GAME OVER DI INDONESIA, LONCENG KEMATIAN HIZBUT TAHRIR SELURUH DUNIA
Polemik yang terkait statemen Cak Nun yang menyinggung soal Perppu no 2 tahun 2017 dan tudingan PBNU menerima dana dari pemerintah terus bergulir. Di dunia maya, kegeraman netizen terutama dari warga NU atas statemen Cak Nun tak terbendung lagi. Foto foto Cak Nun yang beramah tamah dengan aktifis HTI menjadi amunisi baru untuk menyerang balik budayawan asal Jombang tersebut. Hingga hari ini, dari pihak Cak Nun belum ada tanda tanda untuk mengklarifikasi. Dan barangkali seperti yang penulis katakan tempo hari, mustahil Cak Nun akan meralat ucapannya.
Beberapa Negara Yang Melarang Aktifitas HT |
Beredarnya foto Cak Nun dengan beberapa petinggi HTI bagi saya pribadi bukan sesuatu yang mengejutkan. Kalau kita bersedia meluangkan waktu sejenak membuka buka file, hal semacam itu bukan yang pertama kalinya terjadi. Jauh hari sebelum HTI dibubarkan, Cak Nun sering mendapat kunjungan para aktifis dari kelompok ini. Saya sendiri kurang begitu paham, apakah interaksi yang sudah berlangsung lama itu hanya sekedar ramah tamah atau terjadi dialektika intensif mengenai gagasan masing masing. Yang jelas, sebagai seorang tokoh yang dituakan, adalah kewajaran bagi Cak Nun untuk menerima siapa saja yang ingin bertemu.
Penulis memahami kekhawatiran sebagian orang yang selama ini merasa tidak nyaman dengan sepak terjang HTI. Interaksi, apalagi dukungan Cak Nun ditakutkan akan menjadi senjata bagi aktifis HT cabang Indonesia untuk bangkit dan melakukan perlawanan. Apakah itu perlawanan hukum maupun perlawanan dalam bentuk lainnya. Dan yang paling dikhawatirkan lagi adalah, jika manuver itu berujung pembatalan akan pembubaran HTI. Jika itu terjadi, salahsatu yang mungkin dipermalukan adalah NU. Sebab organisasi inilah yang paling getol mendukung pembubaran HTI.
Pun demikian, jika kita melihat fakta yang ada, kekhawatiran itu sebenarnya tidak diperlukan. Ada beberapa hal yang menjadi alasan kenapa demikian.
1. Meski Perppu tidak disetujui oleh DPR, akan tetapi tidak serta merta menghidupkan kembali HTI.
Mari kita menyimak statemen Prof. Yusril Ihza Mahendra di banyak media. Ahli hukum tata negara sekaligus pengacara HTI itu menyatakan bahwa paska pencabutan SK, maka posisi HTI di hadapan pemerintah sangat lemah. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170719150630-12-228895/yusril-akui-posisi-hti-lemah-usai-pencabutan-sk/). Dengan dicabutnya SK HTI oleh kementerian terkait, maka HTI tidak lagi punya hak untuk mengajukan uji materiil Perppu ke Mahkamah Konstitusi. Langkah yang paling mungkin ditempuh adalah mengajukan gugatan atas pencabutan SK itu ke PTUN. Repotnya, jika menggugat ke PTUN, maka pengadilan kemungkinan akan menggunakan payung hukum Perppu itu untuk menolak gugatan. Jadi, apapun yang terjadi, HTI tetap bubar karena sudah tidak memiliki badan hukum.
Satu satunya jalan (jika itu hendak ditempuh) adalah membuat organisasi baru, lalu mendaftarkan kembali. Itupun dengan catatan mesti merombak AD/ART sesuai dengan aturan main yang ada agar mendapat pengesahan.
2. Dalam tradisi pesantren, kita mengenal istilah 'mencegah marabahaya lebih baik diutamakan daripada meraih kebaikan (dara al-mafasid muqaddam 'ala jalb al-mashalih).
Langkah Cak Nun mengakomodir atau minimal membuka pintu dialog dengan HTI menurut penulis jauh lebih menghindarkan bahaya. Perlu kita ketahui, HTI ini memiliki jumlah pengikut yang tidak sedikit. Angkanya bisa mencapai jutaan di seluruh Indonesia. Dan konon, HTI merupakan yang terbesar dalam jumlah dibandingkan dengan anggota mereka di negara lain. Artinya, potensi organisasi ini untuk dimanfaatkan pihak pihak yang tidak bertanggung jawab sangat besar. Apalagi jika kita menyimak sepak terjang HTI selama ini. Bagaimana mereka merekrut massa, mendoktrin kader kadernya dan juga bagaimana mereka melakukan aksi di jalan. Konon, rentetan demo berjilid jilid menuntut Ahok dihukum sebagian besar diawaki aktifis HTI. Pendek kata, lebih beresiko jika eks pengikut HTI dimanfaatkan oleh para elite politik demi kepentingan jangka pendek atau justru malah di akomodir oleh kelompok radikal semisal ISIS atau Al Qaeda.
Langkah Cak Nun menurut penulis sangat tepat. Track record Cak Nun sebagai tokoh masyarakat yang relatif jauh dari kepentingan politik menjadi garansi bahwa proses pembubaran HTI akan berjalan kondusif. Penulis tidak yakin, jika Cak Nun bisa didikte. Akan menjadi bumerang bagi HTI jika dengan sengaja memanfaatkan ketokohan Cak Nun untuk melakukan perlawanan.
3. Dukungan MUI atas pembubaran ormas anti Pancasila dan NKRI.
Meski seringkali MUI mengeluarkan keputusan kontroversial dan dianggap menjadi pemicu terjadinya tindak intoleran, akan tetapi dalam hal komitmen kebangsaan, sikap MUI layak diacungi jempol. Dukungan MUI ini penting mengingat organisasi ini menaungi banyak sekali kelompok keagamaan Islam di Indonesia. Dukungan MUI atas pembubaran HTI menjadikan organisasi ini terisolasi dan lemah.
Pembubaran HTI, Lonceng Kematian Hizbut Tahrir di Seluruh Dunia
Di dunia Islam, tidak banyak negara yang memberi ruang gerak yang luas pada Hizbut Tahrir (HT). Negara negara berpenduduk mayoritas Muslim malah menjadi pihak yang paling banyak melarang aktifitas organisasi ini. Bukan sekedar dilarang, di banyak negara Muslim, aktifis HT ditangkap dan diadili atas tuduhan makar. HT bisa hidup dan berkembang justru di negara negara mayoritas nonmuslim atau negara sekuler. Misalnya negara negara Eropa, Australia dan Amerika.
Meski mengklaim memiliki banyak jaringan di berbagai negara, secara umum perkembangan HT tidaklah terlalu mengalami banyak kemajuan. Di negara negara barat, meski kebebasan berpendapat dijamin negara, tapi ide khilafah tidak mendapat respon positif. Masyarakat dengan karakteristik modern menganggap gagasan itu tidak masuk akal, ilusi dan mengada ada. Sementara di negara negara Muslim, dimana semangat sektarian masih kental, HT mengalami banyak kesulitan akibat tekanan penguasa.
Indonesia mungkin saja menjadi satu satunya harapan tersisa untuk menjadi tempat bersemainya ide khilafah. Selain jumlah penduduk beragama Islamnya terbesar di dunia, posisi Indonesia di mata dunia Islam dan global sangat strategis. Tak heran jika dalam waktu singkat HTI mendapatkan pengikut yang cukup banyak. Bahkan pada tahun 2007, HTI sempat unjuk kekuatan di Gelora Bung Karno. Dalam even ini, puluhan ribu kader HT dari dalam dan luar negeri berkumpul dalam tajuk Konferensi Khilafah. Menariknya lagi, acara ini diliput langsung oleh media yang notabene milik pemerintah. Tentu saja ini menjadi catatan tersendiri bagi aktifis HT di seluruh dunia. Di saat hampir kebanyakan negara Muslim menindas HT, Indonesia sebagai negara muslim terbesar memberi angin segar.
Pembubaran HT cabang Indonesia secara organisasi menjadi pukulan telak bagi para pengusung khilafah di seluruh dunia. Ibarat peperangan, benteng terkuat mereka sudah jebol. Situasi ini sedikit banyak tentu akan memperlemah semangat mereka. Apalagi jika pada akhirnya pemerintah Indonesia sukses meredam riak riak akibat pembubaran itu. Bisa dipastikan, negara negara yang gerah terhadap aktifitas HT namun kesulitan mencari cara untuk memerangi kelompok ini akan mengambil contoh dari Indonesia.
Lalu, apakah semudah itu mengatasi HT ?.
Tentu saja tidak. Tapi, penulis percaya, negeri ini cukup punya sumber daya untuk mengatasi keadaan. Pendekatan kebudayaan barangkali menjadi salahsatu jurus efektif . Dan langkah Cak Nun menurut saya perlu dicontoh. Bagaimanapun, eks pengikut HTI adalah sesama warga negara juga. Sepantasnya diperlakukan secara bijak. Pemerintah juga perlu mengambil langkah secara hati hati. Tidak perlu ada tindakan yang berlebihan. Misalnya dengan mengambil paksa hak warga (pengikut HTI) di segala bidang. Apakah itu hak untuk mendapatkan pekerjaan, hak berpendapat, hak berpolitik dan lain sebagainya. Selama eks pengikut HTI tidak melakukan hal yang melanggar konstitusi, pemerintah harus melindungi mereka.
Sekian
Oleh : Komandan Gubrak
Tidak ada komentar