bersama untuk merebut kemerdekaan telah meruntuhkan sekat primordial dan
sektarian yang memisahkan antara pri dan non pri.
Semangat melebur
sekat pri dan non pri ini bisa dilihat dari anggota BPUPKI yang
melibatkan kelompok peranakan (Cina dan Arab) yang dianggap sebagai
golongan non pri. Diantara anggota BPUPKI ada empat orang Cina, satu
orang Arab dan satu orang Belanda. Selain itu juga bisa dilihat dari
pemikiran dan perdebatan dalam sidang BPUPKI yang sama sekali tidak
mempersoalkan masalah pri dan non pri. Bukti sejarah ini menunjukkan issu
pemilahan pri dan non pri tidak memiliki dasar historis.
Secara
yuridis, ketika merumuskan pasal "Presiden orang Indonesia asli" yang
ada dalam UUD 45 konteksnya bukan sektarian dan rasis, tetapi semua
warga negara yang berada dalam satu ikatan kesatuan historis dan
kesatuan tempat tinggal (geografis) bumi Indonesia (Leo Suryadinata;
2002)
Meleburnya sekat pri dan non dalam kalimat "presiden orang
Indonesia asli" juga bisa dilihat dari pernyataan bung Hatta: "seorang
Indonesia tulen haruslah menghilangkan penyakit provinsialisme, seorang
Indonesia tulen tak perlu curiga atau menutup diri terhadap kehadiran
manusia Indonesia lain yang mungkin berbeda suku, agama, keyakinan
politik dan lain-lain"
Issu pri dan non pri yang sektarian dan
rasis semakin kehilangan pijakan yuridis ketika UUD 45 diamandemen dan
pasal "presiden orang Indonesia asli" dihapuskan. Kemudian muncul
pasal 27 ayat 1 UU Amandemen yang intinya menyatakan semua warga negara
memiliki kedudukan dan kewajiban yang sama dihadapan hukum dan
pemerintahan. Dari sini lahir UU no. 40 th. 2008 tentang penghapusan
diskriinasi ras dan etnis. Jelas di sini terlihat pamilahan pri dan non
pri di Indonesia tidak memiliki landasan yuridis.
Pancasila
sebagai ideologi bangsa Indonesia juga tidak mengenal pemilahan pri dan
non. Sila kemanusiaan yang ada dalam Pancasila merujuk pada keseluruhan
manusia, tidak terbatas pada enis, golongan atau agama tertentu apalagi
batasan pri dan non pri. Keadilan sosial yang terkandung dalam sila
Pancasila juga untuk seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Tak ada
perbedaan pri atau non pri dalam nilai keadilan sosial yang ada dalam
Pancasila. Dengan demikian pemilahan warga bangsa menjadi pri dan non
jelas bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi
bangsa Indonesia.
Jika dicermati lebih dalam, upaya merebut
kemerdekaan sebenarnya merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajahan
sebagai cermin dari penindasan dan kedhaliman yang tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan peri keadilan (lih. Pembukaan UUD 45). Ini artinya
bangsa Indonesia harus melawan penindasan dan kedhaliman untuk
mewujudkan keadilan dan kemakmuran.
Melawan kedhaliman dan
mewujudkan kemakmuran tidak bisa ditransformasikan dengan issu pri dan
non pri, karena ini terkait dengan perilaku individu yang tidak bisa
digeneralisir secara kelompok. Banyak orang orang pribumi yang bersikap tidak
adil, menindas dan serakah demikian sebaliknya. Mengangkat issu pri dan
non pri sebagai upaya mewujudkan kemakmuran dan melawan kedhaliman
justru akan memancing timbulnya masalah baru dan mengalihkan dari
persoalan yang sebenarnya.
Mengangkat issu pri dan non pri sama
saja dengan merobek bendera dan membelah bangsa. Menghadapi issu yang
rentan konflik dan perpecahan seperti ini kehadiran Pancasila menjadi
semakin dibutuhkan. Karena Pancasila tidak mengebal diskriminasi
berdasarkan ras, golongan dan keyakinan. Diperlukan adanya upaya
aktualisasi Pancasila dalam laku hidup yang nyata untuk bisa menangkal sikap
rasis dan sektarian yang bisa merobek keutuhan bangsa.
Semoga
bangsa ini masih punya kekuatan untuk bertahan agar tidak mudah terkoyak
ketika dirobek dan memiliki kesabaran untuk terus merajut keberagaman agar
tidak mudah dibelah. Semoga..***
Penulis : Zastrouw Al-Ngatawi
Budayawan dan aktifis NU
Tidak ada komentar