KUDETA
Tak terlukiskan lagi, bagaimana rasa dongkolnya Prabu Duryudana
sepulang dari Amarta. Negeri yang dahulu hanya hutan belantara nan
angker dan hanya bisa di huni oleh bangsa dedemit, setan dan peri
prayangan, kini oleh para Pandawa di sulap menjadi negeri yang
mempesona. Gedung gedung yang megah, lahan pertanian yang subur,
masyarakat yang gemah ripah loh jinawi dan para nayaka praja yang
senantiasa peduli terhadap rakyatnya. Tidak itu saja, dari segi
kemampuan militer, Amarta tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan militer
yang tak bisa di anggap enteng. Di sana ada Bima, panglima perang
Amarta sekaligus komandan angkatan darat Amarta yang di kenal kuat,
kokoh dan sulit di kalahkan. Ada Arjuna yang memiliki pasukan pemanah
berjumlah ribuan. Ada Nakula dan Sadewa yang kian hari kian menunjukkan
kemajuan pesat dalam olah kemiliteran.
(Pict : filsafat.kompasiana.com)
"Mereka juga
membangun benteng benteng yang tinggi dan kokoh, yang tidak kalah
kuatnya dengan benteng istana Hastinapura. Apa ini bukan berarti mereka
merencanakan kudeta ?" kata Prabu Duryudana di depan para petinggi
Hastinapura.
"Sabar ananda prabu" Resi Krepa
menenangkan," jangan terburu nafsu dengan menuduh anak anak Pandawa
hendak melakukan kudeta terhadap kekuasaan ananda prabu. Bisa jadi itu
mereka lakukan untuk melindungi negaranya dari gangguan para raksasa
yang selama ini selalu mengganggu penduduk Amarta" lanjut salahsatu
penasehat utama Hastina itu.
"Maaf paman Krepa" Basukarna
menyela, "terus terang saya kurang setuju dengan pendapat paman Krepa.
Sebagai seorang prajurit yang sudah lama malang melintang di dunia
kemiliteran, saya kira apa yang di lakukan oleh para kadang Pandawa
bukan di tujukan untuk melindungi negaranya dari gangguan para durjana
semata. Tapi sudah menuju pada makar".
"Pikirkan baik
baik, paman" sang adipati Awangga memperingatkan," apakah mungkin,
untuk membasmi para raksasa yang tidak berpendidikan dan tak mengenal
strategi keprajuritan, Pandawa perlu membangun kekuatan militer layaknya
Hastinapura ?".
"Saya kira omongan adinda Basukarna ada benarnya, paman" Duryudana mengiyakan.
"Sudahlah
kanda prabu. Tak perlu banyak berfikir. Lekas turunkan perintah pada
saya untuk menumpas Amarta tanpa sisa. Jangan sampai mereka menjadi
lebih kuat lagi, kanda prabu" Basukarna tak sabar.
Duryudana
mengangguk setuju. Kenapa harus menunggu Amarta menjelma menjadi
negara yang kuat kalau sekarang ada kesempatan untuk membumihanguskan
mereka ?.
"Bagaimana paman Sengkuni ?" bola mata
Duryudana tertuju pada sosok bermuka bopeng yang mengenakan busana
bangsawan di sampingnya.
Pria yang di kenal sebagai
perdana menteri Hastina dan memiliki akal banyak ini terlihat
menyunggingkan senyum. Seolah apa yang sedang di bicarakan di balairung
Hastina itu bukan sesuatu yang layak untuk di khawatirkan.
"Pendapat kakang Krepa mungkin ada benarnya, tapi Basukarna juga belum tentu salah" Patih Sengkuni buka suara.
"Maksud paman ?" Duryudana.
"Mungkin
Pandawa hanya ingin melindungi negaranya. Tapi bisa jadi, sambil
menyelam minum air. Jadi, kalau di rasa kuat, mereka bisa jadi akan
mengancam kelangsungan tahta ananda prabu".
"Kalau begitu, segera kita labrak mereka paman" Duryudana mengepalkan tangannya.
"Tunggu dulu nanda prabu" sergah sang patih.
"Paman punya rencana lain ?. Katakan paman...".
Sengkuni mengatur nafas, berfikir sejenak untuk mengutarakan siasatnya.
"Kekhawatiran
kita semua bukan pada kesuksesan kadang Pandawa membangun Amarta. Akan
tetapi adalah niat yang mungkin timbul dari diri mereka untuk
mengkudeta Prabu Duryudana dari singgasana Hastina. Maka untuk
mengatasi keruwetan itu, langkah yang tepat adalah melakukan diplomasi
untuk mencegah mereka melakukan niat jahat itu".
"Saya kurang paham, paman" desak Duryudana.
"Ananda prabu kan tahu, bagaimana kebiasaan sulung Pandawa, Puntadewa ?".
"Gemar berjudi ?" sahut Duryudana.
Sengkuni mengangguk.
"Kita
manfaatkan kegemaran Puntadewa itu untuk mencegahnya agar tidak coba
coba mengkudeta nanda prabu. Kita undang dia dan adik adiknya ke
Hastinapura untuk bermain judi. Biar paman yang mengatur".
"Paman yakin cara itu berhasil ?" ragu ragu.
"Kalau paman gagal, silahkan gantung pamanmu ini di alun alun Hastina" Sengkuni meyakinkan.
Setelah
itu Sengkuni menerangkan rencananya. Duryudana yang tahu persis
bagaimana cerdiknya sang patih Sengkuni langsung memberikan persetujuan.
Maka di utuslah Aswatama untuk pergi ke Amarta demi mengundang para
Puntadewa dan adik adiknya ke Hastina.
Bak gayung
bersambut, Puntadewa yang memang sudah lama tidak lagi menggeluti
hobynya berjudi, tanpa rasa curiga sedikitpun menyambut tantangan
Duryudana. Dengan di kawal empat adiknya dan beberapa prajurit Amarta,
Puntadewa berangkat ke Hastina. Di pintu gerbang Hastinapura, Prabu
Duryudana menyambut rombongan Amarta dengan sambutan kenegaraan yang
sangat meriah. Ribuan orang berjajar di sepanjang jalan dengan
mengibarkan dua bendera kebesaran Hastina dan Amarta. Meneriakkan
nyanyian dan puja puji pada keluarga trah barata yang di wakili Pandawa
dan Kurawa. Tidak cukup sampai di situ, Prabu Duryudana juga
mempersiapkan jamuan istimewa, tempat tinggal mewah dengan dayang dayang
terbaik serta fasilitas lain yang pada akhirnya membuat para Pandawa
kehilangan kewaspadaan. Hingga masa yang di tunggu itu tiba.
"Aku
sebenarnya merasa tersanjung, bisa menemani adinda Puntadewa
menyalurkan hoby yang sudah lama tidak adinda lakukan. Akan tetapi,
adinda khan tahu, aku orang yang bodoh dalam hal itu. Oleh karena itu,
bagaimana kalau paman Sengkuni yang mewakiliku bertanding dengan adinda
?" kata Duryudana melancarkan rencananya.
Walaupun
sebenarnya enggan berhadapan dengan Patih Sengkuni yang ia tahu memiliki
akal yang licik, akan tetapi karena merasa tidak enak dengan sambutan
bersahabat dari Prabu Duryudana, Puntadewa terpaksa mengiyakan. Maka di
mulailah pertandingan judi antara Puntadewa dan Sengkuni yang mewakili
pihak Kurawa.
Mula mula yang di pertaruhkan adalah
uang. Sesuatu yang lumrah di pertaruhkan oleh mereka yang gemar berjudi.
Sesuatu yang lumrah di pertaruhkan oleh mereka yang gemar berjudi.
Namun dasar Sengkuni banyak akal, patih Hastina itu ternyata sudah
mempersiapkan segalanya untuk memenangkan pertandingan. Mulai dari alat
peraga, petugas yang menjadi wasit hingga pelayan yang menyuguhkan
minuman memabukkan dan menghilangkan kesadaran Puntadewa.
Dapat
di duga, sesi pertama ini Puntadewa kalah telak. Harta yang di bawanya
dari Amarta ludes tanpa sisa. Bahkan ketika adik adiknya ikut
menyumbang apa saja yang di miliki, tak cukup menolong Puntadewa dari
kekalahan.
"Ahh, bagi seorang Puntadewa yang terkenal nrimo, apalah
artinya harta benda yang di miliki. Toh itu semua tidak di bawa mati.
Bukan begitu, gusti prabu ?" puji Sengkuni seraya membujuk Puntadewa
untuk terus melanjutkan permainan.
"Tapi aku sudah tidak punya apa apa lagi paman ?" Puntadewa.
"Oh,
nanda Prabu masih punya sesuatu yang bisa di pertaruhkan. Bagaimana
kalau pusaka pusaka yang nanda pakai ?" Sengkuni menawarkan.
Dasar
Puntadewa sudah terbius oleh permainan yang ia mainkan, bujuk rayu
sang patih Hastina itu di turuti juga. Mulailah ia melepas pusaka
pusaka sakti yang selama ini menemani kemanapun Puntadewa pergi. Tapi
lagi lagi nahas bagi Puntadewa, pusaka yang ia pertaruhkanpun kemudian
berpindah tangan. Tidak cukup sampai di situ, Sengkuni juga membujuk
Puntadewa untuk mempertaruhkan jiwa raga saudara saudaranya. Awalnya
Bima menolak, akan tetapi karena merasa kasihan dengan kakaknya yang
sudah kehilangan semua yang di miliki, akhirnya Bima bersedia di
jadikan taruhan bersama dengan adik adiknya. Dan dalam pertandingan
selanjutnyapun pihak Pandawa lagi lagi kalah.
"Inilah
permainan, nanda Puntadewa. Ada kalanya menang, adakalanya kalah.
Tentu, nanda prabu menginginkan semua yang hilang itu kembali ke tangan
nanda. Ksatria yang miskin, tentu hanya akan jadi bahan olok olok.
Ksatria tanpa pusaka andalan, sudah pasti hanya jadi bahan tertawaan.
Bagaimana kalau ananda prabu mempertaruhkan negara Amarta dan seisinya.
Jika ananda menang, kami akan mengembalikan semua yang pernah kami
menangkan. Dan kami juga akan menyatakan bahwa Hastina tunduk pada
Amarta. Bagaimana ?".
Puntadewa terbelalak kaget.
Mempertaruhkan Amarta adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Ia sudah
membangun negara itu susah payah, haruskah ia pertaruhkan juga di meja
judi ?. Tapi tawaran Sengkuni juga sangat menarik, bukan hanya ia akan
mendapatkan semua yang sempat hilang di awal pertandingan, akan tetapi
juga mendapatkan kekuasaan yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.
"Jika
ada cara untuk mengambil alih haknya atas tahta Hastina tanpa melalui
kekerasan, kenapa tidak di lakukan ?" begitu bisikan nafsu Puntadewa
yang sudah termakan rayuan Patih Hastina.
Kerajaan Amarta
yang gemah ripah loh jinawipun akhirnya di pertaruhkan di meja judi.
Dan bisa di tebak, Sengkuni yang menang. Masih belum puas dengan
memiliki Amarta dan segenap isinya, Patih Sengkuni mengajukan ide
seronok yang tentu saja membuat Puntadewa hampir saja marah. Yaitu
mempertaruhkan istrinya, Drupadi.
"Nanda Prabu boleh saja
menolak, akan tetapi ananda harus ingat, bahwa semua sudah ada di
tangan kami. Kami berhak atas nyawa kalian. Kami berhak melarang kalian
pulang ke Amarta, kami berhak atas pusaka pusaka yang sudah kami
menangkan. Artinya, menolakpun tidak ada gunanya. Akan tetapi kalau
ananda menerima tawaran ini, ananda telah membuka peluang untuk
memiliki kembali semua yang telah kami menangkan" desak Sengkuni
setengah memaksa.
Puntadewa terdiam. Apa yang di tawarkan
Patih Hastina itu memang tak masuk akal, akan tetapi ia tak punya
pilihan lain. Daripada hidup hanya menjadi budak tanpa memiliki
kehormatan, lebih baik ia pertaruhkan semuanya. Toh kalaupun ia
menolak, Drupadi akan menjadi wanita yang terlunta lunta. Sebab suami
dan saudara saudaranya sudah tergadaikan.
"Baik!. Saya terima !!!" tegas Puntadewa.
Pertandingan
berlanjut. Dan untuk terakhir kalinya Pandawa di kalahkan oleh wakil
Hastina. Prabu Duryudana kemudian mengutus Dursasana untuk mengambil
Drupadi dari Amarta. Adik Duryudana yang sebenarnya sudah lama tergila
gila dengan Drupadi itu kemudian menyeret istri Puntadewa ke arena
pertandingan. Mempermalukan wanita cantik putri Prabu Drupada itu di
depan umum dengan cara melepas pakaiannya hingga setengah telanjang.
Sontak ini memicu kemarahan Pandawa, terutama Bima. Tapi para putra
Pandawa itu tak bisa berbuat banyak, karena jiwa raga merekapun sudah
tergadai.
Untungnya, sebelum penghinaan itu berlanjut dan
menjadi jadi, Prabu Drestarata yang merupakan bapak dari para Kurawa
datang ke arena judi. Murka sang Drestarata menyaksikan tingkah polah
dan kelicikan anak anaknya terhadap para Pandawa. Sang Prabu kemudian
meminta Duryudana untuk mengembalikan semua yang pernah ia menangkan
kepada para Pandawa.
Ide ini tentu saja membuat kecewa Sengkuni yang sudah susah payah mengakali Pandawa.
"Permintaan
gusti prabu Drestarata sungguh menyakitkan kami semua. Pertandingan
ini sudah di setujui anak anak Pandu. Di saksikan segenap rakyat
Hastinapura. Kalau kemudian kita mengembalikan semuanya, bukankah ini
hanya akan menjadi bahan tertawaan ?" Sengkuni beralasan.
"Pun
juga, andaikan Pandawa yang menang, apakah ada jaminan mereka akan
melakukan seperti apa yang gusti Prabu lakukan ?. Belum tentu, bukan ?".
Prabu
Drestarata menarik nafas panjang. Berpikir keras untuk memecahkan
masalah ini. Di satu sisi, apa yang di katakan Sengkuni masuk akal. Apa
jadinya jika Pandawa yang menang. Bukan saja nasib anak anak Kurawa
akan terlunta lunta, akan tetapi nasib rakyat Hastina juga di ujung
tanduk. Akan tetapi di sisi lain, Pandawa adalah keponakannya sendiri.
Yang sangat tidak manusiawi jika memperlakukan mereka layaknya budak.
"Baiklah"
kata Prabu Drestarata, "demi keadilan dan demi rasa sayangku pada trah
Pandu Dewanata, aku memutuskan agar semua yang pernah di menangkan
Kurawa untuk di kembalikan pada yang punya. Dan sebagai gantinya, anak
anakku Pandawa harus menjalani hukuman dengan cara di buang selama
sepuluh tahun. Tidak boleh menginjakkan kaki di Amarta dan Hastina. Dan
lagi, dalam masa pembuangan, kalian harus melakukan penyamaran agar
tidak di ketahui orang banyak. Ini demi menjaga wibawa keturunan
barata".
Demikian sabda dari Prabu Drestarata. Walaupun
kecewa, akan tetapi Duryudana dan segenap petinggi Hastina terpaksa
harus menerimanya.
"Keputusan itu tentu mengecewakan, akan tetapi satu hal yang patut kita syukuri nanda prabu" kata Sengkuni pada Duryudana.
"Setidaknya selama sepuluh tahun, Pandawa di pastikan tidak akan bisa mengkudeta ananda prabu".
Jakarta, Maret 2013
Penulis : Dhan Gubrack
Tidak ada komentar