Bambang Widjoyanto : Orientasi Negara Maritim Suburkan Korupsi
Jakarta (6/3), Setidaknya ada empat fakta korupsi yang perlu diperhatikan dalam upaya pemberantasan korupsi di tanah air. Diantaranya adalah efek akibat diberlakukannya pasar bebas ASEAN, penyelenggaraan pesta demokrasi, perubahan orientasi negara ke sektor maritim dan isu pajak. Ungkap Ketua KPK non aktif Bambang Widjoyanto dalam acara diskusi Gusdurian di kantor Wahid Institute.
Dalam paparannya, Bambang Widjoyanto menjelaskan bahwa ketika pasar bebas ASEAN itu dibuka, maka akan terjadi perpindahan aset dari satu negara ke negara lain. Hal ini tentu akan sangat menyulitkan penegak hukum apabila aset hasil korupsi itu berpindah ke negara lain mengingat sistem hukum yang berbeda beda antar negara. Pengalaman KPK dalam menangani kasus Nazarudin adalah bukti nyata betapa penegak hukum sangat kesulitan dalam memburu pelaku korupsi. Apalagi selama ini pola penanganannya tidak bisa dengan pendekatan Government to Government (G to G) karena belum adanya MOU antara lembaga antikorupsi Indonesia dengan lembaga antikorupsi negara lain.
Masalah kedua adalah praktik korupsi yang dilakukan oleh elite politik demi mendapatkan modal untuk bertarung dalam pesta demokrasi. Di tahun 2015 ini saja akan ada 205 Pilkada serentak diberbagai daerah. Pihak pihak yang berkepentingan tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk berkompetisi. Setidaknya ada dua cara bagi pelaku politik, terutama pihak incumben, demi mendapatkan modal. Pertama dengan memainkan perijinan. Entah itu ijin penambangan sumber daya alam, ijin lahan dan sebagainya. Kedua adalah dengan memanfaatkan dana bansos maupun hibah.
Fakta korupsi ketiga menurut mantan pengacara ini adalah perubahan orientasi pemerintah dari darat ke laut. Orientasi kebijakan yang lebih fokus ke sektor maritim tentu saja akan berefek pada perubahan pola pola korupsi. Jika biasanya wilayah korupsi hanya terpusat di darat, maka ke depan akan berpindah ke sektor laut. Akan ada kapitalisasi dana infrastruktur demi menunjang cita cita negara maritim yang bisa dimainkan. Sayangnya, kebijakan ini tidak dibarengi dengan upaya menciptakan sistem pencegahan korupsi.
Terakhir adalah fakta korupsi di sektor pajak. Selama ini pendapatan terbesar negara berasal dari pajak. Angkanya sekitar 70% dari total pendapatan negara. Sayangnya, peningkatan jumlah wajib pajak dari tahun ke tahun tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas dan kuantitas petugas pajak. Untuk menangani 60 juta wajib pajak, pemerintah hanya mampu menyediakan 32 ribu petugas pajak. Yang artinya satu petugas pajak harus menangani hampir dua ribu wajib pajak. Maka tak heran jika kemudian angka penunggak pajak mencapai separuh dari total wajib pajak. Bahkan separuh wajib pajak yang menunaikan kewajibannya membayar pajak itu ditelusuri dengan seksama, masih banyak yang bermasalah.
APBN kita sekarang sejumlah 2000 triliun. 1400 triliun berasal dari para wajib pajak yang jumlahnya hanya 50% dari total wajib pajak. Artinya ada kebocoran pajak dalam jumlah sama.
Ratusan peserta diskusi sesaki aula Wahid Institute
Sementara itu panelis lain, yakni KH Masdar F Mas’ud dalam diskusi Jumat pertama forum Gusdurian berpendapat tentang perlunya merubah pandangan dari negara upeti ke negara jizyah (pajak), lalu disempurnakan lagi menuju negara zakat. Sikap masyarakat terhadap korupsi ditentukan oleh konsep yang dianut perihal ‘hakikat’ uang negara, terutama pajak sebagai sumber utama.
Sepanjang sejarah Islam, ada tiga konsep pajak sebagai sumber pemasukan negara. Pertama konsep pajak sebagai upeti (dlaribah) untuk raja/pemimpin. Pajak dianggap sebagai persembahan dari rakyat untuk penguasa. Akibatnya, korupsi atau penyalahgunaan uang negara oleh penguasa tidak dianggap sebagai korupsi.
Kedua, konsep pajak sebagai imbal Jizyah. Uang pajak didefinisikan sebagai uang jasa dari pembayar pajak untuk penguasa selaku penjual jasa yang nantiya akan diperuntukkan bagi kepentingan raja dan rakyat pembayar pajak. Mereka yang lemah hanya kebagian ashabah sekedar untuk mencegah kemarahan mereka yang dapat mengancam ketentraman golongan elite. Di era ini istilah korupsi mulai dikenal. Tapi definisinya sangat formalistik. Yakni jika terjadi penyalahgunaan uang negara untuk tujuan yang tidak disepakati oleh elite pembuat kebijakan.
Terakhir adalah konsep pajak sebagai sedekah wajib karena Allah SWT untuk kemaslahatan seluruh rakyat, terutama kaum lemah. Dalam konsep ini uang pajak dipersepsikan sebagai uang Allah yang diamanatkan kepada penyelenggara negara selaku amil. Persis seperti yang termaktub dalam surat Attaubah : 104. Dengan demikian, orientasi pajak lebih diutamakan untuk kepentingan seluruh masyarakat, terutama kaum mustadlafin. Maka, seluruh penyelewengan atau penyalahgunaan uang diluar kepentingan rakyat dianggap sebagai kejahatan korupsi.
Dalam paparannya, Bambang Widjoyanto menjelaskan bahwa ketika pasar bebas ASEAN itu dibuka, maka akan terjadi perpindahan aset dari satu negara ke negara lain. Hal ini tentu akan sangat menyulitkan penegak hukum apabila aset hasil korupsi itu berpindah ke negara lain mengingat sistem hukum yang berbeda beda antar negara. Pengalaman KPK dalam menangani kasus Nazarudin adalah bukti nyata betapa penegak hukum sangat kesulitan dalam memburu pelaku korupsi. Apalagi selama ini pola penanganannya tidak bisa dengan pendekatan Government to Government (G to G) karena belum adanya MOU antara lembaga antikorupsi Indonesia dengan lembaga antikorupsi negara lain.
Masalah kedua adalah praktik korupsi yang dilakukan oleh elite politik demi mendapatkan modal untuk bertarung dalam pesta demokrasi. Di tahun 2015 ini saja akan ada 205 Pilkada serentak diberbagai daerah. Pihak pihak yang berkepentingan tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk berkompetisi. Setidaknya ada dua cara bagi pelaku politik, terutama pihak incumben, demi mendapatkan modal. Pertama dengan memainkan perijinan. Entah itu ijin penambangan sumber daya alam, ijin lahan dan sebagainya. Kedua adalah dengan memanfaatkan dana bansos maupun hibah.
Fakta korupsi ketiga menurut mantan pengacara ini adalah perubahan orientasi pemerintah dari darat ke laut. Orientasi kebijakan yang lebih fokus ke sektor maritim tentu saja akan berefek pada perubahan pola pola korupsi. Jika biasanya wilayah korupsi hanya terpusat di darat, maka ke depan akan berpindah ke sektor laut. Akan ada kapitalisasi dana infrastruktur demi menunjang cita cita negara maritim yang bisa dimainkan. Sayangnya, kebijakan ini tidak dibarengi dengan upaya menciptakan sistem pencegahan korupsi.
Terakhir adalah fakta korupsi di sektor pajak. Selama ini pendapatan terbesar negara berasal dari pajak. Angkanya sekitar 70% dari total pendapatan negara. Sayangnya, peningkatan jumlah wajib pajak dari tahun ke tahun tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas dan kuantitas petugas pajak. Untuk menangani 60 juta wajib pajak, pemerintah hanya mampu menyediakan 32 ribu petugas pajak. Yang artinya satu petugas pajak harus menangani hampir dua ribu wajib pajak. Maka tak heran jika kemudian angka penunggak pajak mencapai separuh dari total wajib pajak. Bahkan separuh wajib pajak yang menunaikan kewajibannya membayar pajak itu ditelusuri dengan seksama, masih banyak yang bermasalah.
APBN kita sekarang sejumlah 2000 triliun. 1400 triliun berasal dari para wajib pajak yang jumlahnya hanya 50% dari total wajib pajak. Artinya ada kebocoran pajak dalam jumlah sama.
Ratusan peserta diskusi sesaki aula Wahid Institute
Sementara itu panelis lain, yakni KH Masdar F Mas’ud dalam diskusi Jumat pertama forum Gusdurian berpendapat tentang perlunya merubah pandangan dari negara upeti ke negara jizyah (pajak), lalu disempurnakan lagi menuju negara zakat. Sikap masyarakat terhadap korupsi ditentukan oleh konsep yang dianut perihal ‘hakikat’ uang negara, terutama pajak sebagai sumber utama.
Sepanjang sejarah Islam, ada tiga konsep pajak sebagai sumber pemasukan negara. Pertama konsep pajak sebagai upeti (dlaribah) untuk raja/pemimpin. Pajak dianggap sebagai persembahan dari rakyat untuk penguasa. Akibatnya, korupsi atau penyalahgunaan uang negara oleh penguasa tidak dianggap sebagai korupsi.
Kedua, konsep pajak sebagai imbal Jizyah. Uang pajak didefinisikan sebagai uang jasa dari pembayar pajak untuk penguasa selaku penjual jasa yang nantiya akan diperuntukkan bagi kepentingan raja dan rakyat pembayar pajak. Mereka yang lemah hanya kebagian ashabah sekedar untuk mencegah kemarahan mereka yang dapat mengancam ketentraman golongan elite. Di era ini istilah korupsi mulai dikenal. Tapi definisinya sangat formalistik. Yakni jika terjadi penyalahgunaan uang negara untuk tujuan yang tidak disepakati oleh elite pembuat kebijakan.
Terakhir adalah konsep pajak sebagai sedekah wajib karena Allah SWT untuk kemaslahatan seluruh rakyat, terutama kaum lemah. Dalam konsep ini uang pajak dipersepsikan sebagai uang Allah yang diamanatkan kepada penyelenggara negara selaku amil. Persis seperti yang termaktub dalam surat Attaubah : 104. Dengan demikian, orientasi pajak lebih diutamakan untuk kepentingan seluruh masyarakat, terutama kaum mustadlafin. Maka, seluruh penyelewengan atau penyalahgunaan uang diluar kepentingan rakyat dianggap sebagai kejahatan korupsi.
Tidak ada komentar