Batasnya Sabar, ya Sabar...
'Fa shobrun jamil'
Maka, sabar itu indah.
Pict : Imamuddin Al-Porongi |
Pernah mendengar ungkapan begini :
"Kurang
apa aku ini. Semua kewajiban rumah tangga sudah aku kerjakan. Nyapu,
ngepel, nyuci, nyetrika, momong dan lainnya. Nggak ada yang ketinggalan
(bahkan adalagi yang mengatakan, 'dia kawin lagi saja aku ijinin').
Bahkan aku juga bekerja mencari nafkah untuk membantu kewajiban dia.
Kurang penurut apa ? Kurang taat apa ?. Aku nggak meminta banyak.
Sederhana, luangkan waktu sebentar buat keluarga. Nemenin bobo atau
apalah".
Kemudian di pihak lain mengatakan begini :
"Aku
ini laki-laki. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Bukan aku tidak
berfikir. Bukan aku nggak perhatian. Bukan aku nggak cinta. Aku hanya
minta, janganlah mengatur-atur. Aku memang masih banyak kekurangan, tapi
aku tak mau diperlakukan layaknya pelayan. Kemana-mana mesti absen,
mesti memberitahu dan kalau nggak begitu, dia ngambek. Ini sebenarnya
cinta atau nggak sih ?".
Curahan hati yang tentu bagi kita
semua sudah tidak asing lagi. Apakah itu melalui ungkapan verbal,
curhatan di status media sosial maupun di wahana lainnya. Ketika kita
menanyakan apa sebenarnya yang ada dibenak mereka, masihkah cinta itu
tertanam ? Masihkah kesabaran itu terpelihara ?. Serentetan pembelaan
diri meluncur bebas tanpa hambatan dari bibirnya.
"Pengorbanan ini karena aku mencintainya. Aku mengatur ini dan itu karena aku menyayanginya".
Lalu,
Kenapa masih merasa was was ?
Kenapa masih marah ?
Kenapa masih sedih ?
Kenapa masih belum merasa bahagia ?
Cinta dan sabar. Nafsu dan kemarahan. Ada kalanya berjalan seiring,
bersinggungan, saling menjauh atau berpeluk erat. Tapi tetap merupakan
sesuatu yang berbeda. Jika cinta dan kesabaran itu kita kategorikan
sebagai kewajiban, maka nafsu (keinginan) dan kemarahan sifatnya sunah.
Yang pertama lebih bermakna hakiki dan terkait erat dengan jiwa,
sementara yang kedua berkaitan dengan hal-hal yang bersifat ragawi. Yang
pertama bersifat bebas dan membebaskan. Sementara yang terakhir
terbelenggu dalam aturan aturan.
Maka, tidak ada larangan
dan tidak ada yang bisa melarang kita untuk mencintai apapun. Apakah itu
mencintai teman, saudara, orang lain, pasangan orang atau apa saja.
Sebab, cinta itu adanya dalam jiwa. Tidak bisa diukur dengan kasatmata.
Tapi ketika cinta itu kemudian berjalan seiring dengan nafsu
(keinginan), maka akan berlaku aturan-aturan yang bersifat ragawi.
Membutuhkan pengorbanan, membutuhkan perjuangan panjang dan membutuhkan
pihak lain untuk menuju kesepakatan.
Ada ungkapan, 'cinta
tak harus memiliki'. Sebuah kalimat yang penulis yakin diketahui dan
diakui kebenarannya oleh semua orang. Namun dalam prakteknya begitu
sulit dilakukan. Jangankan bicara soal kegagalan untuk memiliki, bahkan
hal-hal kecil yang tidak sesuai dengan pikiran kitapun seringkali
menimbulkan perasaan sedih. Dan ada kalanya merubah drastis warna cinta.
Lantas, kenapa ungkapan itu dianggap sangat sahih ?. Jawabannya, karena
'memiliki' sifatnya bukan kewajiban. Melainkan sekedar 'sunah' belaka.
Boleh berusaha untuk memiliki, tapi tidak boleh marah dan bersedih
ketika gagal. Jika kemarahan dan kesedihan itu mengotori pikiran kita,
maka layak dipertanyakan apakah benar kita mencintainya.
Pujangga masyhur, Kahlil Ghibran, mengatakan "Cinta tidak membutuhkan apapun selain cinta itu sendiri".
Penulis ingin menambahkan bahwa "Kesabaran tidak memiliki batas, selain sabar itu sendiri".
Maknanya
adalah, ketika kita telah menanam cinta, maka kita tidak perlu
membutuhkan alasan apapun untuk itu. Cinta haruslah menjadi sesuatu yang
mandiri. terbebas dari keinginan dan kebutuhan kebutuhan. Tidak
mengharuskan untuk memiliki, menguasai dan mengatur mereka yang kita
cinta. Cinta hanya membutuhkan dirinya sendiri, yakni 'cinta'. Maka, tak
heran jika kemudian muncul istilah 'kalau cinta jangan marah'. Sebab,
marah itu bukan cinta. Perasaan ingin memiliki, menguasai, menakhlukkan
dan mengatur, itu bukanlah cinta.
Demikian pula yang
disebut sabar. Ia tidak memiliki batas selain sabar itu sendiri. Ketika
kita mengatakan 'kesabaran ada batasnya' atau 'kesabaranku sudah habis',
itu tidak bisa disebut sabar. Karena batasnya sabar, ya sabar. Ketika
kesabaran itu kita beri batasan, nilai dan tindakan, lantas berubah
menjadi kemarahan, balas dendam dan reaksi, maka menjadi batal atau
tertanggal 'sabar' itu.
Penyakit dari cinta dan sabar
adalah nafsu. Nafsu adalah keinginan dari jiwa untuk mengejawantahkan
(mengaplikasikan) rasa ke dalam tindakan yang sifatnya ragawi. Nafsu
adalah pemenuhan keinginan ragawi. Para bijak mengatakan, ada nafsu yang
menuntun kebaikan. Ada pula nafsu yang menuntun keburukan. Ada tolok
ukur yang mungkin berbeda-beda menurut siapa yang menafsirkan. Tapi
penulis ingin mengatakan bahwa tolok ukur dari nafsu adalah cinta. Jika
nafsu itu mengukuhkan, menyuburkan dan memelihara cinta, maka yang akan
lahir adalah kebaikan. Tapi jika kemudian nafsu itu menjadikan cinta
ternoda atau bahkan terkikis dan hilang, maka yang akan lahir adalah
kejahatan.
Itulah jawaban yang tepat untuk menanggapi
keluh kesah diatas. Kita boleh marah, boleh meminta sesuatu, boleh
menuntut, boleh berusaha untuk memiliki, tapi tetapkanlah itu semua
dibawah cinta. Bukan malah menjadi penguasa atas cinta. Atau malah
menghancurkan cinta itu sendiri.
Mereka yang telah
mendeklarasikan cinta, mestinya juga memelihara kesabaran. Tentu saja
sabar yang tidak berbatas. Yang mutlak dan tidak terpengaruh oleh
keadaan. Sabar itu kewajiban. Ia tidak boleh ternoda oleh hal - hal yang
sifatnya 'sunah'. Ia tidak boleh terhapus oleh situasi yang menimpa
raga. Ia berdiri sendiri. Kukuh dan mengukuhkan dirinya.
Dan, sabar itu indah...
Jakarta, 25 Maret 2015
by Komandan Gubrak
Tidak ada komentar