Breaking News

Tafsir atas Hukum Murtad dalam Islam

Oleh Abdul Moqsith Ghazali


Abstrak
Bahasan murtad hampir merata di seluruh korpus atau karya mengenai hukum Islam, baik dulu maupun sekarang. Konsep murtad itu kini menghadapi tantangan serius di tengah masyarakat yang mendukung kebebasan beragama. Masyarakat modern cenderung berpendirian bahwa pilihan seseorang untuk masuk pada suatu agama atau keluar dari agama adalah soal privat yang tak boleh diintervensi otoritas apapun. Sementara fikih Islam terutama yang mainstream lebih banyak mengkriminalkan orang murtad. Membuka seluruh argumen yang menyertai konsep murtad adalah keniscayaan. Tak mungkin ada pandangan tunggal dalam memaknai murtad. Ada beberapa ayat Alquran yang bicara murtad, tapi ada beragam tafsir murtad yang dikemukakan para ulama. Ada ulama yang mengkriminalkan orang murtad dengan merujuk suatu hadis, tapi ada juga ulama yang menolak berhujjah dengan hadis tersebut.

Pendahuluan 
Tak sedikit orang yang berpandangan bahwa masuk dan keluar dari suatu agama adalah hak privat yang melekat pada setiap orang. Tak ada otoritas di luar diri seseorang  yang boleh memaksa orang lain untuk menetap dalam suatu agama atau keluar dari suatu agama. Dengan perkataan lain, setiap manusia bebas dan merdeka untuk memilih suatu agama atau keluar dari suatu agama. Itu sebabnya, dalam masyarakat modern, kita kerap menyaksikan fenomena sekelompok orang yang dalam hidupnya berkali-kali melakukan migrasi dari satu agama ke agama lain. Bahkan, dalam beberapa kasus, satu rumah keluarga dihuni oleh anggota keluarga yang berlainan agama. Pendeknya, berpindah-pindah agama telah menjadi kecenderungan sebagian masyarakat modern.
Namun, dalam kasus Islam, soal pindah agama itu bukan perkara sederhana. Banyak ulama memandang negatif terhadap orang pindah agama. Menurut mereka, orang lain bebas masuk ke dalam Islam. Tapi, orang Islam tak bebas untuk keluar dari Islam. Orang yang keluar dari Islam (murtad) dianggap pelaku kriminal yang hukumannya adalah bunuh. Sejumlah ayat Alquran atau hadits Nabi dihadirkan untuk menunjukkan bahwa tindakan keluar dari Islam tak dikehendaki Allah dan rasul-Nya, bahkan pelakunya layak dihukum bunuh atau hukum mati. Hadits yang sering dirujuk adalah man baddala dinahu faqtuluhu (barangsiapa pindah agama, maka bunuhlah). Dengan hadits ini sejumlah ulama hendak memperlakukan “pindah agama” sebagai tindakan kriminal, sehingga pelakunya layak diganjar dengan hukuman berat bahkan hingga hukuman mati seperti dikehendaki teks hadits tersebut. Untuk mengukuhkan pandangan itu, bukti-bukti pembunuhan orang murtad mulai zaman Nabi hingga abad pertengahan ditunjukkan. Lalu disimpulkan bahwa membunuh orang murtad adalah keharusan doktrinal.

Pandangan seperti itu dikritik sejumlah pemikir Islam kontemporer karena dianggap tidak fair; pintu terbuka ketika orang lain masuk ke dalam Islam, tapi tertutup ketika orang Islam hendak keluar dari Islam. Dengan perkataan lain, Islam hanya menyediakan pintu masuk dan tak mempersiapkan pintu keluar. Dengan merujuk pada ayat lā ikrāha fi al-din, mereka berkata bahwa setiap orang bebas untuk memeluk suatu agama. Seseorang tak boleh dipaksa untuk memeluk agama, termasuk untuk memeluk Islam. Jaudat Said, Jamal al-Banna, Abdul Karim Soroush berpendapat bahwa kebebasan beragama adalah dasar ajaran yang diperjuangkan Islam. Para pemikir Islam progresif berpendapat bahwa sebagaimana bebas untuk memeluk suatu agama, maka seharusnya bebas juga untuk keluar dari suatu agama. Fikih seperti ini memberi otonomi penuh kepada manusia untuk memilih suatu agama atau keluar dari agama itu.     

Artikel ini akan berfokus pada bagaimana pandangan para ulama (dulu dan sekarang) tentang murtad dalam Islam? Bagaimana tafsir ulama terhadap penerapan hukum bunuh bagi orang murtad? Dalam kaitan itu, secara deskriptif-analitis, artikel ini akan mengkaji dasar-dasar normatif Islam seperti Alquran dan hadis terkait orang murtad, lalu bagaimana ulama menafsirkannya dalam buku-buku tafsir dan fikih. Ujungnya, bagaimana meletakkan tafsir-tafsir tersebut dalam konteks negara modern yang menjamin kebebasan beragama seperti Indonesia.

Tafsir atas Murtad dalam Alquran dan Hadis 
Murtad dengan semua kata derivatnya tercantum dalam Alquran. Ia biasanya dipakai untuk orang yang mengganti keimanan dengan kekafiran, dari beragama Islam lalu keluar dari Islam menjadi Yahudi, Nashrani, dan lain-lain. Sekurangnya ada tiga ayat Alquran yang menunjuk soal murtad ini. Yaitu: Pertama, Q.s. al-Ma’idah [5]: 54

“Hai orang-orang beriman, barang siapa di antara kalian murtad dari agamanya, maka Allah kelak akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin, dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”

Shihab al-Din al-Alusi mencoba mencari korelasi ayat ini dengan ayat sebelumnya. Menurutnya, setelah pada ayat sebelumnya Allah melarang umat Islam menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai awliyā’, maka pada ayat ini Allah menegaskan bahwa sekiranya larangan itu dilanggar, maka pelakunya akan terjatuh pada kemurtadan. Al-Alusi berkata bahwa konsistensi mereka menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai awliyā’ menyebabkan mereka murtad (anna muwālātihim mustad’iyatun li al-irtidād `an al-din). Pendapat ini juga dikemukakan Fakhr al-Din al-Razi; bahwa barangsiapa yang menjadikan orang-orang kafir sebagai “wali”nya, maka ia telah murtad dari agamanya (man yatawallā minkum al-kuffār fayartaddu `an dīnihi).

Pendapat al-Alusi ini paralel dengan pendapat M. Quraish Shihab ketika ia berkata bahwa sanksi yang timbul akibat pelarangan tersebut, yaitu kemurtadan. Ayat ini, demikian M. Quraish Shihab, memperingatkan: Hai orang-orang yang beriman, siapa yang mengangkat non-muslim sebagai awliya’, maka itu dapat menjadikan yang bersangkutan murtad, keluar dari Islam dan barang siapa di antara kalian murtad dari agamanya, walau dalam bentuk rahasia dengan memusuhi para wali Allah dan mencintai musuh-musuh-Nya, maka kelak walau tidak segera Allah akan mendatangkan suatu kaum yang bertolak belakang keadaannya dengan mereka itu sehingga Allah mencintai mereka dengan melimpahkan aneka karunia-Nya dan mereka pun mencintai-Nya sehingga selalu berupaya mendekat kepada-Nya dengan amal-amal kebajikan. Mereka bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, dan bersikap tegas, kuat pendirian, dan tidak menoleransi dalam hal-hal prinsip terhadap orang-orang kafir. Mereka itu terus-menerus berjihad di jalan Allah, tanpa pamrih dan tanpa jemu, dan mereka tidak takut kepada satu celaan apapun dari pencela, walaupun celaan itu sangat buruk. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Karena itu, berlomba-lombalah meraih anugerah itu dan Allah Maha Luas anugerah-Nya lagi Maha Mengetahui.         

Namun, M. Quraish Shihab tak menjelaskan tentang siapa yang akan dicintai Allah dan akan mendapatkan sejumlah karunia itu. Menurut M. Quraish Shihab, Allah tak menyebut siapa mereka sehingga tidak wajar sekiranya kita menetapkan siapa mereka itu. Kalau hanya untuk mengisyaratkan, maka tidak keliru, menurut M. Quraish Shihab, jika kita merujuk pada sejarah Islam untuk menemukan siapa yang telah membela Islam dalam perjalanan sejarahnya yang panjang itu. Lalu M. Quraish Shihab menyebut nama Abu Bakar yang gigih membendung gerakan kemurtadan dan pemurtadan dalam periode awal Islam. Ia juga menyebut orang-orang yang berperang dalam perang Salib, mereka yang membendung serangan Tartar. Bahkan, M. Quraish Shihab tak ragu menyebut orang-orang yang membendung kelompok komunis sebagai orang-orang yang masuk dalam pengertian ayat ini. 

Para mufassir memang berbeda di dalam menentukan siapa sekelompok orang istimewa itu. Di samping Sahabat Abu Bakar dan kelompoknya, ada juga ulama yang berkata bahwa sekelompok orang istimewa itu adalah Salman a-Farisi dan orang-orang Persia. Yang lain berkata, mereka itu adalah Abu Musa al-Asy`ari dan orang-orang Yaman lain yang dikenal berhati baik dan lembut. Ada juga yang berkata, mereka itu adalah orang-orang Anshar. Thabathabai mengutip pendapat yang mengatakan bahwa mereka itu adalah Ali ibn Abi Thalib dan para pengikutnya. Pendapat ini disetujui Thabathabai setelah ia merujuk pada hadits dimana Nabi berkata, “sungguh saya akan memberikan bendera ini pada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan Allah dan Rasul-Nya pun mencintai dia” (lau`ṭiyanna al-rāyaṯ ghādan yuḥibbu Allāh wa rasūluhu wa yuḥibbuhu Allāh wa rasūluhu). Lalu Rasullah menyerahkan bendera itu pada Ali ibn Abi Thalib. Muḥammad Rashīd Riḍa mengutip suatu pendapat yang mengatakan bahwa pengertian ayat tersebut mencakup kepada setiap orang yang memenuhi ciri-ciri yang terkandung dalam ayat itu (anna al-āyaṯ taṣduqu fī kulli man ittaṣafa bi mamunihā).

Sementara tentang pengertian ayat ini, Ibn Jarīr al-Ṭabari berkata orang-orang Islam yang kembali kepada agama lamanya seperti Yahudi dan Nashrani, maka itu tak akan berdampak buruk pada Allah (falan yaḍurra Allāh Shai’ā). Alih-alih memberikan keburukan, Allah justru akan mendatangkan sekelompok orang yang mencintai Allah dan mereka pun mencitai-Nya (yuhibbuhum Allāh wa yuhibbuna Allāh). Setelah terjadi kemurtadan dimana-mana pasca wafatnya Rasulullah, maka Allah membangun kekuataan dengan menghadirkan orang-orang penuh istimewa itu. Dikisahkan Qatadah, seperti dinukil Ibn Jarīr al-Ṭabari, bahwa ayat ini turun sebagai alarm bahwa kelak setelah Rasulullah wafat akan muncul kemurtadan yang merata di seluruh Arab. Pada zaman kekhalifahan Abu Bakar, sebagian umat Islam misalnya hanya mau mendirikan salat dan tak mau mengeluarkan zakat. Atas itu, Abu Bakar memerangi mereka karena mereka dianggap telah menceraikan salat dari zakat. Abu Bakar berkata, “Demi Allah, aku tak akan memisahkan sesuatu yang dipersatukan Allah” (wallāhi la ufarriqu bayna shai’in jama`a Allāh baynahuma).

Shihab al-Din al-Alusi, Jamāl al-Dīn al-Qāsimi, Muhammad Rashid Rida, Fakh al-Din al-Razi menyebut sebelas kelompok murtad. Tiga kelompok pada zaman Nabi Muhammad, yaitu Banu Mudlaj di Yaman yang dipimpin Dzu al-Himar yang mengaku menjadi nabi, Banu Hanifah (pengikut Musailamah al-Kadzdzab ibn Habib), dan Banu Asad (pengikut Thulaihah ibn Khuwailid). Tujuh kelompok orang murtad pada zaman Abu Bakar al-Shiddiq, yaitu Fazarah (pengikut `Uyaynah ibn Hashin), Ghathafan (pengikut Qurrah ibn Salamah al-Qusyairi), Banu Salim (pengikut al-Faja’ah ibn Abdi Yalail), Banu Yarbu (pengikut Malik ibn Nuwairah), sebagian bani Tamim (pengikut Sajjah binti al-Mundzir yang mengaku menjadi nabi), Kanidah (pengikut al-Asy’ats ibn Qais, Banu Bakar ibn Wa’il di Bahrain (pengikut al-Hatham ibn Zaid). Dan satu kelompok murtad pada zaman Khalifah Umar ibn Khattab, yaitu Ghassan (pengikut Jibillah ibn al-Ayham yang kembali menganut Nashrani, pindah ke Syam dan mati dalam keadaan murtad).

Kedua, ayat yang membicarakan soal murtad adalah Q.s. al-Baqarah [2]: 217:

“Barangsiapa yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.

Ayat ini, dalam tafsir Jamal al-Din al-Qasimi, menyasar orang Islam yang kembali kepada kekafiran (yarji`ūna `an dinikum al-islām ilā al-kufr). Muḥammad Rashīd Riḍa lebih lanjut menyatakan bahwa ayat ini hendak menegaskan bahwa begitu seseorang memilih menjadi kafir dengan meninggalkan agama Islam, maka seluruh amal ibadah yang dilakukan ketika menjadi muslim akan batal dan terhapus secara keseluruhan. Ia mengutip pendapat sebagian ahli fikih yang berkata bahwa amal kebaikan orang Islam yang memilih murtad hilang tak tersisa. Sehingga ketika yang bersangkutan kembali menjadi muslim, maka wajib baginya mengulang ibadah haji yang telah dilakukan sebelum murtad (yajibu `alaihi i`adāṯ naḥwi al-ḥajj idha raja`a ilā al-islām). Bukan hanya itu; ketika si murtad telah diceraikan dari istrinya lalu ingin kembali pada Islam dan ruju’ pada istrinya, maka wajib baginya untuk menjalani akad nikah baru. Sementara menurut Ibn jarir al-Thabari, ayat ini hendak menegaskan bahwa jika orang murtad meninggal dunia tanpa sempat bertaubat dan kembali pada Islam, maka batallah seluruh amal ibadah yang pernah dilakukannya ketika menjadi muslim. Hal yang sama juga dikatakan Syihabuddin al-Alusi bahwa orang yang mati dalam keadaan murtad, maka amal ibadah yang dilakukan ketika Islam seperti tak pernah ada (ṣarat a`māluhum al-ḥasanah allati `amilūha fi ḥalah al-islām fāsidaṯ bi manzilati mā lam takun).

Secara semantik, M. Quraish Shihab mencoba menelusuri akar kata ayat  itu. Menurutnya, ayat ini menggunakan kata “ḥabiṭat” untuk menunjuk kesia-siaan amal orang murtad. Sihihab menegaskan bahwa kata tersebut pada mulanya untuk menjelaskan sesuatu yang konkret dan  duniawi; misalnya untuk binatang yang ditimpa penyakit akibat menelan sejenis tumbuhan yang mengakibatkan perutnya kembung yang berdampak pada kematiannya. Hal yang sama dikemukakan al-Qurṭubī dalam al-Jami’ li Ahkām al-Qur’ān; al-habat adalah penyakit yang menimpa binatang ternak karena terlalu banyak memakan sejenis rumput yang menyebabkan perutnya kembung (bengkak) dan tak jarang mengantarkannya pada kematian (al-habat huwa fasād yalḥaqu al-mawāshiya fi butunihā min kathrati aklihā al-kalā’ fatantafikhu ajwafuhā warubbamā tamūtu min dhālika).

Dari luar, binatang yang mengidap penyakit itu tampak gemuk dan sehat, tetapi gemuk yang seakan mengagumkan itu hakikatnya adalah penyakit yang meyebabkan dagingnya membengkak atau penyakit tumor yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidupnya. Menurut M. Quraish Shihab, demikian juga amal orang-orang kafir (murtad). Selintas amal-amal mereka tampak baik, tetapi sebenarnya amal-amal itu “ḥabiṭat” sehingga yang bersangkutan akan menjadi seperti binatang yang memakan sejenis tumbuhan yang mematikan tersebut. Lebih lanjut M. Quraish Shihab, melalui ayat ini, berkata bahwa akibat dan dampak yang akan diterima orang murtad adalah kesia-siaan amal mereka dan kekekalan mereka di neraka. Kata Fakhr al-Din al-Razi, jika keterhapusan amal akibat kemurtadan, maka kekekalan di neraka adalah akibat mati dalam keadaan murtad. Lepas dari itu, al-Qurṭubī mengatakan, ayat ini sebenarnya ingin memberi ancaman agar umat Islam tetap berada dalam Islam (fa al-ayāt tahdīd li al-muslimīn li yuthabbitū `ala dīni al-islām). Pendapat serupa dengan al-Qurṭubī ini dikemukakan Ṭabaṭaba’i dalam al-Mizān fī Tafsīr al-Qur’ān.

Ketiga, ayat yang membicarakan soal murtad adalah Q.s. Muhammad [47]: 25:

“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka”.

Al-Qurṭubī dalam al-Jāmi` li Aḥkām al-Qur’ān, mengutip pendapat Ibn Juraij yang menafsirkan murtad dalam ayat ini bukan sebagai orang yang keluar dari Islam. Ia menafsirkan murtad di situ dengan sekelompok orang-orang Ahli Kitab yang mengingkari kenabian Muhammad SAW padahal mereka sudah mengetahui sifat dan keperibadian Muhammad SAW. Al-Qurṭubī juga mengutip pendapat Ibn Abbas, al-Dhahhak dan al-Suddi yang yang mengartikan murtad dalam ayat itu dengan orang-orang munafik yang tak mau berperang padahal mereka tahu tentang kewajiban berperang itu dari Alquran.

Pendapat Ibn Abbas itu juga dikutip Shihāb al-Dīn al-Alūsī dalam Ruḥ al-Ma`ānī, bahwa ayat di atas turun sebagai respons terhadap orang-orang yang telah menyatakan masuk Islam, tapi dalam hatinya masih mengingkari Islam. Al-Alusi juga mengutip pendapat Qatadah yang berkata bahwa sasaran ayat itu adalah orang-orang Ahli Kitab yang mengetahui diutusnya Muhammad sebagai nabi melalui kitab suci mereka, yaitu Taurat dan Injil, tapi mereka tetap mengingkari kenabian Muhammad SAW. Pendapat serupa dikemukakan Fakhr al-Din al-Razi. Menurut al-Razi, yang ditunjuk ayat ini adalah orang-orang Ahli Kitab yang mengingkari kenabian Muhammad sekalipun mereka telah lama tahu itu melalui kitab suci mereka. Pendapat semua mufassir ini tampaknya dirujukkan pada Ibn Jarīr al-Ṭabari yang mengutip pendapat Qatadah itu.

Beragam kitab tafsir itu menunjukkan bahwa tak ada ulama yang berkata bahwa yang dimaksudkan dengan murtad dalam ayat itu bukanlah orang yang keluar dari Islam, melainkan orang-orang munafik--yang mulutnya mengaku Islam tapi hatinya mengingkari Islam-- dan Ahli Kitab yang memilih mengingkari kenabian Muhammad sekalipun mereka mengetahui kebenaran berita itu melalui kitab suci mereka. Dari penjelasan itu bisa ditangkap satu pengertian, sekurangnya melalui tafsir ayat ini, bahwa murtad tak hanya diperuntukkan buat orang-orang yang keluar dari Islam melainkan juga untuk sebagian Ahli Kitab yang mengingkari kenabian Muhammad SAW dan orang-orang munafik yang tak sungguh-sungguh dalam ber-Islam.

Lepas dari beragam penafsiran tersebut, Akram Riḍā dalam  al-Riddaṯ wa al-Hurriyyaṯ al-Dīniyyaṯ, berkata bahwa tak ada sanki hukum dunia yang jelas dan tegas bagi orang murtad, tak seperti jelas dan tegasnya sanksi hukum bagi pelaku pencurian, zina, dan qadzf (lā tarid āyaṯ fī al-Qur’ān fīhā bayān li `uqūbaṯ al-murtad fī al-dunyā illā al-talmīh bi anna lahum `adhāban `alīman fī al-dunyā wa al-akhiraṯ. Falam yarid fīhā hadd manṣūṣ `alaihi fī al-Qur’ān kamā naṣṣa a al-Qur’ān `ala hadd al-sariqaṯ wa al-zinā wa al-qadhz). Dengan perkataan lain, Alquran tak menyebut sanksi hukum duniawi bagi orang murtad. Al-Qur’an menjatuhkan hukum duniawi hanya kepada beberapa jenis kriminal terutama yang berkaitan dengan tindakan merugikan orang lain, seperti pembunuhan, pencurian, zina, menuduh zina tanpa bukti (qadhf), dan tindakan makar/terorisme (ḥirābaṯ). Tiadanya sanksi hukum duniawi bagi murtad itu sama dengan tiadanya sanksi hukum duniawi bagi orang Islam yang meninggalkan salat, tak berpuasa, tak mengeluarkan zakat, meminum khamr, tak menutup aurat, dan lain-lain. Alih-alih mengkriminalkan orang murtad, syirik yang dianggap sebagai dosa terbesar dan tak terampuni itu tak disebutkan sanksi hukum duniawinya dalam Alquran.

Sekiranya mengacu pada tiga ayat Alquran di atas an sich, kesimpulan itu tak keliru. Bahwa menurut Alquran, tak ada sanksi hukum dunia yang bisa dikenakan kepada orang murtad. Namun, bagi sebagian besar ulama, bersandar pada Alquran saja tidak cukup. Hadits dianggap sebagai hukum kedua yang berfungi untuk menjelaskan, mengelaborasi, memerinci sejumlah ketentuan umum dalam Alquran atau menjelaskan sesuatu yang belum diatur dalam Alquran. Dalam kasus murtad, ada hadis yang kerap menjadi rujukan. Hadis itu berbunyi, “man baddala dīnahu faqtulūhu” (barang siapa mengganti agamanya, maka bunuhlah). Dikisahkan dari Ikrimah bahwa Ali ibn Abi Thalib pernah membakar sekelompok orang. Berita pembakaran itu akhirnya sampai kepada Ibn Abbas. Lalu Ibn Abbas berkata, “seandainya aku, maka aku tak akan membakar mereka karena Nabi Muhammad pernah bersabda “janganlah mengazab dengan azab Allah” (lā tu`adhdhibū bi `adhāb Allāh) dan saya lebih memilih untuk membunuh mereka, sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad SAW, “man baddala dīnahu faqtulūhu” (barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah).

Dengan redaksi berbeda, diriwayatkan Imam Malik; dari Zaid ibn Aslam bahwa Rasulullah bersabda, “man ghayyara dīnahu faḍribū `unuqahu” (barang siapa mengubah agamanya, maka pukullah lehernya (bunuhlah). Maksud hadis ini, menurut Imam Malik, bahwa barangsiapa keluar dari Islam dan berpindah ke yang lain misalnya menjadi kafir zindiq, maka hukuman yang pantas baginya adalah hukum bunuh. Menurut Imam Malik, hadis ini tak berlaku bagi orang Yahudi yang pindah ke Kristen atau sebaliknya.

Hadis yang memerintahkan pembunuhan orang murtad itu, menurut Jawdat Sa’īd, perlu dianalisa terutama dari sudut kredibiltas dan integritas perawinya. Pertama, hadis itu hanya diriwayatkan Abdullah ibn Abbas lalu ke Ikrimah baru kemudian menyebar ke yang lain. Akram Rida mengutip pernyataan sejumlah Sahabat atau ulama yang menceritakan kebohongan Ikrimah. Misalnya, Ibn Umar pernah berkata kepada Nafi`, “bertakwalah kepada Allah. Celakalah jika engkau mendustakan aku sebagaimana Ikrimah berdusta tentang Ibn Abbas”. Kedua, salah satu rantai perawi hadis itu adalah Muhammad ibn al-Fadl al-Sadusi. Perawi ini dianggap memiliki intelektualitas rendah. Ia dikisahkan pikun. Cacat pada dua perawi inilah yang menyebabkan kualitas hadis “man baddala dīnahu faqtulūhu” menurun drastis. Hadis itu tak sampai derajat mutawatir, melainkan hadis aḥād.

Namun, penting diketahui bahwa hukum bunuh bagi orang murtad itu tak hanya bersandar pada hadis “man baddala dīnahu faqtulūhu”, melainkan juga pada hadis-hadis lain. Misalnya, dikisahkan, Rasulullah pernah mengirim Abu Musa ke Yaman. Selang beberapa waktu, Rasulullah mengirim Mu`adh ibn Jabal ke tempat yang sama. Sampai di lokasi, Mu`adh dipertemukan dengan seorang laki-laki. Mu’adz bertanya, “siapa laki-laki itu?”. Dijelaskan, pada mulanya laki-laki itu beragama Yahudi, lalu masuk Islam, beberapa waktu kemudian ia kembali beragama Yahudi. Mu’adz berkata, “saya tak akan turun dari pelana unta ini hingga ia dibunuh sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya”. Atas dasar itu, maka dibunuhlah si laki-laki tersebut setelah sebelumnya diberi kesempatan bertaubat selama dua puluh hari, ada yang menyebut dua bulan.

Berdasarkan itu, Akram Riḍā berkesimpulan bahwa hukum bunuh bagi orang murtad tak hanya dinaskan (manṣuṣ) dalam hadis, melainkan juga diterapkan para Sahabat Nabi. Jika Alquran tak menentukan sanksi hukum bagi murtad, maka melalui hadits-hadis itu diketahui bahwa Nabi lah yang menciptakan hukum; membunuh orang murtad. Mengapa? Dengan membaca sejarah kita tahu bahwa pembunuhan terhadap orang murtad bukan hanya karena dia murtad, melainkan (terutama) karena mereka menyebarkan kebencian dan permusuhan terhadap Islam. Dikecualikan dari itu, ialah orang yang murtad karena dipaksa. Menurut al-Ahwadhi, sebagaimana dikutip Akram Riḍā, orang yang pindah agama karena sebuah tekanan atau paksaan tak dihukum bunuh.

Dari penjelasan-penjelasan itu, Jamal al-Banna berkata bahwa Alquran memang tak memberikan sanksi hukum bunuh terhadap orang murtad. Hukuman mati bagi orang murtad ini hanya ada dalam hadis dan tidak dalam Alquran. Persis di sini, bisa dikatakan hadis telah melampaui Alquran. Tak sedikit ulama yang berpendapat bahwa hadis tak boleh melampaui apalagi bertentangan dengan Alquran. Dengan perkataan lain, Nabi tak diberi otoritas untuk menciptakan hukum baru, hukum mana tak tercantum dalam Alquran. Tak ada hukum ektra-Qur’anik yang bisa diciptakan Nabi Muhammad. Artinya, jika Allah tak menentukan sanksi hukum dunia bagi orang murtad, maka tak perlu bagi Nabi Muhammad untuk membuat hukum baru; menghukum mati orang murtad.

Seperti ingin keluar dari kerumitan hadis-hadis murtad tersebut, M. Quraish Shihab berkata bahwa sekalipun ada hadis yang berkaitan dengan larangan pindah agama, maka hadis-hadis itu harus dilihat sebagai bentuk kebijaksanaan di dalam menata suatu masyarakat. Sebab, boleh jadi itu berlaku untuk masyarakat tertentu dan tidak untuk masyarakat lain. Bahkan, sekiranya itu merupakan kebijakan Nabi, maka kebijakan itu, demikian Shihab, harus dilihat dalam posisi Nabi sebagai apa; apakah sebagai Rasul, pemberi fatwa, sebagai hakim atau sebagai pemimpin masyarakat yang arah kebijakannya bisa berbeda-beda karena perbedaan situasi dan kondisi. Dengan pernyataannya ini, Shihab hendak menegaskan bahwa larangan pindah agama seperti diujarkan hadis itu bersifat kontekstual bukan universal, sehingga tak bisa menjadi patokan umum yang berlaku untuk semua situasi dan kondisi. Artinya, masih terbuka kemungkinan untuk menerapkan hukuman mati bagi orang murtad ketika kondisi dan situasinya sama dengan ketika hadis itu diujarkan. Namun, Shihab sendiri tak menjelaskan situasi-kondisi apa yang melatari kehadiran (sabab al-wurud) hadis tersebut. Ia juga tak menjelaskan, hadis itu dinyatakan Nabi dalam kapasitasnya sebagai apa; sebagai rasul, pemberi fatwa, pemimpin atau yang lain.

Tak semoderat M. Quraish Shihab, Jawdat Sa’īd secara tegas berkata bahwa hadis yang menyuruh membunuh orang murtad itu bertentangan dengan nas Alquran, yaitu “lā ikrāha fī al-dīn” (tidak ada paksaan dalam agama). Menurutnya, hadits “man baddala dinahu” itu tak bisa membatalkan Alquran yang menjamin kebebasan beragama. Lebih lanjut Jawdat Sa’īd mengatakan demikian,

“Saya berpendapat bahwa ayat “lā ikrāha fī al-dīn” adalah teks yang terang benderang mengharamkan pembunuhan orang murtad. Terlalu jelas bahwa turunnya ayat ini ialah untuk melarang pemaksaann agama. Memang hukuman mati bagi orang murtad cukup populer di banyak orang. Namun, walau telah populer tak berarti ia benar dan sah.  Ayat “lā ikrāha fī al-dīn” ini adalah ayat yang kukuh, kuat, dan jelas. Begitu juga, kontrak perdamaian yang dibuat Nabi dalam perjanjian Hudaibiyah. Saat itu, Nabi tak menyuruh orang Islam membunuh orang Musyrik Quraish. Saya mengakui bahwa panorama Islam penuh dengan pemikiran untuk membunuh orang murtad. Namun, panorama itu bukan sumber hukum. Begitu juga kepopuleran hukum mati bagi murtad tak cukup untuk menjadi kebenaran yang tegak dalam sejarah….  Sekiranya kami memulai dengan pendapat bahwa hadis tak bisa menghapus Alquran, maka selesailah permasalahan. Sebab, dalam Alquran tak ada hukum mati bagi orang murtad. Ini yang menjadikan hadis “bolehnya membunuh orang murtad” itu lemah dan jauh (dari kebenaran). Tambahan pula, perawi hadis itu tak menjelaskan tentang sebab, waktu, dan tempat kehadiran hadis tersebut. Sebab, boleh jadi ia hadir dalam kondisi dan peristiwa tertentu”.   

Berbeda dengan para ulama tradisional yang cenderung mengafirmasi hukuman mati bagi orang murtad, Jawdat Sa’īd keras menolak upaya kriminalisasi terhadap perkara pindah agama. Baginya, kebebasan beragama adalah nilai pokok dalam Islam yang keberadaannya tak bisa dibatalkan dengan argumen apapun. Tak ada otoritas yang boleh memaksa seseorang untuk masuk atau keluar dari suatu agama. Namun, pandangan Jawdat Sa’īd yang menolak hadis “man baddala dīnahu faqtulūhu” itu seperti berada dalam kesunyian di tengah gemuruh ulama fikih yang merujuk hadis tersebut. Bagaimana pandangan para ahli fikih tentang hukum murtad?

Murtad dalam Fikih Islam
Tak dibantah bahwa dari hadis yang memerintahkan membunuh orang murtad (man baddala dīnahu faqtulūhu) itu, para ahli fikih Islam, dari dulu hingga sekarang, terus melibatkan diri dalam pembahasan murtad. Zainuddin al-Malibari meletakkan pembahasan murtad setelah membahas soal jināyaṯ (pidana). Ini, menurut Shaṭa al-Dimyaṭi, karena riddah menjadi bagian dari tindakan kriminal. Bedanya, sekiranya membunuh orang merupakan tindakan kriminal terkait pidana atas jiwa (jināyaṯ bī al-nafsi), maka riddaṯ adalah jinayat terkait agama (jināyaṯ bi al-dīn). Begitu juga, beda dengan pelaku kriminal biasa, maka ketika orang murtad meninggal dunia, menurut Shata al-Dimyati, tak perlu dimandikan, dikafani, disalatkan, dan tak boleh dikuburkan di pekuburan umat Islam.

Beda dengan Alquran dan hadis yang tak menjelaskan pengertian murtad, maka fikih memberi pengertian, kriteria, dan batas-batas murtad. Bahkan, pengertian murtad dalam fikih demikian luas hingga orang-orang yang tak merespons ketika azan dikumandangkan dan tak mendengarkan tatkala Alquran dibacakan bisa digolongkan sebagai murtad. Zainuddin al-Malibari sebagaimana dielaborasi Shaṭa al-Dimyaṭi dalam I`ānaṯ al-Thālibīn, berkata bahwa kemurtadan tak hanya disebabkan oleh pengingkaran seseorang terhadap kemukjizatan Alquran melainkan juga oleh penolakannya pada satu huruf Alquran. Bahkan, penyangkalan seseorang terhadap posisi Abu Bakar al-Shiddiq sebagai Sahabat Nabi bisa mengantarkan yang bersangkutan pada kemurtadan. Yang menarik, Syi`ah Rafidhah memurtadkan Abu Bakar al-Shiddiq dan para pengikutnya karena dianggap telah merampas kekuasaan (kekhalifahan) yang mestinya diberikan kepada Ali ibn Abi Thalib.

Secara etimologi, murtad dimaknai para ahli fikih sebagai al-rujū` `an al-islām (berbalik dari Islam). Sedangkan secara terminologis, murtad diartikan Abdurraḥman al-Juzairī dalam al-Fiqh `alā al-Madhāhib al-Arba`aṯ, sebagai orang Islam yang memilih menjadi kafir setelah sebelumnya mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjalankan syariat Islam. Kemurtadan itu diungkapkan secara jelas (sharīḥ), misalnya, “usyriku bi Allah” (saya menyekutukan Allah).

Menurut Zakaria al-Anṣari, murtad adalah orang Islam yang memutus keberislamannya dengan kekufuran yang disengaja dengan maksud menghina, mengingkari dan membangkang. Namun, al-Anṣari mengingatkan, tindakan seseorang yang masih dalam lingkup ijtihad tak memurtadkan seseorang. Shaṭa al-Dimyaṭi berkata, hanya ijtihad yang bertentangan dengan naṣ qaṭ’i yang berdampak pada kemurtadan seseorang. Lalu al-Dimyaṭi mencontohkan, kelompok Mu`tazilah yang menyatakan bahwa Allah tak bisa dilihat dengan mata kepala adalah bagian dari ijtihad, sehingga Mu’tazilah tidak murtad. Begitu juga sufi seperti Abu Manshur al-Hallaj, Muhyiddin Ibn `Arabi, dan lain-lain yang membuat pernyataan-pernyataan tak lazim seperti “aku adalah Allah” tak dikategorikan murtad. Namun, Shaṭa al-Dimyaṭi tak bisa menoleransi perkataan penduduk Yamamah bahwa tak ada kewajiban beriman kepada Nabi setelah Nabi meninggal dunia dengan alasan syariat Nabi Muhammad telah selesai bersamaan dengan kewafatannya. Perkataan ini, demikian Shaṭa al-Dimyaṭi, jelas salah (baṭil qaṭ’an) dan mengantarkan para pengucapnya pada kemurtadan.

Al-Juzairi memerinci sejumlah hal yang menyebabkan kemurtadan seseorang, yaitu: [1]. Melempar atau membakar Alquran dengan niat meremehkan; membalik lipatan kertas Alquran dengan niat menghinakan adalah murtad; membuang buku-buku hadis bahkan buku-buku fikih dengan niat merendahkan syariat Islam; [2].  Memakai pakaian yang menjadi simbol orang kafir; [3]. Belajar ilmu sihir dan mengamalkannya, karena sihir berisi ungkapan pemuliaan-pengagungan  kepada selain Allah; [4]. Menyatakan bahwa alam ini adalah dahulu (qadim), karena ungkapan itu meniscayakan tiadanya Sang Pencipta (Allah); [5]. Mempercayai terjadinya reinkarnasi (tanāsukh al-arwāh); [6]. Mengingkari sejumlah hukum yang telah menjadi konsensus ulama, seperti wajibnya salat-puasa dan haramnya zina; [7]. Menyatakan bahwa kenabian bisa diperoleh dengan usaha dan riyādaṯ, karena pernyataan itu membuka kemungkinan adanya nabi setelah Nabi Muhammad; [8]. Mencaci maki seorang nabi dan malaikat yang telah disepakati kenabian dan kemalaikatannya; menyatakan keterbatasan fisik atau kecacatan tubuh seorang nabi seperti pincang.

Untuk memudahkan, ulama fikih mengkategorisasikan riddaṯ ke dalam empat kategori. Pertama, murtad sebab keyakinan (i’tiqādi) yang bertentangan dengan pokok akidah Islam. Shaṭa al-Dimyaṭi memerinci beberapa hal yang termasuk murtad i’tiqadi ini, yaitu: [a]. meragukan Allah (al-shakku fi Allāh); [b]. meragukan kerasulan seorang rasul; [c]. meragukan satu bagian dari al-Qur’an; [d]. tak mempercayai Hari Akhir; [e]. tak mempercayai surga dan neraka; [f]. tak mempercayai konsep pahala dan dosa; [g]. tak mempercayai satu sifat dari sifat-sifat Allah; [h]. meyakini kehalalan sesuatu yang diharamkan; [i] mengingkari hal-hal yang telah disepakati hukumnya dan telah diketahui publik secara luas seperti salat lima waktu.

Kedua, murtad sebab perbuatan (fi`li). Shaṭa al-Dimyaṭi menyebut, termasuk murtad bi al-fi`li adalah bersujud pada patung, matahari atau yang lain (al-sujūd li ṣanam aw li shams aw makhlūq ākhar). Ketiga, murtad sebab perkataan (qawli). Shaṭa al-Dimyaṭi mencontohkan beberapa perkataan yang menyebabkan kemurtadan seseorang; [a]. memanggil orang Islam lain dengan panggilan “wahai kafir”; [b]. perkataan, jika Allah menyiksaku karena tak mengerjakan salat padahal aku sakit, maka Allah zalim kepadaku; [c]. perkataan, “salat tak cocok buat aku”, “saya tak menemukan kebaikan sepanjang aku salat”; [d]. mencaci seseorang yang bernama sama dengan nama Nabi Muhammad dengan maksud mencaci Nabi; [e]. meremehkan fatwa ulama dengan maksud meremehkan syariat; [f]. menyerupakan wajah orang saleh dengan babi; [g]. perkataan seseorang, “saya menginginkan sejumlah harta, baik yang halal maupun yang haram; [h]. tak merespons azan dan tak mendengarkan ketika Alquran dibacakan; [i]; mencaci para Sahabat Nabi. Keempat, murtad karena meninggalkan ajaran (tarki-turuki) dengan maksud menentang dan mengingkari syariat Islam (al-tarku yadullu `alā al-`inād wa al-mu`araāṯ li al-shar’i istikbāran aw juḥudan), seperti meninggalkan salat, puasa, dan zakat dengan maksud menentang wajibnya ibadah-ibadah tersebut.

Pertanyaannya, bagaimana kemurtadan bisa dibuktikan? Apakah kemurtadan yang yang dilakukan dalam kesendirian bisa menyeret pelakunya ke meja pengadilan? Zakaria al-Anṣari berkata bahwa kemurtadan seseorang harus dibuktikan dengan kesaksian orang lain. Artinya, kemurtadan yang tak tersaksikan, maka tak bisa dikriminalkan. Menurut Abdurrahman al-Juzairi, seorang hakim hanya bisa menjatuhkan vonis “murtad” pada seseorang setelah sang hakim mendengarkan kesaksian dua orang laki-laki adil yang menyaksikan bahwa orang itu telah berkata atau berbuat murtad. Jika telah divonis murtad, maka ia wajib dihukum mati. Akan tetapi, dalam fikih Syafi`iyyah disebutkan, setelah vonis murtad dibacakan, tak otomatis hukuman mati bisa langsung dilaksanakan. Seorang hakim tetap wajib memberi kesempatan pada si murtad selama tiga hari; apakah yang bersangkutan tetap murtad atau akan kembali ke Islam. Jika ia kokoh pendirian tak mau kembali ke Islam, barulah hukuman mati bisa dilakukan. Demikian nyata hukuman mati bagi orang murtad itu, sehingga al-Sha`rani berkata; seandainya seluruh penduduk negeri itu menyatakan murtad, maka mereka wajib dibunuh, sedang harta kepunyaan mereka dihukumi sebagai harta ghanimah. Namun, Abū Ishāq al-Shairāzi mengingatkan bahwa pihak yang mengeksekusi orang murtad itu adalah negara bukan swasta.

Berbeda dengan Imam Syafii, Imam Abu Hanifah berkata, sunnah bagi kita meminta orang murtad bertaubat. Sedangkan Thawus, al-Hasan, Ibn al-Majitsun al-Maliki, Abu Yusuf, dan seklompok ulama tekstualis (Ahli al-Ẓahir) berpendapat bahwa orang murtad tak perlu diminta bertaubat. Sekiranya ia bertaubat, maka taubatnya hanya bermanfaat di hadapan Allah dan tak menggagalkan hukuman mati yang harus dikenakan padanya. Sementara menurut `Atha’, jika seseorang lahir dalam keadaan Islam kemudian murtad, maka baginya tak perlu diberi kesempatan bertaubat. Ia bisa langsung dihukum bunuh. Sedangkan orang yang lahir dalam keadaan kafir, lalu masuk Islam, dan kemudian murtad, maka baginya perlu diberi kesempatan bertaubat.

Yang disepakati para ulama fikih adalah hukum mati bagi laki-laki murtad. Sementara bagi perempuan murtad, para ulama memperselisihkan sanksi hukumnya. Jumhur ulama berpendapat, sebagaimana laki-laki murtad dihukum mati, maka begitu juga perempuan murtad. Pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat Jabir. Alkisah, seorang perempuan bernama Umu Ruman telah murtad dari Islam. Dengan cepat  berita itu sampai kepada Nabi. Lalu Nabi memerintahkan agar perempuan itu diminta bertaubat. Jika tidak mau, maka ia dihukum bunuh. Ibn Rushd mengutip pendapat sekelompok orang, perempuan murtad tetap dibunuh sekalipun telah kembali pada Islam (tuqtalu wa in raja`at al-islam). Sementara Abu Hanifah punya pendapat lain. Menurutnya, perempuan murtad tak dihukum mati seperti tak dihukum matinya perempuan yang kafir sejak mula (al-kāfiraṯ al-aliyyaṯ).

Berbeda dengan kecenderungan umum para ahli fikih tersebut, Ibrahim al-Nakha`i dan sejumlah ulama fikih mengajukan pendapat lain. Menurut mereka, orang murtad tak dihukum bunuh. Ia hanya perlu diminta bertaubat secara terus menerus sekiranya yang bersangkutan tak kembali ke Islam. Sejauh yang bisa dibaca, ulama yang menolak hukum bunuh bagi murtad itu mendasarkan pandangannya pada beberapa alasan. Pertama, Rasulullah tak membunuh orang munafik, yaitu orang yang secara lahir mengaku Islam tapi hatinya sudah berada di luar Islam. Kedua, Hadis Umar ibn Khattab yang mengatakan, “jika orang-orang murtad itu bertaubat, maka itu baik. Jika tidak mau, mereka dipenjara”. Ketiga, ulama Hanafiyah menolak hukum bunuh bagi perempuan murtad. Menurutnya, perempuan murtad cukup ditahan hingga yang bersangkutan bertaubat. Keempat, yang dibunuh pada zaman Nabi itu adalah murtad muḥārib, yaitu murtad yang memusuhi umat Islam.  

Pandangan terakhir ini tampaknya menarik diperhatikan di era kebebasan beragama seperti sekarang; dimana pilihan orang atas suatu agama dianggap sebagai pilihan individual; keputusan seseorang untuk keluar dari suatu agama, termasuk keluar dari Islam, tak dipandang sebagai tindakan kriminal. Keputusan seseorang untuk memilih suatu agama atau keluar dari suatu agama dipandang sebagai hak dasar yang melekat pada setiap orang.
Penulis adalah dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tidak ada komentar