MENGUJI DAYA TAHAN JOKOWI
'Suro diro joyo ningrat, lebur dening pangastuti'
Begitu
kira kira bunyi status di laman resmi Facebook Presiden Joko Widodo
pada hari Minggu, 25 Januari 2015, pukul 16.04 WIB. Postingan itu muncul
sesaat sebelum Presiden memberikan keterangan pers di istana berkenaan
dengan kisruh antara KPK dan Polri.
Pict : m.detik.com |
Minggu pagi, ratusan aktifis
antikorupsi memanfaatkan ajang Car Free Day untuk menyuarakan
aspirasinya menuntut pemerintah dan semua pihak mewaspadai upaya
pelemahan atau bahkan penghancuran KPK. Aksi ini di lihat Joko Widodo
yang sedang olahraga sepeda santai, bahkan Presiden ke tujuh itu sempat
pula melambaikan tangan ke arah peserta aksi. Dan entah sengaja atau
tidak, Jokowi pagi itu mengenakan kaos warna putih. Sama dengan warna
dress code yang dikenakan para peserta aksi anti korupsi. Mengenai warna
ini, ada yang menurut penulis cukup menarik. Seperti kita tahu,
beberapa hari sebelumnya, korlap aksi sempat menyarankan kepada peserta
agar mengenakan dress code warna hitam melalui pengumuman di media media
sosial. Tapi ketika tiba hari H, warna pakaian yang dikenakan justru
putih. Entah apa gerangan yang melatarbelakangi perubahan ini. Apakah
peserta aksi sudah tahu kalau Presiden bakal lewat dan mengenakan kaos
putih, atau ada faktor lain.
Terlepas dari alasan dibalik
itu semua, bila kita membacanya dari segi simbol yang ditampilkan.
Perubahan dari hitam ke putih sepertinya menyiratkan adanya perubahan
agenda. Warna hitam (apalagi korlap sebelumnya juga meminta peserta
untuk membawa alat bersih bersih) menggambarkan sebuah keprihatinan.
Prihatin dengan apa yang menimpa KPK, terutama perihal penangkapan
Bambang Widjoyanto oleh kepolisian. Ini juga bisa dibaca sebagai upaya
solidaritas masyarakat atas peristiwa yang menimpa komisioner KPK,
utamanya kekhawatiran mereka akan kemungkinan munculnya upaya pelemahan
KPK.
Sedang warna putih mengisyaratkan adanya semangat untuk mencari
titik terang dibalik kasus ini. Dalam bahasa lain, peserta aksi ingin
menyampaikan kepada publik bahwa segala sesuatunya mesti di 'putihkan'
dan di jernihkan lagi. Dari sisi simbolik, warna putih memberi kesan
netral, tidak berpihak dan hanya berpijak pada kebenaran. Sekilas
memberi gambaran bahwa agenda yang di usung tidak melulu bagaimana
menyelamatkan KPK, akan tetapi juga menyelamatkan kepolisian. Dan yang
lebih luas lagi adalah menyelamatkan bangsa ini dari efek negatif yang
ditimbulkan dari kekisruhan antara KPK dan Polri.
Perubahan
dari hitam ke putih ini sepertinya juga sejalan dengan perubahan
perubahan yang terjadi di jejaring sosial. Tagar #SAVEKPK yang semula
gagah memuncaki trending topic twitter, menjelang aksi digelar mendadak
tumbang dan kalah populer dengan tagar #SAVEPOLRIKPK. Perbincangan di
jejaring facebook yang semula begitu militan membela KPK dan galak
menyalahkan Polripun perlahan berubah. Publik media sosial mulai
menyadari bahwa yang perlu di lindungi tidak hanya KPK, tapi juga
institusi kepolisian. Selanjutnya, masyarakat juga perlahan membenarkan
sikap Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa proses yang ada di KPK
maupun Polri harus dihormati. Beri kesempatan kepada dua institusi itu
untuk melakukan apa yang menjadi wewenang dan kewajibannya tanpa adanya
intervensi dari pihak manapun.
Suro diro joyo ningrat, lebur dening pangastuti
(Keberanian, kekuatan, kejayaan dan kemegahan, semua luluh oleh sikap kasih sayang)
Status
yang diunggah melalui laman resmi Presiden itu sepertinya adalah
gambaran bahwa ia sangat memahami keadaan dan mengerti apa yang mesti
dilakukan. Dalam posisi yang serba tidak menentu, dimana tekanan datang
dari berbagai arah (baik oposisi, publik maupn internal), sikap yang
paling tepat adalah bertindak hati hati, mengedepankan asas keadilan,
seraya tetap berpegang teguh pada aturan. Presiden tentu memiliki
kekuatan dan kewenangan melakukan tindakan berani dan dramatis, misalnya
meminta kepolisian menerbitkan SP3 untuk kasus Bambang Widjoyanto dan
memastikan KPK bisa bekerja kembali secara normal. Presiden
memiliki hak untuk melantik atau tidak melantik Budi Gunawan sebagai
Kapolri. Presidenpun dalam kondisi darurat bahkan bisa memerintahkan
alat negara untuk menangkap siapapun yang dianggap membahayakan
keselamatan negara, termasuk ketua KPK. Presiden juga memiliki hak untuk
menerbitkan Perppu untuk mengatasi masalah masalah ini. Akan tetapi,
tindakan yang demikian tentu memiliki implikasi yang tidak kecil. Ada
resiko resiko, baik resiko hukum maupun politik yang mesti ditanggung.
Dan jalan terbaik memanglah harus menyerahkan semua persoalan pada
mekanisme yang ada.
Penulis teringat cuitan budayawan
ternama Sujewo Tejo, 'semua akan lucu pada saatnya'. Mereka yang gegap
gempita membela KPK seraya menuding Polri sebagai
pihak yang layak disalahkan, pada waktunya akan terlihat lucu sebab
tersadarkan oleh realita. Mereka yang begitu bersemangat mendatangi
kepolisian untuk melaporkan kasus kasus lama yang terkait pimpinan KPK
juga akan terlihat lucu pada saatnya begitu mereka sadar telah bertindak
ceroboh. Pun juga mereka yang begitu getol menyalahkan Presiden sebab
kelambanan dan kehati hatiannya, nanti juga akan lucu pada saatnya
begitu melihat hasil akhir dari episode ini.
Beberapa
tahun lalu, Jokowi hanyalah seorang pemimpin di sebuah kota kecil. Tidak
ada yang mengira karirnya begitu cepat melesat. Tidak ada yang
menyangka ia bisa menang ketika menghadapi keroyokan 26 parpol sewaktu
mencalonkan diri sebagai walikota. Begitu juga ketika ia maju sebagai
calon Gubernur DKI. Nyaris semua kekuatan politik bersatu padu
mengeroyoknya, bahkan sedikit sekali yang memprediksikan ia akan menang.
Namun akhirnya ia lolos dari maut kekalahan. Dan ketika ia kemudian
maju sebagai calon presiden. Ia lagi lagi berhadapan dengan kekuatan
besar dan menghadapi isu yang luar biasa agresif menyerangnya. Tapi ia
kembali survive.
Kemudian di awal pemerintahannyap, kemampuan
Jokowi masih banyak yang meragukan. Apalagi jika mengacu pada kekuatan
pendukung di parlemen dimana hanya di topang 40% kursi DPR, sedang
sisanya berada di kubu seberang dan menguasai posisi posisi penting. Ada
yang memprediksikan agenda pemerintahan Jokowi bakal terganjal. Bahkan
bisa jadi usia pemerintahannya hanya seumur jagung. Tapi faktanya
tidaklah demikian. Di tengah hiruk pikuk KPK - POLRI, rapat antara
pemerintah dan DPR mengenai RAPBN di komisi IX kemarinpun berjalan mulus
dan menelurkan beberapa kesepakatan.
Apakah ini hanya kebetulan ?
Kalau saja dalam Pemerintahan Pak Joko Widodo , Indonesia mampu mengembangkan ENERGI NUKLIR yang bisa diproduksi di dalam NEGRI ... [ membangun reaktor Nuklir ]
BalasHapussaya yakin China, Korea Utara, Rusia, Amerika dan Negara-2 Arab akan Sembah Sujud Pada Beliau .....https://www.facebook.com/photo.php?fbid=772960842786946&set=a.181550168594686.46289.100002191131258&type=1&ref=notif¬if_t=like