Breaking News

Masalah Hindu – Muslim di India dalam Perspektif Islam, Sebuah Pendekatan Kooperatif (tamat)


Kini dengan alasan yang lain, kita terlalu terobsesi dengan masa lampau. Seperti telah saya katakan di muka, pada dasarnya masalahnya adalah dendam politik yang telah dilegitimasikan, digeser ke antagonisme agama. Kita terlalu menyederhanakan sejarah dan tidak melihatnya kecuali hanya konflik agama antara orang-orang Hindu dan Muslim. Namun demikian sebagai orang yang serius mengkaji hubungan antarmanusia, kita harus ingat bahwa hubungan antarmanusia dan khususnya hubungan intern suatu kelompok atau komunal diwarnai oleh ambiguitas, kompleksitas dan relativitas. Kita tidak membicarakan hal ini secara mendetail dalam bab ini. Apa yang saya tekankan di sini adalah bahwa peristiwa sejarah harus dicermati dengan kekayaan, kedalaman, kompleksitas dan ambiguitas yang ada di dalamnya.
Asghar Ali dan Gus Dur (gusdurian.net)

Kita juga harus ingat bahwa perilaku manusia tidak disebabkan oleh satu faktor saja, betapapun pentingnya faktor tersebut. Agama mungkin sangat penting, tetapi bukanlah faktor pendorong yang utama bagi orang awam yang tidak terlibat dalam permainan kekuasaan, terlebih bagi penguasa. Jika kita membuang pendekatan yang terlalu sederhana (oversimplistic approach) dan berusaha memahami berbagai peristiwa sejarah atau komtemporer dalam segala kompleksitas dan ambiguitasnya, maka kita akan dapat memahami motivasi yang sebenarnya secara lebih baik, dan hal ini akan membantu meredakan konflik agama. Ini akan menciptakan pemahaman agama yang lebih baik.

Marilah kita sadari betapa banyak perbedaan dalam menafsirkan peristiwa-peristiwa kontemporer. Misalnya, Operasi Bintang Biru (Blue Star Operation). Apakah Indira Gandhi melakukannya karena motivasi politik atau karena dendamnya terhadap Sikhisme atau dia ingin membangkitkan chauvinisme untuk memenangkan pemilu ? Apakah dia memikirkan masyarakatnya atau sudahkah dia menyadari bahwa dirinyalah sebagai pemimpin yang dapat menggalang persatuan bangsa ? Kita menangkap sesuatu atau pendapat seseorang tergantung pada kepentingan politik kita atau keterlibatan kita atau kecenderungan hati kita secara a priori. Perdebatan ini masih terus berlangsung. Di antara para Sikh, juga tidak ada pendapat yang bulat.

Jika kita tidak dapat mengenali dengan pasti sebuah peristiwa yang baru saja terjadi, bagaimana mungkin kita mengetahui secara pasti peristiwa jauh di waktu yang lalu ? Namun kita masih saja memamerkan pendapat kita tentang berbagai peristiwa sejarah dengan mengabaikan sepenuhnya kompleksitas dan berbagai kemungkinan motivasi para aktor sejarah. Aktor-aktor sejarah ini bisa jadi bukan orang yang fanatik terhadap agama atau juga bukan orang yang sangat liberal. Tentu saja mereka tidak hanya dilandasi atas motivasi-motivasi tersebut. Mereka terutama didorong oleh kepentingan politiknya sendiri. Kita jangan sampai kehilangan fakta seperti ini. Jika kita dapat memahami hal ini, persepsi kita terhadap sejarah dan terhadap peristiwa-peristiwa sejarah akan berubah. Dan saat ini sangat diperlukan pemahaman yang tepat atas situasi komunal di negara kita masing-masing.

Sebuah masyarakat yang terus berubah, masalah-masalah yang dihadapinya akan menjadi semakin kompleks, dan masalah etnis adalah salah satunya. Komunalisme di India adalah sebuah fenomena di zaman modern, dimana ada pemerintahan Inggris yang membawa konsekuensi pada perubahan struktur sosio-ekonomi dan hubungan politik antara komunitas-komunitas yang berbeda, khususnya antara orang-orang Hindu dan Muslim. Sebuah masyarakat plural yang tidak mengerti akan perubahan, tidak dapat terbebas dari ketegangan-ketegangan komunal atau etnis dalam tingkat yang masih bisa dikendalikan atau lebih parah lagi. Masalah komunal telah meloncat lebih jauh, ketika hubungan kekuasaan  yang feodal-otokratik mulai berubah menjadi kapitalis-demokratik. Perubahan ini akan semakin cepat, manakala transformasi sosio-ekonomi menjadi relatif lebih cepat setelah diproklamasikannya kemerdekaan India. Kekuatan dan hubungan kekuasaan yang baru mulai muncul ke atas horison sosial dan politik. Transformasi ini sekali lagi perlu dipahami dalam segala kompleksitas, kekayaan dan ambiguitasnya, tanpa melakukan oversimplikasi.

Sebagian besar negara dunia ketiga menghadapi masalah-masalah etnis atau komunal dengan tingkat yang berbeda-beda. Semua negara yang dulunya dianggap sebagai model negara yang bersatu dan bersahabat, sedang tercabik cabik oleh konflik etnis dan komunal. Siapa yang menyangka hanya dalam satu dekade kepulauan Fiji yang damai di Pasifik mengalami perselisihan etnis yang berlangsung dengan sangat cepat ? Orang-orang Indian Fiji dan penduduk asli mulai bersitegang. Tentu saja konflik ini terjadi karena kepentingan ekonomi dan politik. Konflik ini pecah setelah dalam pemilihan, Indian Fiji saling berkoalisi yang dipimpin oleh Dr. Timoci Bavadra. Hal ini menimbulkan kemarahan penduduk asli yang merasa kalah dalam bidang politik dan ekonomi. Orang Fiji asli mengukuhkan kekuasaannya, demokrasi tumbang dan mereka mengendalikan kekuasaan dengan diktator militer.

Konflik Tamil-Sinhala di Sri Lanka juga merupakan akibat dari kegoncangan sosio-ekonomi. Tamil dianggap minoritas yang mendapat perlakuan khusus oleh Sinhala, dan rahib rahib Budha pun terlibat dalam gerakan anti-Tamil dan terjadilah kekacauan. Sampai sekarang, negara-negara ini hanya mengenal perdamaian antaretnis yang selalu didahului dengan konflik. Konflik ini terjadi karena ketegangan komunal atau rasial. Masih banyak contoh yang dapat diangkat dari negara-negara lain dibelahan bumi ini.

Masalah Hindu-Muslim di India (dan sekarang bertambah menjadi Hindu-Sikh) adalah satu konflik yang disebabkan oleh ketegangan komunal. Sebenarnya berbicara tentang masalah Hindu-Muslim bukan berbicara masalah agama. Konflik ini berlangsung dalam wilayah keduniaan (seculer) yang sayangnya menggunakan idiom-idiom keagamaan dan lantas masalahnya bergeser menjadi masalah agama. Kita harus memandang masalah ini dari sudut pandang seorang yang memahami, bukan hanya dari sudut pandang seorang pelaku konflik. Masalah agama ini juga melibatkan banyak faktor, bukan hanya faktor budaya. Saudara-saudara kita yang beragama Hindu mengeluhkan bahwa kaum Muslim tidak mau menjadi bagian dari bangsa India. Persepsi sebagian benar dan sebagian lainnya keliru. Jika kita melihat elite perkotaan Muslim di India utara tampaknya benar, namun tidak benar, jika melihat kaum Muslim pedesaan yang hidup di India Utara atau pada umumnya di India Selatan dan Timur.

Sebenarnya, pusat masalah komunal ini terletak di daerah Hindi (yang juga termasuk Gujarat dan Maharashrta) dan elit perkotaan di daerah ini memaksakan identitas dirinya yang terpisah, kebudayaan adalah Indo-Islam. Sementara itu, kaum Muslim perkotaan kelas menengah di daerah ini sangat bangga dengan identitas Indo-Islamnya. Ditambahkan lagi, mereka mempunyai sejarah konflik Hindu-Muslim semenjak abad XIX. Di sinilah pusat gerakan Aligarh dan pusat kekuasaan kaum Muslim. Dan di sini, khususnya di kawasan perkotaan, jumlah kaum Muslim sangat banyak yang berasal dari keturunan kelas kelas yang pada zaman dahulu berkuasa. Perang untuk mendirikan negara sendiri, Pakistan, juga terutama terjadi di daerah ini.

Maka dari itu, tidak mengejutkan kalau perasaan untuk memisahkan diri di daerah ini lebih kuat dibandingkan daerah lain. Orang-orang Hindu sangat merasakan sikap kaum Muslim yang ingin memisahkan diri. Oleh karena itu, wajar saja kalau mereka menganggap kaum Muslim menolak untuk menjadi bagian dari India. Akan tetapi, masalahnya memang kompleks dan ambigu. Dan telah sering kita sebut, penyebabnya bukan hanya agama, namun politik.

Kita kembali ke belakang, ke sejarah akar persolan separatisme ini. Karena Kaisar Akbar memberikan kebebasan kepada orang orang Hindu, sebagian kaum elit Muslim menaruh kebencian terhadap mereka, terutama penduduk asli Asia Tengah. Kemudian, elit Muslim ini menemukan sandarannya pada Mujaddid Sirhindi, seorang teolog Sufi Naqshabandi. Sebenarnya semua ini dimulai dari Baqi Billah dari Naqshabandi di Punjab. Dia lahir tahun 1563 dan meninggal pada tahun 1603 di Delhi. Baqi Billahlah yang mulai mengontak elit Muslim tersebut dan kemudian bergabung dengan Sirhindi yang liberal dan dipengaruhi oleh Abul Fazl, seorang intelektual sufi besar.

Mujaddid Alf Thani Sirhindi menulis surat (maktubat) ke banyak elit Muslim dan dalam surat itu dia menekankan pentingnya ortodoksi Islam dan menentang kebijakan politik Kaisar yang tidak Islami. Dia mendapatkan dukungan dari mereka yang tidak ingin berbagi kekuasaan dengan elit Hindu. Maka terjadilah perselisihan dan Aurangzeb juga mendukung elit Muslim untuk merebut kekuasaan politik dari Dara Shikoh yang juga seorang liberal. Elit Muslim berada satu pihak dengan Aurangzeb yang akhirnya memenangkan perselisihan ini, Syah Waliyullah juga berusaha mempengaruhi mereka untuk menegakkan kekuasaan Islam, namun gagal.

Nantinya kaum elit Muslim di Asia Tengah ini kehilangan identitas aslinya dan mencari identitas baru Indo-Islam yang berarti bercirikan Islam dan India. Kenyataan ini harus dilihat dengan kacamata seperti  yang telah berulangkali disebut di atas. Ciri Islamnya mengemuka dalam kondisi tertentu, demikian juga ciri Indianya, tergantung pada kesempatan yang ada guna merebut kekuasaan.

Setelah Inggris menancapkan kekuasaannya di India, perang tahap baru untuk merebut kekuasaan mulai berlangsung yang melibatkan elit Muslim perkotaan di India Utara dan identitas Islamnya mulai muncul lagi. Hal ini terjadi karena perseteruan antara elit Muslim dan Hindu, dan memang demikianlah yang sangat diharapkan oleh mereka. Untuk memobilisasi massa Muslim, mereka berusaha mengentalkan identitas Islamnya. Sebetulnya, dalam identitas Islam tersebut juga terdapat unsur agama Hindu yang kuat. Nama, tradisi, adat dan unsur budaya lainnya sangat dipengaruhi oleh agama Hindu. Elit Muslim, demi kepentingan politik, bukan agama, mulai memaksa massa Muslim untuk melepaskan unsur unsur lokal Hindunya. Sebaliknya, ulama-ulama Deobandi melakukannya dengan alasan agama. Mereka berpikir, entah setuju atau tidak, jika kita tidak mengamalkan Islam yang murni, kita tidak dapat mencegah degenerasi kaum Muslim.

Akan tetapi, kita tidak akan memfokuskan pada alasan keagamaan mereka. Kita lebih memfokuskan pada alasan-alasan politiknya. Dalam menganalisa separatisme Bengali, yang semakin kuat pada abad XIX ini, Rafiuddin mengatakan, “Perkembangan ini semata-mata dipicu oleh kampanye Islamisasi. Meningkatnya komunikasi yang semakin erat antara kaum Muslim pedesaan dan perkotaan, penyebaran pendidikan Islam dan barat yang meluas, dan akhirnya meningkatnya ketegengan-ketegangan komunal yang disebabkan oleh faktor sosial dan politik, semuanya ini menjadi kontribusi semakin kuatnya keinginan kaum Muslim untuk memisahkan diri dari tetangganya yang Hindu.”

Rafiuddin menggambarkan berbagai perubahan yang mulai tampak pada kaum Muslim Bengali. Dia menyebutkan, “Pada mulanya, nama-nama orang yang ada pada abad XVII atau XIX seringkali mengacu pada Sang Pencipta, seperti Sri Sri Huq, Sri Sri Iswar, Sri Sri Karim, namun kini mereka cenderung mengganti nama-nama yang ‘tidak Islami’ itu, Sri Sri, dengan nama-nama Arab atau Persi yang ‘lebih Islami’ yang mengandung doa, seperti  Allah Akbar atau Allahu Ghani. Nama panggilan juga menunjukkan kecenderungan yang sama, Sri, Srijuta dan Sril Srijuta diganti dengan panggilan Arab, seperti Janab, Mushi, dan Maulavi. Bahkan istilah nasihatnamas telah berubah dengan cepat. Nama-nama organisasi di Bengali juga diganti dengan nama nama Arab, seperti Tariqah-i-Muhammadiya, Akbar al-Marifat, Bedar al-Ghafilin, dan sebagainya. Perubahan ini menunjukkan kondisi psikologis yang ada dibelakang kampanye Islamisasi. Hal ini juga menunjukkan bagaimana pemberantasan politeisme sedang mengarah pada separatisme kultural.

Kecenderungan yang sama juga terjadi di komunitas-komunitas Muslim lainnya, misalnya Meos di Rajasthan dan Haryana. Mereka sebenarnya telah berasimilasi dengan masyarakat lokal, namun semenjak berkobar perang antara orang-orang Hindu dan Muslim, proses separatisme kultural dan Islamisasi telah menjadi sekat pemisah. Sekat pemisah ini semakin menjulang tinggi, ketika kaum Muslim Khoja di Gujarat mengganti nama dan adat Hindunya.

Separatisme kultural dan Islamisasi ini harus benar benar dilihat, bukan sebagai bagian integral dari fanatisme Islam, namun sebagai proses sosiologis yang sebagian dikarenakan oleh perselisihan antara elit kedua komunitas tersebut. Selain itu, juga harus dikatakan separatisme ini juga merupakan akibat dari kesadaran politik yang makin tinggi. Sangat sulit untuk mengatakan manakah yang mendahului, kesadaran kultural dan agama, atau kesadaran politik. Proses ini sangat kompleks. Tapi yang jelas, secara empiris perseteruan politik antara dua komunitas tersebut juga mengarah pada separatisme kultural-keagamaan.

Seringkali masalah ini juga menimpa Indonesia. Kaum Muslim di negara ini telah sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu. Simbol budaya nasionalnya adalah Hindu. Bahkan tarian nasionalnya berasal dari Ramayana. Nama-nama yang mirip dengan nama-nama Hindu juga banyak. Semua ini tidak mengada-ada, namun kaum Muslim  di Indonesia betul betul menjadi mayoritas dan juga semenjak dulu hingga kini tidak ada perseteruan antara orang – orang Hindu dengan Muslim. Tidak ada kekhawatiran akan dominasi budaya Hindu. Identitasnya adalah hasil kristalisasi proses sosio-politik antara agama da budaya. Dan keinginan memisahkan diri di India dimulai dari kalangan elit perkotaan, bukan massa pedesaaan.

Dari contoh masyarakat Bengali pada abad XIX yang telah diuraikan di atas, jelas ada asimilasi budaya yang begitu tinggi, mungkin sama dengan yang terjadi di Indonesia, namun semuanya mulai berubah ketika pendidikan dan permusuhan antara dua elit komunitas itu semakin intensif. Bahkan sekarang keinginan memisahkan diri secara kultural makin kuat di antara elit perkotaan di India Utara. Dan masalahnya masih terletak pada proses komunalisasi. Namun di daerah pedesaan, pada saat yang bersamaan asimilasi budaya antara orang-orang Hindu dan Muslim sangat tinggi. Dialek, model pakaian dan adat sosial mereka memiliki kesamaan. Dan telah ada sejumlah study empiris dan antropologis tentang fenomena ini.

Bagaimanapun parahnya kekacauan politik itu, separatisme kultural dan keagamaan tetap ada batasnya. Betapapun kuatnya separatisme itu, identitas elit Muslim masih tetap Indo-Islam. Muslim India tidak dapat membuang citra budaya dan sosial India. Unsur Islam dalam etika sosial sama banyaknya dengan unsur Indianya. Keislaman mereka tidak sepenuhnya terlepas dari ke-India-annya. Dunia Islam menganggap mereka sebagai Muslim India.

Demikian juga di bagian selatan dan timur Laut India, seperti Tamil Nadu, Kerala, Assam, Kashmir dan Bengali barat (di samping Muslim Bihari di Calcuta), terjadi asimilasi budaya yang sangat menyolok antara orang-orang Hindu dan Muslim, bukan hanya di pedesaan namun juga di perkotaan. Mereka menikmati adat sosial yang sama, berbagi nilai-nilai budaya dan tentu saja berbicara dengan bahasa yang sama. Di Kerala, upacara pernikahan disebut Mangalam dan pernikahannya bersifat matriarkal seperti Hindu (dan memang sistem matriarkallah yang berlaku di sini). Di Kashmir, orang orang Sufi di namakan rishi (Nuruddin Rishi, dan seterusnya). Kaum rishi dihormati oleh orang-orang Hindu dan Muslim. Di Kashmir, penyair sufi yang dihormati adalah Lalleswari (yang populer disebut Lal Ded) yang sekarang dikenal dengan Nuruddin Rishi (Nund Rishi). Dia seorang Shaivite dan menulis syair dengan bahasa populer. Kashmir Shaivisme mengandung makna tauhid yang kuat.

Sehingga, keinginan untuk memisahkan diri secara kultural telah lazim di sebagian kecil penduduk kota di India Utara, dan yang penting, masalah ini tidak dibesar-besarkan. Keinginan ini semakin kuat seiring dengan kuatnya keyakinan komunal mereka. Proses pemilihan dan peluang politik telah sangat berpengaruh pada semakin menguatnya komunalisme di seluruh India. Jika keinginan memisahkan diri secara kultural dapat ditekan, bahkan dihapuskan, akan lebih mudah untuk menekan komunalisme dan akan tercipta hubungan yang lebih baik dan harmonis antara orang-orang Hindu dan Muslim. Menurut pendapat saya, dua akar persolannya harus secara jelas dikenali, jika hendak diselesaikan secara obyektif dan menguntungkan semua pihak. Pertama, harus diketahui adanya kenyataan bahwa dengan berkembangnya pendidikan, orang terdorong dan cenderung untuk memisahkan diri dari komunitas atau kasta lain. Ini berlaku untuk semua kasta dan komunitas. Dengan kata lain, kemajuan pendidikan akan meningkatkan kesadaran kasta. Hal ini tidak bisa dipungkiri dan harus diterima dengan perspektif yang tepat.

Yang kedua, berkaitan dengan apa yang dilakukan secara sengaja oleh para pemimpin atau elit kedua komunitas untuk menurutkan kepentingannya sendiri, yaitu menciptakan iklim permusuhan yang mengarah kepada kesadaran untuk memisahkan diri dari komunitas lain. Inilah proses yang berlangsung secara terus-menerus. Oleh karena itu, harus diganti dengan kooperasi. Polemik harus diganti dengan dialog.

Kita juga harus mengetahui fakta  bahwa India telah memilih menjadi negara sekuler demokratis. India adalah sebuah bangsa yang plural. Demokrasi tidak dapat ditegakkan tanpa sekulerisme dalam konteks zaman modern, dan sekulerisme tidak dapat menciptakan stabilitas tanpa memahami pluralisme agama dan kultural yang telah ada sejak awal. Untuk memperkuat paham pluralisme (dimana akan tergantung pada sekulerisme dan demokrasi), kita harus mengembangkan sikap menghargai semua agama dan budaya secara adil. Toleransi bisa jadi bermakna negatif, dalam arti membiarkan apa pun yang terjadi. Kita harus membuang sikap tersebut dan menanamkan sikap menghargai agama lain. Sikap menghargai ini sangat positif.  Kaum Muslim harus menunjukkan sikap menghargai sebagaimana orang-orang Hindu menghargai mereka. Demikian juga, orang-orang Hindu tidak boleh memandang Islam dengan perasaan curiga. Benar bahwa agama Hindu tidak doktriner, namun orang-orang Hindu cenderung demikian. Sekarang ini yang dipentingkan adalah segi praksisnya, bukan teoritis. Islam secara teologis sebagaimana ditunjukkan ayat-ayat Al-Qur’an di awal bab ini, tidak kalah toleransinya. Namun kenyataannya, kaum Muslim kaum Muslim jauh dari sikap toleran ini.

Kedua komunitas ini –paling tidak tokoh-tokohnya harus mempunyai komitmen untuk mempelopori menciptakan perdamaian komunal- harus bersikap kritis terhadap komunitasnya masing-masing. Jangan sampai saling menyalahkan dengan menutup mata atas kesalahan yang dilakukan oleh komunitasnya sendiri. Sikap ini memang seringkali terjadi, namun akhirnya kita semua yang akan menjadi korban. Kita harus keluar dari sikap ini dan berusaha untuk kritis terhadap diri sendiri. Akan menjadi lebih baik jika kita menyadari bahwa komunalisme per se ini keliru. Masyarakat seharusnya tidak dikelompok-kelompokkan dalam kategori yang artifisial, yakni mayoritas dan minoritas. Manusia itu hanya dapat hidup dengan bantuan orang lain. Kita semua mengakuinya, jika perlu bukti, lihatlah yang terjadi selama agitasi yang dilakukan oleh Shah Bano dan Ramjanam Bhoomi Babri. Komunalisme Islam yang agresif sangatlah buruk yang pada akhirnya berdampak pada komunitas Hindu.

Masyarakat Hindu dan Muslim harus menyadari adanya permainan kepentingan pribadi dan merekalah yang menjadi korbannya. Di sebagian kota besar dan kecil, serta di desa, mereka hidup dengan makmur dalam suasana damai. Tidak ada permusuhan di antara mereka, jika tidak disebabkan oleh permainan tadi. Masyarakat awam lebih religius, namun kurang komunal, sedangkan golongan elit dan para pemimpinnya jauh dari watak religius, namun lebih komunal. Masyarakat awam dibanding golongan elit, lebih menghormati agama-agama lain. Selain itu, masyarakat awam disibukkan dengan usaha menghidupi diri mereka sendiri. Mereka yang bersikap konfrontatif tidak peduli dengan kehidupan masyarakat awam yang keras itu. Mereka mengangkat isu yang abstrak dan emosional, misalnya masjid Babri-Ram Janambhoomi, dan sulit kalau harus mengangkat isu-isu perlawanan rakyat. Oleh karena itu, konfrontasi komunal harus diberantas.

Cendikiawan Muslim juga telah menjadi sangat sensitif dalam masalah-masalah religio-kultural. Mereka seharusnya tidak sampai kehilangan kendali dalam menghadapi masalah-masalah ini. Mereka seharusnya juga menyadari  sensibilitas komunitas yang mayoritas dan perlu meredakan ketegangan antara mayoritas dan minoritas. Mereka seharusnya tidak terlalu reaktif, seperti yang seringkali mereka lakukan yang hanya akan memperburuk situasi. Sikap yang terbuka dan pendekatan yang akomodatif akan jauh lebih berguna.

Orang-orang Hindu juga harus menyadari bahwa kemajuan negara hanya mungkin tercapai  ketika terdapat perdamaian komunal dan semangat kooperatif antara mayoritas dan minoritas. Jika perasaan golongan minoritas semakin kuat, maka integritas negara akan terancam, apalagi jika kesadaran komunalnya semakin tinggi. Mereka harus menunjukkan sikap yang lebih akomodatif terhadap minoritas da menghargai sensibilitas religio-kulturalnya (meskipun budaya jauh lebih kompleks dan seringkali menjadi masalah antara mayoritas dan minoritas , khususnya di tingkat regional). Minoritas biasanya cenderung lebih sensitif terhadap isu-isu seperti ini.

Kaum Muslim harus menyadari bahwa makna kedirian memang sangat penting, namun bukan untuk ditonjol-tonjolkan. Religiusitas yang benar dan keyakinan yang hakiki jauh dari pikiran-pikiran yang picik dan tidak dapat diombang-ambingkan oleh tradisi lokal. Sesungguhnya, di dunia ini tidak ada kaum Muslim yang merupakan ‘komunitas Islam murni’. ‘Komunitas Islam murni’ dalam antropologi hanyalah mitos. Mereka seharusnya tidak membuat identitas diri yang hanya mengacu pada masa lalu. Masa kini dan masa depan juga harus dimasukkan ke dalam kesadaran identitas mereka, jika mereka ingin hidupnya lebih bermakna di zaman sekarang. Mereka harus memilih identitas yang progresif, bukan regresif. Dengan ini berarti mereka harus  terbuka terhadap perubahan dan membuang masa lalunya yang feodal. Kaum Muslim telah tenggelam dalam nilai-nilai feodal, sehingga mereka sulit untuk membebaskan diri darinya. Namun ini harus dilakukan. Islam sangat tidak sepakat dengan feodalisme.

Oleh karena itu, ada sejumlah masukan yang perlu dikaji lebih dalam lagi untuk mengembangkan pendekatan yang kooperatif antara orang-orang Hindu dan Muslim. Hal ini lebih mudah untuk dikatakan daripada dilakukan. Tetapi harus kita ingat ada yang tidak mungkin, tidak ada determinasi. Kita tidak boleh putus asa dengan banyaknya masalah yang mengepung kita. Masalah-masalah tersebut harus diatasi. Di atas semua itu, kita terikat dengan proses pembentukan bangsa (nation building). Ini tugas yang berat. Di eropa, masalahnya relatif lebih sederhana, masyarakatnya hanya memeluk satu agama dan mempunyai satu bahasa, serta proses industrialisasinya telah sangat maju. Sedangkan di India, masyarakatnya multi bahasa dan multi agama, serta industrialisasi berjalan lambat. Kita masih jauh dari maju (modernised).

Namun demikian, kita tidak boleh berkecil hati. Tantangan yang lebih besar menuntut jawaban yang lebih pasti dan kita harus menuntaskan tugas ini dengan hati yang tenang dan jujur.

Oleh : Asghar Ali Engineer, Intelektual Muslim asal India

Sumber : Buku ‘Islam dan Teologi Pembebasan’ terbitan Pustaka Pelajar

Tidak ada komentar