PARA PENANTANG ISIS
Tak bisa dipungkiri, prestasi militer organisasi militan yang
berbasis di Irak dan Suriah dalam setahun terakhir ini cukup
menggetarkan. Sempalan Alqaeda yang mengusung ide khilafah ini tak
tanggung-tanggung nyaris menguasai sebagian besar wilayah negara Irak
dan Suriah. Bukan itu saja, anasir ISISpun kini mulai menjejakkan
kakinya di negeri jauh. Di Libya misalnya, ISIS mulai menampakkan
eksistensinya. Meski terkadang sering bentrok dengan kelompok islamis
lainnya, ISIS satu suara menentang kekuasaan Perdana Menteri Abdullah
Al-Thinni. Eksistensi ISIS di Libya terlihat dengan kemampuan mereka
menakhlukkan kota Sirte. Sebuah kota pesisir di Libya bagian tengah dan
merupakan tempat kelahiran mendiang Presiden Khadafi. Di Mesir, militan
pimpinan Abu Bakar AlBaghdadi juga gemar melakukan serangkaian serangan
teror ke basis militer dan kepolisian Mesir. Insiden bom bunuh diri di
markas militer El Arish, Semenanjung Sinai awal tahun ini yang
menewaskan 25 tentara Mesir dan seorang polisi membuktikan betapa
berbahayanya kelompok ini. Di Afghanistan, ISIS dikabarkan mulai
melakukan perekrutan dan pelatihan militan. Meski pengaruh ISIS di
negara bekas jajahan Soviet ini belumlah signifikan, akan tetapi cukup
mengkhawatirkan. Bukan saja mengancam kelangsungan pemerintah yang sah,
tapi juga berpotensi menggusur pengaruh Taliban. Surat ancaman Taliban
yang ditujukan ke ISIS agar kelompok ini tidak sembarangan masuk
Afghanistan baru baru ini menjadi bukti atas kekhawatiran itu. Dan demi
membendung pengaruh ISIS di Afghanistan, militan Taliban dikabarkan
sedang menjalin kontak dengan Iran. Iran dikabarkan membantu Taliban
membuka sejumlah kamp pelatihan militer, menyalurkan gaji pada tentara
Taliban serta mengijinkan kelompok itu membuka kantor perwakilannya di
kota Mashhad, Iran timur.
Meski di luar negeri ISIS tampak
menjadi organisasi dengan perkembangan cepat, tetap saja yang paling
menjadi buah bibir adalah eksistensi mereka di Suriah dan Irak.
Kekuasaan ISIS di dua area ini jika dipetakan terentang hampir separuh
wilayah Irak, terutama bagian barat, hingga separuh wilayah Suriah di
sisi timur. Di Irak, ISIS mengontrol Mosul dan kota-kota di sepanjang
Sungai Efrat. Kejatuhan kota terbesar kedua Irak tersebut serta kota
Ramadi yang tampak sangat mudah, bahkan dikabarkan tanpa banyak
memuntahkan peluru mengundang keheranan banyak pihak. Operasi militer
yang sangat cepat dan terukur semacam ini mustahil sukses tanpa mendapat
dukungan dari publik setempat. Itu artinya pengaruh ISIS sudah sangat
mengakar di masyarakat. Bukan itu saja, pemerintah Irak menuding adanya
pembelotan dari para komandan yang bertanggung jawab mengamankan wilayah
itu.
Sementara di Suriah, ISIS tampak tak tergoyahkan
mengontrol bagian timur negeri ini. Mereka menguasai kota Raqqa, Deir
Ezzur, dan beberapa wilayah bagian utara dan selatan Suriah. Berbeda
dengan situasi di Irak, dimana konfrontasi fisik lebih banyak terjadi
antara tentara dan sukarelawan pemerintah Irak, di Suriah, pemerintah
Damaskus tampaknya tidak terlalu memfokuskan diri menghadapi ISIS.
Tentara Suriah hanya sesekali melakukan konfrontasi dengan ISIS manakala
kelompok ini mencoba merangsek ke wilayah yang selama ini berada dalam
kontrol militer Suriah. Pertarungan ISIS di Suriah justru lebih banyak
terjadi antara mereka dengan kubu pemberontak Suriah juga dengan
balatentara Kurdi.
Loyalis Saddam di Balik ISIS
Seperti
yang kami kutip melalui media CNN Indonesia, salahsatu mentor spiritual
pemimpin Alqaeda Irak Abu Mushab Azzarqawi, yakni Abu Muhammad Al
Maqdishi mengatakan bahwa sebelum mengambil Suriah dan Irak, ISIS sudah
terlebih dulu menyapu bersih rival rival seideologi mereka. Mereka yang
mendeklarasikan Front Nusra (salahsatu faksi pemberontak Suriah), meski
pada akhirnya kelompok ini dianggap membelot dari Alqaeda. ISIS menang
berkat dukungan para loyalis Saddam yang tersingkir dari kekuasaan pasca
jatuhnya sang diktator.
Setelah jatuhnya Saddam Husein,
Partai Baath yang merupakan partai politik terkuat kala itu divonis
sebagai partai terlarang. Banyak sekali pendukung partai Baath yang
tersingkir dari posisinya. Baik di pemerintahan maupun militer. Mereka
yang tidak puas atas pemerintahan Irak yang baru kemudian berkolaborasi
dengan para militan Irak. Bahkan diduga, ISIS dibentuk oleh para loyalis
Baath. Sebuah dokumen setebal 31 halaman milik Haji Bakar berisi
blueprint pembentukan organisasi ISIS ditemukan setelah kematiannya.
Haji Bakar sendiri diketahui bernama asli Shamir Abd Muhammad
Alkhlifawi. Ia adalah bekas kepala intelejen angkatan udara era Saddam
Husein. Bukti lain tentang siapa yang berada dibalik ISIS juga terkuak
manakala tentara Irak melakukan operasi militer membebaskan Tikrit. Di
kota kelahiran Saddam ini militer Irak berhasil menewaskan salahsatu
otak ISIS bernama Izzat Ibrahim Al-Douri. Seperti halnya Haji Bakar,
Al-Douri adalah bekas pejabat tinggi era Saddam dengan posisi deputi
presiden.
Kehadiran loyalis Saddam di kubu ISIS inilah
yang menjadikan ISIS begitu luar biasa kuat. Pengalaman tempur,
pemahaman akan medan dan kematangan intelejen merekalah yang menjadikan
ISIS begitu mudah menguasai wilayah Irak maupun Suriah. Ditambah dengan
agitasi ISIS yang menggunakan isu keagamaan serta fakta lapangan dimana
posisi kaum Sunni yang cenderung diabaikan pemerintah, praktis gerak
laju ISIS semakin tak terbendung. Di tataran elite, barangkali ini hanya
sekedar pertarungan merebut kekuasaan, akan tetapi di akar rumput,
mereka memahami ini sebagai pergulatan klasik antara Islam Sunni dan
Syiah.
Maka, tidak heran jika kemudian banyak sekali
wilayah yang notabene basis kaum Sunni jatuh ke tangan ISIS. Di Mosul
dan Ramadi, dimana kebanyakan tentara Irak berlatar belakang sunni,
ketika tentara ISIS datang, mereka lebih memilih melarikan diri dan
menyerahkan begitu saja kota pada ISIS. Bagi sebagian kaum sunni, lebih
baik ditindas ISIS yang sunni daripada ditindas tentara Irak yang pro
Syiah.
Sukarelawan Syiah dan Tentara Kurdi, momok paling ditakuti ISIS
Seperti
yang kami singgung diatas, lemahnya mental bertarung tentara Irak
salahsatu penyebabnya adalah masih kuatnya sentimen keagamaan diantara
mereka. Ini yang akhirnya membuat pemerintah Irak mengambil keputusan
pahit dengan mengajak kerjasama milisi Syiah Hashed Al-Shaabi (Brigade
Mobilisasi Rakyat) demi membendung pengaruh ISIS. Hal yang sama juga
dilakukan pemerintah Suriah. Demi mengamankan kekuasaannya, Bashar
mengundang ribuan tentara Hizbullah untuk bertempur melawan pemberontak.
Kehadiran milisi-milisi Syiah ini oleh pemerintah Irak dianggap lebih
efektif daripada sekedar mengandalkan tentara resminya. Ini terbukti
dalam operasi militer yang digelar di kota Tikrit pada akhir maret lalu.
Dukungan penuh dari kelompok Hashed Shaabi pada tentara Irak
benar-benar membuat ISIS terpaksa mundur dari kota itu. Nasib serupa
sepertinya juga bakal menimpa ISIS di kota Ramadi. Hingga artikel ini
ditulis, tentara Irak yang dibantu sukarelawan syiah, beberapa kelompok
sunni dan milisi kesukuan sedang mempersiapkan diri merebut kota
tersebut dari cengkeraman ISIS.
Jika taktik pemerintah
Irak dalam mengalahkan ISIS di wilayah-wilayah sunni lebih banyak
menggunakan tangan milisi Syiah, hal berbeda terjadi di Irak bagian
utara. Operasi militer di Mosul misalnya, pemerintah Irak lebih banyak
mengandalkan kemampuan tentara Kurdi (Peshmerga) guna mengusir ISIS.
Sejauh ini usaha ini cukup berhasil. Satu demi satu kota-kota di utara
yang sebelumnya dikuasai ISIS kembali direbut tentara Irak dengan
dukungan Peshmerga.
Hal yang sama terjadi juga di Suriah.
ISIS lagi-lagi mesti menelan pil pahit ketika berhadapan dengan tentara
Kurdi Suriah YPG (Patriot Pelindung Rakyat). Mundurnya ISIS dari Kobane
adalah bukti bahwa ISIS tidak berdaya menghadapi kemahiran bertempur
suku Kurdi. Di kota perbatasan antara Suriah dan Turki ini ISIS tidak
hanya mengalami kekalahan telak, tapi juga kehilangan ribuan anggotanya.
Berita terakhir menyebut, milisi Kurdi bahkan sudah hampir mencapai
kota Raqqa (ibukota ISIS).
Ada cerita menarik tentang
kekalahan ISIS di utara Suriah. Tentara Kurdi ternyata tidak hanya
melibatkan kaum laki-laki dalam memerangi ISIS. YPG memiliki brigade
khusus yang semua anggotanya adalah wanita. Menurut sumber Kurdi,
pasukan ISIS memiliki keyakinan bahwa mereka akan masuk surga jika mati
dalam perang melawan laki-laki. Karena keyakinan itulah YPG kemudian
menempatkan pasukan wanitanya di garda terdepan.
![]() |
Tentara Wanita Kurdi (youtube.com) |
Terakhir,
kehadiran milisi Kurdi dan Syiah dalam perang di Irak maupun Suriah
saat ini mungkin menjadi solusi dalam menangkal pengaruh ISIS. Akan
tetapi untuk beberapa hal juga menyimpan kekhawatiran lain. Menguatnya
pengaruh bangsa Kurdi bagi pemerintah Irak, Suriah dan Turki bisa jadi
akan menimbulkan ancaman di masa depan. Niat bangsa Kurdi untuk
mendirikan negara sendiri tentu akan menjadi duri dalam daging bagi
mereka. Begitupun dengan keterlibatan anasir sektarian semisal milisi
Syiah dalam konflik ini. Dalam jangka panjang tentu akan makin
menyuburkan perselisihan sektarian antara kaum sunni dan syiah.
Penulis : Hafidz Atsani
Tidak ada komentar