Bunga Revolusi (1)
Oleh : Gus Nuril Arifin
Saudaraku...
Lelaki manis, kecil, lincah, cerdas, banyak akal dan sedikit kejam. Sengaja aku tulis surat ini
untukmu,. Sekedar penyambung rindu dan silaturahmi. Karena
sejak engkau menjadi wakil ketua DPR RI apalagi setelah menjadi
menteri,nyaris terputus sambung rasa itu.
Terus terang aku
kangen, dengan gaya berjalanmu yang mendongak keatas dengan senyum manis
tanpa dosa itu. Tetapi sungguh saya kaget dengan perubahan
perangaimu,yang dulu manis tiba tiba jadi garang, mengejutkan.
Ho..ho..ho..ho
Kenapa engkau ini...
Sekarang kok demen sekali bicara panjang lebar di setiap simposium,
Di setiap rapat rapat pergerakan,
Di setiap pengajian,
Bahkan di Gereja, Kuil, Vihara dan even lainnya ?
Ah, engkau ini setiap hari menulis
status memprovokasi orang untuk bergerak. Dengan dalih dan atas nama
perlawanan. Dengan segenggam alasan yang memang nampak sangat rasional
untuk segera melakukan revolusi. Engkau memaparkan betapa para pendahulu
kita berjuang dengan jiwa dan raga, tidak peduli tubuhnya semakin
renta.
Engkau sampaikan betapa simbah KH Abbas dari Pesantren Buntet Cirebon, atas permintaan Hadratusy syeikh KH wahid
Hasim, simbah Bisri Sansuri, Simbah KH wahab Hasbullah, KH Hasyim Asy'arie dan Syaikhona Kholil Bangkalan merestui untuk di
lakukan perlawanan. Maka lahirlah Resolusi Jihad . Betapa perang berbau
mawar mewangi yang diperingati denagan sebutan hari Pahlawan 10 November
itu diatandai dengan di kalahkannya tentara sekutu dengan kematian
Jendral Malaby.
Engkauy tambahkan betapa heroiknya anak anak
santri waktu itu. Dengan bakyak dan sandal bandol ,berbekal semangat
untuk mengenyahkan penjajah dan sebilah bambu runcing yang di asma'i,
mampu mengalahkan tentara sekutu yang bermoral tinggi. Tentara kampiun
juara dunia yang pernah memenangkan perang dunia ke II. Lalu Bung Tomo
di perintah oleh Kyai Wahid Hasyim dan Bisri Mustofa untuk menggelorakan
semangat arek arek Surabaya di corong radio, dengan teriakan gegap
gempita kalimat takbir,
Allahu Akbar Allahu Akbar.....
Lihat betapa lihainya engkau,
Mengumpulkan para jendral yang kecewa
dengan anak buah, adik , kakak, dan saudara seangkatan nya di AKABRI
waktu itu. Engkau juga rekrut pemuda pemuda yang memang militan sejak
lahir untuk melakukan perlawanan sejak dini hari. Bahkan mungkin mereka diciptakan
Allah sebagai patriot penyeimbang kedholiman. Tidak ketinggalan, para kyai muda dan tuapun engkau berikan lagi nutrisi semangat juang demi
perlunya Revolusi. Kirab Resolusi jihad pun engkau lakukan sepanjang pantai utara pulau Jawa. Engkau semangati mereka dengan
mengerahhkan lembaga NU Ma'arif untuk mengerahkan siswa. Padahal di sisi lain,
banser dan Ansornya belum juga tandang. Engkau mobilisasikan
dengan gegap gempita. Sementara kyai yang lain hanya melihat,dengan
wajah tidak mengerti.
Kalau saja semua ini engkau lakukan
dengan tulus, wahai keponakanku yang kecil, lincah lagi cerdas
membaca politik. Sehingga mampu memenangkan setiap pertarungan di lembaga
pengadilan yang penuh dengan mafia dan rampok keadilan itu, saya sangat
salut. Politik memang begitu. Makanya di namakan Siasah Syar'iyyah. Mengadu
kelicikan dan strategi. Sampai sampai saking kentalnya engkau menjadi
pejuang partai dan machiavelis, semua rumah politik yang di dirikan ulama
ikhlas engkau kuasai dengan mudah.
Engkau kalahkan Naga
Hijau. Padahal dulu Naga Hijau itu tidak bisa di bunuh atau ditaklukan
oleh pemimpin berdarah Mataram Islam dari Yogyakarta. Meskipun sang Raja
berkuasa 33 tahun, tapi susah mengalahkannya. Dia hanya berhasil
mencederainya dalam tiga kali percobaan pembunuhannya. Tetapi engkau
beda. Meskipun bukan tandingan, meski ibarat engkau ini timun wungkuk me
lawan durian, tetapi sejarah menunjukan dengan hebatnya diplomasimu. Sampai SBY dan menkumham, engkau " ketiaki" dan engkau giring dalam
para pusaranmu sendiri.
Ah kalau saja parade resolusi jihad kemarin bukan
karena siasat belaka...
Prasyarat Revolusi
Sesungguhnya saat ini prasyarat untuk terjadinya revolusi sudah
sangat komplit. Maka tanpa engkau gulirkan kembali ingatan untuk
menuntut hak merdeka, lewat review Pawai resolusi Jihad. Rakyat sudah
mulai gerah, muak dan ingin segera mencabut senjata. Ibarat reaksi kimia, engkau hanya menjadi katalisator. Yang mempercepat reaksi dua bahan kimia, tapi sementara engkau sendiri tidak terlibat didalamnya. Atau bahkan
engkau akan terkejut dan tak menduga ketika gelegar resolusi jihad itu
berbalik arah bukan menghadapi Belanda, Nica serta tentara
sekutu, melainkan menghadapi regim yang berkuasa sekarang termasuk dirimu
yang selama ini ikut malang melintang di sana.
Lihat,
betapa teriakan "Ganti rezim ganti sistem" sudah menjadi hal biasa.
Lihat anak anak Bendera, juga
sudah berani jibaku,
meski dihadapkan ancaman untuk dihukum dia tidak
peduli,
lihat ada pemuda pejuang Ham bahkan rela menjadi martir dengan
membakar diri di depan istana.
Lihat kelakuan tentara dan polisimu yang
di gaji rakyat, di belikan peluru oleh rakyat,
malah peluru itu di
gunakan untuk menembaki rakyatnya sendiri,
atas nama hak dan bendera
sebuah perusahaan yang menjadi milik asing.
Jika dulu
Soekarno mengirimkan empat marinir yang salah satunya adalah kakakku sendiri
Oesman Janatin. Yang dengan gagah berani menyusup ke Malaysia, kemudian tertangkap dan di gantung di sana untuk membela sebuah martabat dan nama
baik ataupun kemerdekaan dan kedaulatan bangsa besar . Bangsa yang
berjaya sejak 3000 tahun sebelum masehi atau sebelum Isa lahir. Dengan
jargon terkenalnya 'Ganyang Malaysia', gantung Tengku Abdurahman, dan
jadikan Malaysia sebagai propinsi Nusanatara kembali, sebagaimana zaman
Gajah Mada dan 350 tahun kejayaan Majapahit. Tapi sekarang malah tentara dan
Polisi di bawah rezim yang engkau dukung,
membunuhi rakyatnya sendiri atas nama malingSia. Sungguh ironis dan
tidak tahu malu.
Para pejuang angkatan 45 atau angkatan
pesantren menawarkan darah dan kehormatan untuk meraih kehormatan yang
lebih besar. Hubbul wathon minal iman. Mempertaruhkan nyawa untuk berjihad
dengan penjajah karena negaranya di kuasai bangsa lain, tapi engkau malah
menjadi antek petani asing ,antek penjajah negeri sendiri. Engkau bukakan
pintu bagi penjajah dan engkau nglesot di depan pintunya dengan
senjata terhunus, dengan senapan terkokang siap di tembakan untuk
rakyat yang seharusnya engkau bela.
Apa sih yang engkau
harapkan dalam hidup ini sehingga puluhan rakyat MESUJI enagkau
korbankan sekaligus engkau meterei sebagai negara atau daerah jajahan
Malaysia ?
Lapindo memang kasus biasa. tetapi ini menjadi syarat kedua perlunya revolusi.
Coba bayangkan kalau ada seorang memakai sepatu masuk masjid. Kalau ada
orang yang tidak faham agama pakai sandal masuk masjid tanpa di lepas
sandalnya engkau akan marah dan umat islam akan marah. Karena tidak
dihargai Rumah Allah. Kalau ada pabrik di bakar orang atau dilempari
tahi, pasti pemiliknya dan tenaga kerja yang bekerja didalamnya akan
marah. Karena menghina dan menganggu ketenangan tempat karyawan mencari
nafkah. Tawasul rejeki dari Allah dalam menghidupi anak istri. Kalau ada
sekolah yang mendidik anak anakmu tiba tiba disiram air kencing,
engkaupun menjadi uring uringan dan engkau tuding yang menyiram itu
biadab atau sekurang kurangnya sudah gendeng alias gila.
Kalau ada rumah rumah penduduk yang di cicil dari serupiah dua rupiah
karena memang sebagian besar rakyat ini tidak mampu membeli rumah
sendiri secara cash ,meskipun sudah bekerja siang malam, meski sudah
merdeka katanya 60 tahun. Tiba tiba rumah itu di lempari batu pasti
makan marah. Lebih marah lagi kalau engkau yang dipilih olehnya, sebagai
representatsi rakyat di legislatif yang terhormat tidak berbuat apa apa. Malah diam membisu seribu basa. Dan itu belum seberapa. Yang
terjadi di Sidoharjo, tempat kerajaan Ken Arok bermahkota. Bukan hanya dilempari kotoran, air kencing atau sepatu yang berdebu, tetapi di semua di tenggelamkan. Rumah tempat bercengkerama dengan keluarga, sekolah tempat menimba ilmu pengetahuan dan juga masjid tempat Allah menyapa makhlukNya.
Masalah Century, ini syarat ketiga revolusi bisa di gulirkan.
Masih teringat dengan jelas, malam kemarin ketika mendengar kabar
PKBN tidak di setujui (tanggal 17 Desember), setelah mendampingi Ning
Yennie jumpa pers sekaligus menguak kebobrokan Menkumham dan dobel
gardannya dalam meloloskan hak berserikat, saya langsung terbang di
Jombang. Tahlil dan melaporkan ke Guru Bangsa Gus Dur. Tetapi justru
disini terkuak memori. Betapa bangsa ini memperlakukan rakyat dan
putranya sendiri denagan sangat tidak adil. Gus Dur yang mendapatkan
zakat dari pemerintah Brunai Darussalam dituduh dengan tudingan
menyakitkan, Bruneigate. Meniru skandal presiden Amerika Woltergate. Dan di lengserkan dengan semena mena. Padahal tuduhan itu tidak
terbukti, tetapi kursinya sudah dirampas.
Saya waktu itu
sudah mengepung istana dan DPR dengan 350.000 pasukan berani mati yang
berasal dari seluruh pelosok negeri. Dari pesantren sampai tukang
kayu, tukang becak, buruh dan soopir angkot sampai pedagang asongan. Ada kyai, Banser, Pagar Nusa serta anak anak BMNU dan Forwanu. Nyaris
memporak porandakan pranatan. Mayor Jendral TNI Tubagus Hasan Nudin
(sekarang wakil ketua Komisi 1 DPR RI) dan Kapoldanya Sofyan Yacob
(Kapolda Metrojaya) serta Kolonel Habib Agil dari Brimob pengaman DPR
dan Mayjen Marinir Soeharto, sudah berhadapan di ring satu. Saling
memperjuangan tugas di benak masing masing.
Dan saya malah di telepon Gus Dur, "Gus pun di terusaken. Kulo memang di fitnah lan kulo engkang leres dalam hal skandal bulog atau Brunay, niki mung rekayasa mawon. Tetapi nek sampaian ngamuk negarane bubar. Kulo mboten ngijini indonesia runtuh. Saya suaka kebenaran tetapi lebih suka kemerdekaan dan ketentraman. Pun kersane kursi kulo di angge rayahan Megawati, Amin Rais, Arifin Panigoro, Akbar Tanjung, Mathori Abdul Jalil lan nak anak PKB engkang khianat. Sejarah nanti membuktikan kulo engkang leres" kata sang Maestro sahabat langit dan bumi itu.
Dan akhirnya kita pulang tapa kerusuhan.
Untungnya itu Gus Dur. Tetapi yang jadi masalah fitnah yang dilontarkan
ke Gus Dur hanyalah angka Rp 19 milyar. Dan itupun tidak benar. Coba badingkan dengan Century yang 6,7 trilyun ?. Dan mengalirnya kemana jelas, dibayarkan untuk siapa jelas, mengalir ke partai apa juga
jelas. Dan itu rakyat tahu. DPR sendiri memutuskan bahwa ini kasus besar yang
melibatkan Istana dan partai yang berkuasa. Tetapi tidak ditangani
secara benar. Padahal janji temannmu itu ketika datang ke Magelang di
rumah Simbah KH Abdurahman Khudhori dan didampingi banyak calon menteri adalah akan menjadi panglima pemberantasan korupsi. Dan sayapun berjanji siap menghunus pedang dalam memberantas korupsi. Tapi buktinya mana ?
Belum lagi kasus sang besan, kasus Miranda Gulthom. Semua mengarah
kesana. Maka jangan sembarangan menggulirkan gerakan kalau engkau
hanya setengah setengah. Rakyat sudah jengkel. Jendral Ryamizard Ryacudu ketika aku sambangi di rumahnya juga mengeluhkan. Indonesia ini
jatuh seperti piring yang jatuh dari lantai tiga. Tanpa rem akan hancur. Begitulah kalau
terjadi revolusi tanpa pemimpin. Saya masih ingat benar kata kata
ini. Di ucapkan jendral yang tegas dan baik ini namun nasibnya justru
disingkirkan. Di rumahnya yang di pampang patung Mahapatih Gajah Mada
itu, sang jendral dengan santun mengantarkan aku pulang sampai di pinggir
mulut gang. Meskipun sudah saya tolak dan saya larang dia tetap
nmengantarkan sampai ke mobil pinjamanku yang diparkir cukup
jauh. Gerimis kecil tidak menghalanginya.
Waktu itu saya
memintanya untuk turun gunung. Kalau engkau tahu, jendral yang menjadi
menantu Wapres Try Soetrisno, kalau revolusi tanpa pemimpin membuat
negeri ini terjun seperti piring jatuh dari lantai tiga kenapa engkau
tidak turun gunung ?. Saya siap mengerahkan massa saya lagi, kataku. Tetapi
sang jendral masih ragu. Saya juga sampaikan hal ini kepada jendral
Harsudiono Hartas di perpustakaan negara jalan Salemba.
Waktu itu Gerakan Revolusi Nurani yang dikomandoi oleh Jendral Tyasno
Soedarto, Om Tomi (adik Pahlawan peta Supriyadi), Ki Sunardi serta
almarhum ketua keluarga besar Marhein, DR Hadori Yunus mengumpulkan
jendral jendral tua yang gigih. Mulai dari Jendral Soeprapto, Jendral
Saiful Sulun, Jendral Ian Santoso, sampai sekretaris Bung Karno Pak
Pramoe Alm. Saya katakan, "anda semua adalah anak anak bangsa, putra
terbaik bangsa. Dan sudah menularkan virus patriotisme, virus kebangsaan
di pesantren pesantren yang dulu menjadi ladang pembibitan tentara dan
Polisi pembela tanah air. Kalau sekarang anda melihat negera dalam
keadaan rusak kok diam saja. Padahal andalah yang memulai mengajarkan
semangat bela bangsa dan bela tanah air, maka saya akan usulkan kepada
Allah agar sampean di hukum di neraka.
Jendral dan tentara tidak
ada kata pensiun. Pembela tanah air dan patriot tidak kenal waktu dan
usia. Setiap tarikan nafasnya adalah perjuangan dan kemenangan untuk
rakyat. Kalau melihat keadaan sudah sedemikian rusak anda
menegakkannya, maka saya dan semua santri di tanah air juga akan menegakkan dan mendoakan anda tidak masuk neraka.
Masih
teringat benar,Pak Harsudiono,mendekatiku. Dia tetap tegas dan gagah di
usia tuannya. saya memang dekat dengan beliau sejak menjadia Pandam IV
Diponegoro yang kasdamnya adalah TB Silalahi. Saya sering diajak diskusi di Puriwedari
(kediaman setiap pejabat panglima Kodam). Atau kadang beliau mampir ke
pesantren. Maka saya agak kecut ketika dia melangkah siagap menuju
kepadaku begitu aku turun panggung .Wah, Jendral yang saya hormati ini
marah batinku. Ternyata tidak. Dia memeluku seraya membisiki telingaku. "Aku
bangga denganmu Gus. Engkau benar. Jendral atau
tentara tidak kenal pensiun dalam membela bangsa dan negaranya. Membela
rakyat dan bapak ibunya sendiri. Teruskan perjuanganmu . Engkau laksana
singa podium. Semoga pidatomu menggugah macan macan tidur, gus ".
Mendengar bisikan ini kontan air mataku jatuh. Menangis
sesengukan, karena merasa menemukan bapak. Menemukan jendral yang berhati
patriot. Karena selama ini kami semua merasa sendirian.
Duh." Rawe rawe
rantas malang malang putung, gus.
Ada darah yang mengalir deras.
Darah
perlawanan karena melihat kedzoliman.
mantap gus...
BalasHapusTulisan panjenengen menggugah hati, membuka wawasan
SubhanAlloh...
BalasHapusGenerasi muda khususnya NU haruslah memiliki semangat dan jiwa patriot sperti Njenengan....
Sungguh bukan hal yang mudah menjadi sperti Njenengan...