BANTAL KEMATIAN
"Benar apa katamu, Poyo" Saimin memulai pembicaraan.
Pria
bertubuh kurus dengan rambut yang sebagian mulai memutih itu berhenti
sesaat. Tangan kanannya meraih sebotol minuman beralkohol, menuangkannya
pada dua gelas, lalu menyodorkan salah satunya pada Poyo.
![]() |
Sheilla |
"Perempuan
emang makhluk paling licik sedunia. Kalau kita lagi di atas, mereka
dengan berbagai cara mendekati kita. Tapi giliran kita di bawah, mereka
berlomba lomba meninggalkan kita" ungkap Saimin kesal.
Poyo meraih gelas yang di sodorkan Saimin. Meminum setengahnya, lalu memutar tubuhnya menghadap Saimin.
"Sudahlah, Min. Buat apa mempertahankan wanita seperti itu" nasehatnya, "ikuti saja cara hidupku".
Saimin mendongakkan wajahnya,
"Aku masih waras, Yo...!!!" seringainya tanda tak setuju.
"Waras
darimana, Min ?. Kamu gagal menjaga perempuanmu. Kamu nggak bisa
berbuat apa apa. Sudahlah, tinggalkan dia. Hiduplah sepertiku. Menjadi
laki laki bebas. Kita bayar mereka sesuai dengan jasanya memberi
kenikmatan pada kita. Nggak ada beban, nggak ada tanggung jawab dan
nggak perlu pusing mikirin kebutuhan mereka".
"Kalau
rejeki lagi banyak, kita bisa memilih yang paling 'bohay'. Tapi kalau
rejeki lagi seret, cukup bayar waria waria brengsek di pinggiran rel
kereta api. Beres khan ?" cerocos Poyo yang kemudian di selingi tawa
meledak.
Brakk!!!
"Dasar anjing kamu, Poyo !" sahut Saimin sembari menggebrak meja.
Dua
manusia yang sudah sejak kecil berkawan ini terdiam. Walaupun kadang
saling ejek dan sindir, tapi tidak sampai merusak hubungan mereka. Bagi
Saimin, Poyo adalah sahabat yang tiada duanya. Ia selalu ada di samping
Saimin saat suka dan duka. Saat Saimin menikmati kehidupan sebagai orang
kaya, ia tak pernah melupakan Poyo. Begitu juga saat ini Saimin sedang
di rundung masalah, Poyolah satu satunya orang yang mengerti dirinya.
"Menurutmu, apa yang harus aku lakukan Yo ?" Saimin dengan mimik serius.
Poyo mengendurkan wajahnya. Menarik nafas panjang, menguras otaknya yang mulai di penuhi bintang bintang.
"Aku juga bingung mau ngasih solusi apa. Tapi menurutku, kamu harus bersikap tegas".
"Tegas ?".
"Ya" angguk Poyo.
"Aku sudah berusaha tegas" kilah Saimin.
"Kurang".
"Maksudmu ?" Saimin mengerutkan dahinya.
Poyo
mengambil sebuah tas hitam yang terletak tak jauh dari tempat duduknya.
Dengan hati hati ia memasukkan tangan kanannya ke dalam tas lusuh itu.
Tak lama kemudian ia mengeluarkan sebuah benda tajam berbentuk bulan
sabit dan menyorongkannya ke hadapan Saimin.
"Poyo....!" Saimin tercekat menyaksikan ulah sahabat baiknya itu.
"Gila kamu...".
"Terserah" sergah Poyo enteng.
"Kalau kamu mau jadi laki laki seperti bapakmu, ambil. Kalau tidak, silahkan kamu nikmati kekalahanmu" Poyo memberi pilihan.
Saimin
mendongakkan kepalanya. Menatap kosong langit langit. Ide Poyo memang
bukan sesuatu hal baru dalam masyarakat dimana mereka tinggal. Bagi
banyak laki laki, wanita ibarat mahkota. Harga diri yang tidak bisa di
tukar dengan apapun kecuali di perjuangkan dengan semua cara. Termasuk
jika terpaksa harus saling menyirnakan satu sama lain. Bagi masyarakat
di sekitar mereka tinggal, hukuman pidana penjara bukan sesuatu yang
menakutkan. Yang penting kehormatan terjaga. Harga diri tidak seenaknya
di injak injak. Lebih baik putih tulang daripada putih mata.
Tapi
apa yang secara tersirat di ungkapkan Poyo tidaklah segampang yang di
pikirkan orang. Bukan soal pertaruhan nyawa yang mungkin saja Saimin
berada di pihak yang kalah mengingat keadaan fisiknya. Tapi lebih dari
itu semua. Saimin ingin mendapatkan sebuah kemenangan yang tak bisa di
ganti dengan apapun. Yakni, memenangkan hatinya. Memenangkan cintanya.
Dengan cara yang baik dan bermartabat. Seperti yang dulu sering ia
tonton di film film bioskop ketika remaja.
Aku tahu,
kamu tak pernah mencintaiku
Aku paham,
kesediaanmu hanya karena menuruti kemauan orangtuamu.
Bagi gadis remaja secantik dirimu,
Tentu bukan mimpi yang indah
Ketika di takdirkan bersanding dengan orang yang jauh lebih tua darimu
Yang pantasnya engkau sebut bapak
Aku mengerti semuanya
Aku paham apa yang kamu pikirkan
Tapi,
Aku hanya ingin meminta satu hal
Ijinkan aku berusaha
Menjadi yang terbaik untukmu
Kalimat
kalimat itulah yang dulu sering di ucapkan Saimin pada istrinya,
Sheilla, di awal awal pernikahan. Sebuah janji yang hingga sekarang di
pegang teguh oleh Saimin. Bagi Saimin, yang terpenting dalam sebuah
perkawinan adalah cinta. Bukan sekedar kenikmatan ragawi semata. Buat
apa mereguk manisnya madu jika sang tawon gelisah karena kehilangan
rumah tinggalnya. Apalah artinya menyatukan raga dalam tarian cinta jika
nyatanya hanya bertepuk sebelah dan pura pura.
Berusaha
untuk tetap sabar dan tanpa lelah berjuang. Prinsip itu yang selama ini
di jaga betul oleh Saimin. Itulah kenapa hingga hari ini Saimin tak
pernah di karuniai anak dari hasil perkawinannya dengan Sheilla. Bukan
karena Saimin mandul atau Sheillanya mandul. Tapi karena Saimin tidak
ingin segala sesuatunya berjalan dari satu arah. Harus ada ketulusan
untuk memberi dan menerima dari kedua belah pihak.
"Bapak bertanya terus soal kita" kata Sheilla suatu ketika.
"Tanya apa ?" sahut Saimin menegakkan pundaknya.
"Kapan bapak punya cucu" wanita yang umurnya dua puluh tahun di bawah Saimin itu tertunduk.
Saimin
menghela nafas. Di pandanginya tubuh wanita cantik yang sudah lima
tahun hidup satu atap dengannya itu. Tanpa di jelaskanpun Saimin
sebenarnya sudah paham. Bukan hanya orang tua Sheilla yang menginginkan
hadirnya seorang bayi di tengah mereka, tapi juga orang tua Saimin.
"Aku tahu..." angguknya lirih.
"Lakukan saja, mas" pinta Sheilla dengan suara berat.
Saimin
hanya mendehem tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Ia sepertinya paham
betul apa yang baru saja di ucapkan oleh istrinya bukanlah karena
dorongan hati nurani. Hanya sekedar menuruti keinginan orang lain.
Kurang lebih begitu. Makanya Saimin lebih memilih tidak menanggapi.
"Aku bisa mas. Percayalah padaku. Apakah mas nggak capek di gunjing banyak orang" rengek Sheilla berusaha meyakinkan.
Saimin terpaku.
"Kita bisa belajar setelah ini....." imbuh Sheilla seolah patah semangat.
Saimin merapatkan kedua telapak tangannya. Matanya yang tajam terus menguliti sekujur tubuh Sheilla.
"Kamu butuh orang yang bisa mewarisi kekayaanmu. Yang bisa menjaga hari tuamu...".
"Cukup!!" akhirnya Saimin angkat bicara.
"Semua itu tidak penting, Sheilla. Rasanya aku tak perlu menjelaskan apa sesungguhnya yang aku inginkan darimu".
"Tapi, mas...".
"Kamu
mikir nggak sih!" potong Saimin seketika, "bagaimana kamu memintaku
melakukan itu sedang aku tahu pikiranmu masih saja tertuju pada Sabda,
laki laki pujaanmu itu ?".
"Kamu mau mempermalukan aku ya ?".
Kali
ini Sheilla hanya bisa tertunduk tanpa kata. Apa yang di ucapkan
suaminya memang fakta yang tak bisa di bantah. Bahwa cintanya masih
tertambat pada pria lain yang hingga kini masih setia menunggu Sheilla.
Sungguh, situasi yang serba dilematis. Ia harus memastikan suami, orang
tua dan mertuanya merasa bangga dengan perkawinan mereka berdua. Tapi ia
di sisi lain Sheilla juga tak mau menafikan jerih payah dan kesetiaan
kekasihnya.
Cinta segitiga yang sangat rumit. Ketiga pihak
sama sama kukuh dalam pendirian. Saiman yang tak kenal lelah berusaha
menakhlukkan hati istrinya. Sheilla yang sebenarnya sudah bisa
berkompromi walau tidak menyertakan perasaan cintanya. Dan Sabda yang
bersumpah akan menunggu hingga Saiman melepaskan 'tawanan cinta' nya,
baik secara sengaja maupun karena keadaan.
Kondisi ini
terus berlangsung selama bertahun tahun tanpa ada perubahan berarti.
Bahkan kian hari sepertinya kian bertambah runyam. Kondisi fisik Saiman
yang mulai lemah dan sakit sakitan menyebabkannya kehilangan banyak
waktu untuk mencari nafkah. Sementara kebutuhan hidup dari hari ke hari
terus mengalami pembengkakan. Saiman yang dahulu gesit dalam berbisnis
kini terlihat lambat dan banyak kebobolan di sana sini. Saiman yang dulu
rajin menambah aset kekayaannya, sekarang malah lebih banyak menjual
apa apa yang di milikinya. Demi alasan berobat, demi alasan memenuhi
kebutuhan rumah tangga dan lain sebagainya. Dan puncak penderitaan
Saiman adalah ketika istrinya meminta ijin untuk bekerja dan membantunya
mencari nafkah. Saiman sebenarnya keberatan, tapi ia tak bisa berbuat
banyak. Karena ia sendiri kini lebih banyak menganggur daripada bekerja.
Aktifitas
Sheilla di luar rumah ini yang kemudian mengantarkannya pada situasi
lebih runyam dari sebelumnya. Apalagi ternyata ia bekerja di sebuah
perusahaan yang pemiliknya adalah kekasih lamanya, Sabda. Di sana
Sheilla mendapat posisi strategis dan bertanggung jawab langsung dengan
pemilik perusahaan. Keadaan ini membuat hubungan keduanya yang dulu
sering terhalang oleh jarak dan waktu, menjadi sebaliknya. Hampir setiap
saat keduanya bisa bertemu. Walau hanya sebatas pertemuan biasa, namun
cukup membuat mereka seakan melihat secercah cahaya terang di ufuk
timur.
======
"Aku akan bertemu dengan Sabda besok di hutan utara" kata Saimin pada Sheilla setelah keduanya menyelesaikan makan malam.
"Apa
mas bilang ???" tanya Sheilla seakan tak percaya dengan apa yang baru
saja di ucapkan suaminya. Gelas berisi air teh yang ada di tangannya
urung di minum.
"Ini urusan laki laki" Saimin ketus.
"Mas nggak bicarakan dulu sama Sheilla ?".
Perasaan
kalut dan khawatir perlahan menyelimuti wajah wanita Sheilla. Tanpa di
jelaskanpun ia sudah paham apa yang akan mereka lakukan di hutan utara.
Dan ini yang membuat Sheilla tampak ketakutan.
"Terserah, kamu mau ikut menyaksikan atau berdoa saja di rumah".
"Mas...." seru Sheilla parau.
"Nggak perlu mengeluh. Ini semata mata aku lakukan demi memenuhi keinginanmu. Juga keinginannya" dingin.
"Kenapa mas bilang begitu....?" Sheilla mulai panik melihat sikap suaminya yang tak mau kompromi.
"Aku tahu, kamu dan bangsat itu sudah mengikat janji untuk setia hingga aku mati di makan usia".
"Massss....." kali ini teriakan Sheilla lebih mirip tangisan pilu yang menyayat.
"Nggak usah cengeng. Aku tak mungkin bisa mengalahkannya. Berdoalah agar dia tidak kehilangan apapun besok".
Setelah
mengatakan itu, Saiman mengangkat tubuhnya. Berjalan keluar halaman
rumah dan berdiam di sana menikmati guyuran cahaya bintang dari langit
luas. Pedih hati Saiman menerima kenyataan yang teramat pahit di
rasakan. Dua puluh tahun lamanya ia menghabiskan hidup demi berjuang
meruntuhkan hati Sheilla. Tak terkira, sudah berapa banyak ia berkorban
materi demi membahagiakan satu satunya wanita yang ia cintai itu.Tapi
ternyata yang ia dapat hanyalah kesia siaan.
Saiman
merintih dalam kegelapan. Matanya terpejam. Tubuh rentanya menggigil di
sergap hawa dingin menyengat. Bibirnya bergetar menyanyikan bait bait
shalawat yang dulu di ajarkan orang tuanya di waktu kecil. Nyanyian yang
konon menurut bapaknya di lantunkan oleh para pejuang pejuang suci
sebelum berangkat ke medan laga. Nyanyian sama, yang juga pernah Saiman
dengar ketika bapaknya berjibaku membela kehormatannya di hutan utara.
Itu menjadi ucapan terakhir yang pernah ia dengar dari mulut ayahnya.
Dan
seperti kata orang, sejarah akan selalu berulang. Menjelang sore, warga
di hebohkan dengan di temukannya mayat Saiman di hutan utara.
Tidak ada komentar