Breaking News

Arab Spring dan Peluang Indonesia Menjadi Kiblat Muslim Dunia

"Terlepas dari masalah korupsi dan lain sebagainya, kita harus mengakui bahwa Indonesia jauh lebih baik dari negara negara 'islam' lainnya, dalam hal demokrasi"

(Hasibullah Satrawi, Pengamat Timur Tengah)

Menarik sekali apa yang di ucapkan salah satu pengamat politik Timur Tengah ini mengenai pencapaian Indonesia dalam membangun sistem demokrasi yang stabil dan jauh dari konflik kekerasan. Tentu ada beberapa bagian yang harus terus menerus kita perbaiki, tetapi kemajuan yang di capai bangsa Indonesia adalah sesuatu yang layak di syukuri.

Dalam ceramahnya di acara diskusi bulanan Gusdurian, Satrawi menjelaskan bahwa masa transisi sebuah rezim di Timur Tengah pada umumnya hanya di tempuh melalui dua hal. Pertama melalui pergolakan revolusi yang seringkali berdarah darah, dan kedua transisi berdasarkan faktor keturunan. Timur Tengah tak ubahnya merupakan kumpulan kerajaan kerajaan yang di sana kebebasan berpendapat sangat di batasi, tidak ada demokrasi dan segala sesuatunya di tentukan oleh penguasa tunggal. Baik yang murni berbentuk kerajaan, maupun negara negara yang mengadopsi sistem lain.

Revolusi Tunisia, Mesir dan Libya misalnya, adalah sebuah contoh di mana transisi kekuasaan harus di tempuh dengan cara yang sangat radikal, alot, berdarah darah dan terkadang membutuhkan waktu yang sangat lama. Itupun dalam perjalanan di fase selanjutnya, mereka harus melalui konflik demi konflik yang terkadang sulit untuk di kontrol. Mesir pasca revolus misalnya, gesekan antar faksi yang dulu bersatu menggulingkan Mubarak masih sangat kentara. Terutama antara kubu konservatif yang di wakili Ikhwanul Muslimin dan sekarang memegang kekuasaan, dan kubu moderat yang berada di kubu oposisi. Pergulatan di antara kedua kekuatan ini di lapangan juga masih menyisakan letupan letupan berupa kekerasan fisik. Begitupun yang terjadi di Irak, Libya dan sebagainya.


Benang Kusut Suriah

Dua tahun sudah berlalu sejak pecah demonstrasi rakyat Suriah yang akhirnya berujung pada perang saudara. 100.000 nyawa melayang sia sia, jutaan lainnya hidup tak menentu di kamp kamp pengungsian. Hingga hari ini tidak satupun orang yang bisa memastikan kapan konflik itu akan segera berakhir. Revolusi Suriah menurut Satrawi tak ubahnya sebuah revolusi yatim dimana tak ada satupun kekuatan yang sanggup mengontrolnya.

Konflik itu nyatanya tidak sekedar melibatkan Bashar Al Asad dan kubu oposisi, akan tetapi sudah melebar kemana mana. Ada Saudi dan beberapa sekutunya yang terlibat membantu oposisi dalam hal pendanaan dan penyediaan tempat latihan. Ada Turki yang di duga memasok peralatan tempur dan mengendalikan milisi milisi anti Assad. Ada Amerika dan sekutu Eropanya yang diam diam mengirimkan ahli strateginya untuk membantu kaum oposisi. Sementara di kubu Assad, banyak pihak yang juga membantunya, seperti Iran dan Rusia.

Di medan tempur, selain tentara Suriah dan pasukan oposisi (FSA) yang terlibat pertarungan sengit, hadir pula petempur petempur yang datang dari luar Suriah. Al Qaeda misalnya, konon sudah memerintahkan anggotanya yang ada di Irak, Libya, Afghanistan dan lain sebagainya untuk menjadikan Suriah sebagai ladang jihad utama. Seperti yang kita tahu, Al Qaeda merupakan organisasi militan yang sudah banyak makan asam garam pertempuran. Mereka sangat kuat dan berpengalaman. Sementara di kubu seberang, ada petempur Hizbullah yang berbasis di Libanon dan terlibat langsung di medan perang.

Situasi inilah yang menurut Satrawi menjadikan Suriah berbeda dengan revolusi lain. Bahkan Amerika Serikat yang biasanya tegas dalam mengambil sikap, kini di landa kegamangan. Memang, Amerika sejatinya menginginkan Bashar Assad turun dari singgasananya. Lenyapnya Assad dari Suriah setidaknya bagi Amerika akan sangat mengurangi pengaruh Iran, musuh bebuyutannya. Akan tetapi untuk membantu oposisi secara total, Amerika juga dalam posisi dilematis. Sebab di sana ada  Al Qaeda yang juga menjadi momok bagi Amerika. Menyerbu Suriah bisa jadi akan melapangkan jalan radikalis menguasai Suriah. Makanya taktik yang di pakai oleh Amerika adalah dengan menarik ulur konflik. Dia hanya akan memberikan sedikit bantuan jikalau posisi pemberontak Suriah sudah mulai terdesak. Tapi ketika kedua belah pihak mencapai posisi seimbang, Amerika akan memilih diam.


Indonesia Punya Kesempatan

Secara umum, konflik di Suriah dan negara Timur Tengah lainnya tidak memberikan dampak besar pada masyarakat Indonesia. Kalaupun ada, eksesnya sangat kecil dan tidak sampai menimbulkan gesekan fisik antara yang pro pemerintah Suriah dan lawannya. Kenapa ?.

Karena setidaknya yang sekarang ini berkonflik adalah dua kekuatan yang selama ini justru seringkali membuat repot mainstream muslim di Indonesia. Satu pihak adalah kaum salafi dukungan Saudi dan sekutunya. Yang di Indonesia sering berbuat onar. Sementara di lain pihak ada kubu Syiah yang juga tak kalah merepotkannya. Maka tidak ada gunanya bagi Indonesia untuk memihak salah satu dari kedua kubu.

Yang mestinya di lakukan bangsa Indonesia, baik umat Islam maupun pemerintah adalah memanfaatkan situasi yang terjadi di Timur Tengah untuk menaikkan daya tawarnya di kancah internasional. Minimal di mata negara negara berpenduduk Islam lainnya. Yang dalam bahasa Hasibullah Satrawi, target yang masuk akal untuk kita adalah menjadikan Indonesia sebagai kiblat bagi negara negara Islam.

Di dunia Islam, sedikit sekali negara yang boleh di katakan mengusung demokrasi yang stabil dan kokoh. Satrawi menyebut, hanya ada 3 negara 'islam' yang bisa di anggap mapan dalam demokrasi. Iran, Turki da Indonesia.

Iran adalah negara yang sistem demokrasinya relatif stabil. Namun memiliki sedikit kelemahan. Yaitu faktor ke'syiah'an Iran. Kelompok ini di dunia Islam adalah kelompok yang relatif kecil. Jadi cukup mustahil kalau negara negara lain bersedia menjadikan Iran sebagai kiblat politik. Yang kedua adalah Turki. Negara yang wilayahnya berada di dua benua ini di kenal memiliki sistem demokrasi yang mapan dan teruji stabil. Akan tetapi Turki juga bukan tanpa kelemahan. Negara ini sejak awal sudah memproklamirkan diri sebagai negara sekuler. Di mana mereka memisahkan sama sekali antara agama dan negara. Di mata negara sekuler lain, baik Amerika maupun Eropa, mungkin Turki adalah bentuk ideal, akan tetapi sepertinya tidak akan di terima oleh banyak negara negara Islam. Oleh sebab itu, mustahil juga negara negara Islam bersedia mengadopsi Turki sebagai model. Dan paling mungkin adalah Indonesia. Negara yang tidak secara tegas menjelma sebagai negara sekuler maupun agama. Akan tetapi mengakomodir keduanya ke dalam sebuah sistem.

Selain daripada itu, Indonesia juga berpeluang menjadi barometer, menjadi kiblat bagi negara negara Islam lainnya dalam hal mengelola konflik sektarian. Namun begitu, tergantung kepada kita semua dan terutama pemerintah Indonesia, apakah mampu memanfaatkan celah ini atau tidak.


Jakarta, Mei 2013
Di ramu dari acara diskusi Jum'at Pertama Gusdurian di Kantor Wahid Institute, Matraman, Jakpus

Tidak ada komentar