Benarkah ISIS Produk Konspirasi Barat?
Oleh Akromi Mashuri
Kabar menyengat itu berhembus dari Paris, Prancis, Jumat 13 November 2015. Untuk kesekian kalinya dunia kembali digemparkan oleh aksi brutal yang menewaskan ratusan nyawa manusia tak berdosa. Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) mengklaim bertanggung jawab atas serangan paling mematikan pasca perang dunia kedua ini. <>Kabar tersebut sontak membuat dunia tercengang dan sejenak terdiam. Dalam waktu sekejap pasca serangan tersebut, ungkapan duka dan simpati dari masyarakat dunia menjadi trending topik di berbagai media cetak dan online.
Selain ungkapan duka dan simpati yang begitu besar dari masyarakat
dunia, tragedi di Paris ini memunculkan beragam reaksi dan spekulasi.
Reaksi mengutuk keras terhadap pelaku teror tak cuma datang dari
negara-negara Barat, tapi juga dari negara-negara timur tengah seperti
Iran, Palestina dan Libanon. Bagi masyarakat muslim, kejadian ini tentu
saja memunculkan perasaan kagok atau tak enak hati karena setiap kali
terjadi aksi-aksi terorisme selalu dikaitkan dengan kelompok teror yang
mengatasnamakan Islam. Tak sedikit pula respon nyinyir datang dari
sekelompok orang yang dengan begitu cepat menyimpulkan bahwa kejadian
ini adalah rekayasa Amerika dan Zionis Israel. Benarkah demikian?
Teori Konspirasi
Mantan pegawai National Security Agency (Badan Keamanan
Nasional) Amerika Serikat, Edward Snowden, menyatakan jika ISIS
merupakan organisasi bentukan hasil kerja sama inteligen tiga negara.
Pernyataan Snowden itu terungkap dalam kawat dari Global research,
sebuah organisasi riset media independen di Kanada. Menurut Snowden,
satuan inteligen Inggris (M16), AS (FBI-CIA), dan Israel (Mossad)
bekerja sama menciptakan sebuah “negara kekhalifahan” yang kini bernama
ISIS. Menurut Snowden, badan inteligen dari tiga negara tersebut
membentuk sebuah organisasi teroris untuk menarik semua ekstremis dari
seantero dunia. Mereka menyebut taktik tersebut dengan nama “sarang
lebah”. Dokumen NSA yang dirilis Snowden menunjukkan bagaimana taktik
sarang lebah tersebut dibuat demi melindungi kepentingan zionis dengan
menciptakan slogan Islam. Berdasarkan dokumen tersebut, satu-satunya
cara melindungi kepentingan zionis adalah: menciptakan musuh di perbatasan.
Taktik tersebut dibuat demi menempatkan semua ekstremis dalam satu
tempat yang sama, sehingga mudah dijadikan target. Tak hanya itu, adanya
ISIS akan memperpanjang ketidakstabilan di Timur Tengah, khususnya di
negara-negara Arab. Masih berdasarkan dokumen tersebut, pemimpin ISIS
Al-baghdadi pun mendapatkan pelatihan militer setahun penuh dari Mossad,
sekaligus mendapatkan kursus teologi dan retorika dari lembaga
intelijen zionis itu.
Bagi banyak orang, Edward Snowden adalah pahlawan. Untuk pemerintah
AS, dia dianggap penghianat karena mengungkap praktek penyadapan
internet yang dilakukan dinas rahasia NSA. Snowden, sang pembocor
rahasia “whistleblower”disatu sisi dipuja bak pahlawan, disisi lain
diburu oleh otoritas negaranya sendiri. Dalam banyak kasus,
whistleblower biasanya tidak akan dimaafkan oleh pihak yang merasa tak
nyaman dan terancam oleh keberadaannya. Dalam kasus Snowden, Amerika
Serikat sebagai pihak yang dirugikan sampai sekarang terus mengejar
Snowden dan berusaha menangkapnya. Lalu, dimana Snowden sekarang?
Belakangan tidak banyak lagi berita yang beredar tentang Edward Snowden,
sang pembocor dokumen-dokumen rahasia NSA yang sempat menggemparkan
dunia. Sejak 1 Agustus 2013, ia mendapat perlindungan suaka politik di
Rusia untuk satu tahun. Sampai saat ini masih belum jelas bagaimana
kelanjutan status Snowden di Rusia. Juga tidak diketahui apa saja yang
dilakukan Snowden sehari-hari selama ini. apakah ia bekerja di suatu
tempat, dan di sektor mana?
Kemunculan Snowden yang sempat menggemparkan dunia seolah menjadi
justifikasi para penganut teori konspirasi bahwa Barat-lah (baca: AS dan
sekutunya) para konspirator dibelakang layar yang memanipulasi
serangkaian peristiwa-peristiwa politik yang mengaitkan Islam dengan
Terorisme. Barat pula yang dengan sengaja mengadu domba dan memecah
belah persatuan umat Islam. Mereka para penganut teori ini juga percaya,
misalnya, bahwa peristiwa 11 September (WTC) sudah dirancang sedemikian
rupa oleh Amerika Serikat dibawah rezim George.W. Bush sebagai
justifikasi politik untuk melakukan invansi ke Iraq. Pertanyaannya,
benarkah teori tersebut memang ada?
jika teori konspirasi atau persekongkolan kita kaitkan dengan hal-hal
kecil sehari-hari, teori tersebut memang benar adanya. itu bisa
dibuktikan misalnya, saat kita main poker dengan jumlah pemain 5 orang,
maka kita dapat melakukan konspirasi terhadap 3 pemain lainnya, sehingga
hasil dari kekalahan 1 pemain yang merupakan calon korban konspirator
dapat dibagi berempat, dan cara itu biasa dilakukan oleh pejudi-pejudi
terkenal.
Dengan merujuk Edward Snowden sang pembocor rekayasa Barat atas ISIS
sebagai justifikasi, dan melihat fakta bahwa persengkokolan memang benar
ada dalam kehidupan manusia, meski terlihat dalam hal kecil seperti
bermain poker diatas, sekilas hal-hal yang complicated akan
nampak menjadi sederhana. Bagi para pemuja teori konspirasi , tanpa
dukungan argumentasi yang kuat, fakta akurat, data ilmiah, pendapat yang
bisa diverifikasi kebenarannya, tokoh-tokoh nyata yang terlibat,
tragedi besar seperti di WTC dan di Paris seolah menjadi peristiwa yang
korban dan pelakunya adalah mereka sendiri (by design). Para pemuja
teori ini, yang biasanya enggan atau malas mengkaji persoalan lebih
mendalam, mereka akan dengan mudah menyimpulkan dulu, bukti-bukti akan
dicari-cari (dipaksakan) kemudian.
Ketika cara berpikir memaksakan bahwa negara-negara Barat lah di
balik tragedi Paris, dan ISIS adalah ciptaan Barat, maka sama artinya
dengan menuduh Prancis berkonspirasi membunuh warganya sendiri. Sekeji
itukah pemerintah Prancis terhadap warganya sendiri? Kita tidak bisa
memastikan apakah tragedi di Paris merupakan hasil rekayasa Barat atau
bukan. Jika iya, kenapa harus Barat yang selalu dikaitkan dengan teori
konspirasi? Kenapa bukan Arab Saudi, Turki, atau Qatar? Kalau kita mau
fair, Saudi dan sekutunya juga patut kita curigai sebagai dalang di
balik aksi teror yang dilakukan ISIS, kenapa? Karena negara-negara teluk
seperti Saudi, Turki, atau Qatar juga memiliki kepentingan dalam
menjalankan perang proxy melawan Assad dan sekutunya, Iran.
Saudi dan sekutunya mungkin saja menggunakan ISIS yang Sunni untuk
menghabisi Suriah di bawah rezim Assad yang Syi’ah. Saudi juga sangat
mampu jika harus mendanai semua logistik yang diperlukan ISIS dengan
kekuatan petro dolarnya. Tapi, untuk apa kita mengkotak-kotakkan Barat
dan Islam yang hanya akan membuat kita terjatuh pada Occidentophobia (benci Barat) dan Islamophobia (benci Islam).
Belajar Welas Asih
Terlepas dari benar atau tidaknya konspirasi Barat atas aksi teror di
Paris baru-baru ini, umat Islam perlu bersikap arif dalam menyikapi
fenomena aksi teror yang membawa nama Islam akhir-akhir ini. Sangat
tidak elok rasanya bila membanding-bandingkan tragedi di suatu tempat
dengan tragedi di tempat lain. Rasa kemanusiaan tidak bisa
dibeda-bedakan atas dasar agama, tempat, atau statistik jumlah korban.
Kemanusiaan bersumber dari fitrah dan kesadaran akan sesama manusia.
Sikap kita yang sepatutnya tentulah berempati dengan tulus dan mengutuk
pelaku aksi teror tersebut. Kalaupun ada sikap atau perlakuan yang
mediskreditkan Islam oleh sekelompok masyarakat Barat, kita tidak perlu
terpancing untuk bereaksi dengan aksi-aksi protes atau kemarahan. Kita
perlu belajar tentang prinsip welas asih yang telah dicontohkan oleh
banyak tokoh sejarah yang namanya mendunia hingga kini. Isa a.s. dengan
“berikan pipi kirimu jika pipi kananmu ditampar”, atau Gandhi yang
melarang “mata dibalas mata”, sebab jika itu dilakukan dunia akan
menjadi buta. Prinsip welas asih yang diajarkan Isa a.s. dan Gandhi itu
jelas sangat kita butuhkan dalam menyikapi begitu banyaknya gejolak
egoisme buta yang terjadi hampir setiap hari disekeliling kita.
Kita memahami sepenuhnya bahwa rentetan aksi keji yang dilakukan ISIS
sangat melukai perasaan umat Islam di seantero dunia, dan tentu saja
semakin menghadapkan umat Islam pada posisi yang amat sulit saat ini,
khususnya umat Islam yang tinggal di eropa. Dalam momen yang sulit ini,
tak lantas membuat hilangnya rasa kemanusiaan kita. Tidak melulu Barat
itu salah, begitupun sebaliknya. Bukankah Rasulullah mengajarkan kepada
kita untuk mengambil hikmah (kebajikan) dari siapapun meski hikmah
tersebut datang dari orang kafir?. Disadari atau tidak, kita semua ini
disatukan oleh kemanusiaan bukan keTuhanan, karena setiap manusia
memiliki asumsi sendiri tentang Tuhan, sedangkan kemanusiaan sama. Wallahu a’lam
Akromi Mashuri, Kader muda NU; Pemerhati Politik Islam
Sumber : NU ONLINE
Tidak ada komentar