Breaking News

Kelas Sosial Baru NU

Telah tumbuh kelas sosial baru di dalam tubuh organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama. Mereka adalah kelompok intelektual progresif dan profesional yang tersebar dalam berbagai bidang kehidupan.

Bagaimana NU yang berbasis pesantren bisa melahirkan kelompok santri baru ?. Bagaimana karakter kelas sosial baru dalam NU tersebut ?. Apakah kehadiran mereka membawa dampak pada peran sosial ormas Islam ini ?. Apakah mereka telah terakomodasi dalam kepemimpinan organisasi ?. Masalah ini menarik untuk diangkat menjelang muktamar ke 33 NU pada 1 – 5 Agustus 2015, di Jombang.

Paling tidak ada dua sumber kelas baru NU. Pertama, kelompok profesional dan akademisi dari latar belakang keluarga santri tersembunyi. Mereka baru muncul di permukaan setelah terjadi reformasi politik. Mereka adalah para teknokrat, kaum profesional, serta akademisi dari keluarga NU.

Kedua, kelompok santri baru hasil “liberalisasi” pendidikan. Seperti diketahui, pada 1970an, pemerintah Soeharto membuka keran lebih luas bagi santri untuk masuk dunia pendidikan. Melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Menteri Dalam Negeri, keran dibuka lebar bagi kalangan santri lulusan lembaga pendidikan formal madrasah. Mulai saat itu, lulusan madrasah yang ada di pesantren-pesantren bisa masuk langsung ke sekolah umum tanpa harus mengikuti ujian persamaan.

Sejak saat itu, semakin banyak anak keluarga santri NU yang menempuh pendidikan umum. Gelombang anak santri yang masuk universitas kenamaan di negeri ini mulai terjadi. Pilihan pendidikan lanjutan para santri tak hanya perguruan tinggi agama di dalam negeri ataupun di luar negeri. Dari gelombang inilah lahir para profesional dan akademisi baru NU. Orientasi karier mereka juga semakin luas dan tidak hanya menjadi dai serta menggeluti pekerjaan yang terkait dengan keagamaan, tapi juga profesi umum lainnya.

Hasil “liberalisasi” pendidikan bagi kaum santri ini melahirkan banyak akademisi bergelar doktor dalam bidang non-agama. Juga banyak kalangan profesional yang menempati dunia perbankan, jurnalistik, serta industri kreatif, seperti Ipank Wahid, para dokter, dan tehnokrat yang tersebar di instansi – instansi pemerintah. Mereka menjadi santri yang lebih “mengkota” karena bergelut dengan dunia profesional di perkotaan.

Kebijakan deradikalisasi Islam dari negara-negara barat ikut menggelembungkan lapisan ini. Beasiswa study di negara – negara barat mengalir deras ke kalangan intelektual NU. Banyak sekali dosen IAIN, UIN, dan kalangan pesantren yang mendapat beasiswa untuk berkuliah di berbagai universitas di luar negeri. Mereka tidak hanya menekuni study Islam tapi juga study ilmu ‘sekuler’. Barisan doktor baru dari kalangan santri ini semakin mengalir deras. Para akademisi dengan latar belakang keluarga santri NU juga bermunculan di perguruan tinggi umum serta lembaga-lembaga penelitian. Mereka mulai mewarnai berbagai pemikiran di beberapa bidang. Setiap saat, mereka bisa menjadi sumber daya tehnokrat yang bisa mengisi berbagai pusat strategis di lingkup pemerintah. Bahkan, sebagian besar dari mereka tidak hanya piawai dalam keahliannya, tapi juga punya dasar ilmu keagamaan yang mencukupi.

Lapisan sosial baru NU ini memiliki karakter yang sedikit berbeda dengan lapisan santri NU pada umumnya. Mereka terbiasa hidup dalam lingkungan yang lebih plural, terbiasa bekerja secara terencana, disiplin, dan lebih berorientasi pada hasil. Latar belakang kesantriannya tidak menghalangi mereka hidup dengan cara modern dan lebih gampang beradaptasi dengan dunia baru.

Menjamurnya para intelektual NU ini sudah diramalkan cendikiawan muslim kenamaan, DR. Nurcholis Madjid. Salah satu pendiri Universitas Paramadina Jakarta yang terkenal dengan konsep sekularisasi politik itu melihat NU sebagai organisasi keagamaan yang cukup kuat dalam hal tradisi intelektual Islam. Ia mengatakan ormas keagamaan ini memiliki sumber pustaka yang sangat kaya. Karena itu ia meramalkan kalangan Nahdliyin akan memimpin khasanah intelektual Islam di Indonesia.

Lahirnya lapis baru NU ini jelas menentukan peran sosial, politik, keagamaan, dan kebudayaan organisasi ini ke depan. Sumber keilmuan yang beragam dengan dasar prinsip keagamaan yang lebih toleran tentu menjanjikan diskursus pemikiran yang lebih terbuka. Kepemimpinan lapis baru NU ini diharapkan bisa mempersempit hadirnya pemikiran radikal Islam yang puritan. Ini jelas bermakna bagi pembentukan tatanan kebangsaan ke depan.
Sementara itu, semakin tebalnya lapis profesional dan sumber daya tehnokratis memungkinkan NU untuk memiliki akses yang lebih kuat terhadap simpul strategis dalam berbagai bidang kehidupan. Tentu ini sangat membantu ormas Islam yang berdiri pada 1926 itu untuk ikut mempengaruhi berbagai kebijakan strategi di lingkup pemerintah. Banyaknya anggota kabinet pasca-reformasi merupakan hasil dari lahirnya lapis sosial NU baru ini.

Akankan peran kelas sosial baru NU ini semakin besar atau terlempar dari dinamika organisasi ?

Oleh : Arif Afandi, Pengurus PWNU Jatim dan CEO Wira Jatim Group
Tulisan ini dimuat di Koran Tempo edisi, 15 April 2015

Pict : Chamsa Laela HK

Tidak ada komentar