DIKTATOR ITU BERNAMA JOKOWI
![]() |
Foto http://images.malesbanget.com |
Beberapa kawan mengatakan kepada saya bahwa Pemilu Langsung terbukti
memberi efek negatif bagi kelangsungan hidup bernegara. Selain biayanya
mahal, juga memicu konflik horisontal di berbagai daerah. Pun juga di
lihat dari segi hasil, faktanya Pilkada langsung justru menciptakan
banyak sekali kepala kepala daerah koruptor. Entah sudah berapa banyak
kepala daerah maupun mantan kepala daerah hasil pemilu langsung kini
mendekam di jeruji penjara akibat kasus korupsi. Oleh sebab itu, pemilu
langsung sangat layak untuk dikoreksi.
Memang, pemilu DPRD
belum tentu menjamin demokrasi kita bersih dari KKN, imbuh sang kawan.
Akan tetapi, memeriksa segelintir anggota DPR jauh lebih mudah daripada
menelusuri jejak money politik yang melibatkan seluruh elemen
masyarakat.
Pendapat yang sekilas masuk akal. Akan tetapi
untuk jangka panjang justru berbahaya bagi rakyat. Ada beberapa alasan
kenapa penulis mengatakan bahwa ide Pemilu tak langsung memiliki
implikasi yang sangat buruk dalam jangka panjang.
Pertama, kedaulatan tidak lagi di tangan rakyat
Pihak
yang setuju pemilu tak langsung berargumen bahwa kedaulatan rakyat
masih bisa terjaga dengan adanya Pemilu Legislatif. Rakyat memilih
wakilnya untuk duduk di parlemen, dan sang wakillah nanti yang
memilihkan pemimpin bagi rakyat. Artinya, walau tidak secara langsung,
aspirasi masyarakat masih bisa tersalurkan melalui kanal wakil rakyat.
Jadi kedaulatan tetap di tangan rakyat.
Pendapat yang
menurut penulis sangat menipu. Sepanjang sejarah pemilu tak langsung,
pernahkah para pemilih di ajak bicara tentang siapa nanti yang bakal di
pilih sebagai bupatinya, walikotanya, gubernurnya, atau bahkan
presidennya ?. Tidak pernah. Di era orde baru, rakyat hanya sekedar
menjadi penonton ketika wakil wakilnya memilih seorang kepala daerah.
Rakyat sama sekali tidak punya hak legal untuk menentukan pilihan.
Mereka dipaksa menerima saja pilihan para wakil rakyat, tanpa tahu
apakah itu baik atau buruk.
Dalam perjalanannya, hidup
mati sang pemimpin juga tidak ditentukan oleh puas atau tidaknya
masyarakat yang dipimpin. Melainkan ditentukan oleh segelintir orang
yang duduk di kursi parlemen. Parlemen bisa setiap saat menjatuhkan sang
pemimpin jika agendanya tidak selaras dengan kemauan parlemen. Alhasil,
pemilu tak langsung justru menciptakan tirani parlemen. Pemimpin hanya
perlu bertanggung jawab pada parlemen, dan bukan pada rakyat.
Kedua, sistem Presidensial sulit terwujud
Sistem
demokrasi kita mengenal adanya konsep Trias Politika. Dimana negara
berdiri atas dasar tiga aspek. Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif.
Ketiganya memiliki fungsi masing masing yang berdiri secara independen
namun saling menguatkan. Seperti yang di ungkapkan Gus Dur dalam sebuah
seminar, kalau pemilu masih dilakukan melalui lembaga legislatif, maka
trias politika menjadi tidak relevan lagi. Sebab segala sesuatunya
ditentukan oleh mereka yang menguasai parlemen. Mengklaim presidensial,
akan tetapi prakteknya mengadopsi konsep pemerintahan parlementer. Ini
jelas sebuah kerancuan sistem.
Ketiga, Pemilu tak langsung bisa menjadikan Jokowi diktator
Para
pendukung Koalisi Merah Putih tidak sedikit yang berfikir jika
pemilukada dilakukan melalui DPRD, maka akan ada tigapuluh jabatan
Gubernur yang jatuh ke tangan mereka. Itu belum termasuk posisi bupati
dan walikota. Sebagian mereka juga mengira bahwa mereka yang tidak
setuju Pilkada DPRD hanyalah pendukung fanatik Jokowi yang takut jabatan
kepala daerah akan jatuh ke tangan koalisi merah putih.
Pendapat
itu kami pikir terlalu berlebihan dan tidak masuk akal. Mereka yang
memiliki kepentingan kekuasaan mungkin saja menjadikan itu sebagai
alasan. Akan tetapi jika kita mencerna masalah ini dengan kacamata
jernih, justru yang paling ditakutkan dari penolak Pilkada DPRD adalah
kemungkinan munculnya penguasa nasional yang diktator lagi absolut.
Bayangkan
saja, jika kubu Jokowi kemudian mengambil langkah oportunis dengan
merayu beberapa partai anggota koalisi merah putih untuk bergabung di
pemerintah. Bukankah yang terjadi malah munculnya kekuasaan yang absolut
di semua lini. Jokowi akan menyapu bersih semua posisi kepala daerah
tanpa bisa dibendung lagi. Dengan mengajak Partai Golkar bergabung dan
diberi konsesi tertentupun sudah cukup bagi Presiden terpilih untuk
menguasai seluruh jabatan kepala daerah.
Apakah itu mungkin ?
Mungkin
saja. Perlu di ingat, jabatan Presiden tidak saja berkenaan dengan 34
posisi Menteri. Ini terlalu sedikit untuk dijadikan alat transaksi. Ada
ribuan posisi yang membutuhkan persetujuan Presiden untuk mendudukinya.
Apakah itu Jaksa Agung, Hakim Agung, Kepala Kepolisian, posisi puncak
dalam kemiliteran, kepala kepala BUMN, Komisaris dan posisi basah
lainnya. Presiden juga mengelola APBN yang sebagian diantaranya
dialokasikan untuk daerah.
Mungkin ada beberapa kekuatan
politik di tubuh KMP yang bersikukuh untuk menolak. Tapi menurut kami,
tetap ada atau malah banyak parpol yang akan 'ngiler' jika diberi jatah
lebih enak dibanding tetap bertahan di koalisi.
Begitu
Jokowi bersikap kompromi lagi oportunis, maka masyakat akan segera
mendapatkan pemimpin pilihannya berubah wujud menjadi penguasa yang
rakus. Dan tidak lama lagi, sang pemimpin berpotensi besar menjadi
otoriter. Dimana mana, kekuasaan yang terlalu besar cenderung korup dan
menindas.
Jadi, menolak Pemilu DPRD tidak selalu berarti
membela kepentingan politik Jokowi. Tapi justru bentuk ketakutan
masyarakat akan lahirnya sosok Jokowi atau sosok pemimpin lain yang
otoriter, absolut, korup dan menindas.
Makasih banyak gan
BalasHapus