KETIKA TARIF SURGA SEMAKIN MENGGILA
Suatu hari, si fulan yang merupakan salahsatu pengurus masjid di
wilayah terpencil nun jauh dari ibukota bersama rekan rekannya berencana
untuk mengadakan tabligh akbar dalam rangka menyambut maulid nabi.
Dalam event itu mereka sepakat untuk mengundang pembicara terkenal dan
kalau perlu dari kalangan dai yang sering ceramah di tivi. Melalui media
online, si fulan akhirnya mendapatkan nomer ponsel sang penceramah
kondang yang ia inginkan. Kemudian terjadilah dialog,
![]() |
Gubrak Indonesia sponsori Pendidikan Gratis |
Fulan : "Assalamu'alaikum. Ini benar nomernya ustadz 'anu' ?".
Dari seberang terdengar jawaban salam. Si penerima telpon mengatakan
bahwa ustadz 'anu' lagi ceramah di suatu tempat. Dan kalau ada yang
perlu dengan ustadz, dipersilahkan bicara dengannya saja. Penerima
telpon yang mengaku asisten ustadz ini kemudian menanyakan maksud dan
tujuan si fulan.
"Begini pak" lanjut si fulan.
"Kami dari
masjid Takwa, kampung iman, kabupaten Amal (bukan nama sebenarnya)
berencana hendak mengadakan acara maulid dengan mengundang ustadz 'anu'
sebagai pembicara. Kira kira, ustadz ada waktu nggak ya ?".
Asisten : "tanggal berapa itu, pak ?".
Fulan : "hari ke 3 ba'da maulid nabi selepas Isya ".
"Sebentar, saya lihat jadwal" jawab sang asisten.
Obrolan berhenti sejenak. Terdengar dari ujung telpon suara tangan
yang sibuk membuka buka kertas. Tak lama kemudian sang asisten berkata,
"Waduh, jadwalnya padat banget pas hari itu. Paginya di daerah A, siang di lokasi B, abis Ashar di tempat C".
Mendengar jawaban itu, si fulan mengernyitkan dahinya. Asisten memang
tidak mengatakan ada jadwal di tempat lain selepas Isya'. Hanya saja ia
sangsi apakah si ustadz bersedia ceramah maraton hingga lepas Isya',
sedang sebelumnya mesti mengunjungi tiga tempat. Satu satunya yang
membuat fulan masih bersemangat mengundang ustadz 'anu' adalah fakta
bahwa tiga tempat diatas jaraknya berurutan. Dari lokasi C ke masjid si
fulan hanya butuh waktu tiga jam saja. Jika acara di lokasi C bisa
selesai jam 5 sore, maka jam 8 malam bisa hadir di masjidnya.
"Tolong usahakanlah, pak" pinta fulan dengan sangat.
Asisten : "Bukan begitu, pak. Saya hanya khawatir fisiknya ustadz nggak
sanggup. Apalagi lokasi yang sampean sebut itu cukup terpencil".
Si fulan terdiam. Ia kemudian berunding sebentar dengan kawannya sesama pengurus masjid.
"Bilang saja, kita anggarkan 5 juta jika ustadz bersedia datang" usul kang Zaid yang merupakan bendahara masjid.
Fulanpun akhirnya kembali melakukan negoisasi. Namun tawaran itu
rupanya belum cukup untuk menggoyahkan pendirian asisten ustadz.
"Waduh, gimana ya. Saya cuma nggak yakin ustadz bersedia" kelitnya.
Fulan kembali terdiam. Matanya kini tertuju pada Zaid dan rekan rekannya sesama pengurus masjid.
"Coba tambahin tiga juta lagi. Nanti aku yang nombokin. Delapan juta
itu besar loh. Masa ustadz nggak goyah juga" kata Haji Tejo, bandar
beras sebelah masjid.
Untuk kedua kalinya Fulan berunding. Dan persis seperti prediksi haji Tejo, nada bicara sang asisten mendadak melunak.
"Sebenarnya sih bisa. Cuma...." berhenti sejenak.
"Cuma.....kurang dikit aja. Gimana ?".
Fulan dan teman temannya saling pandang. Mereka segera tahu kemana arah
pembicaraan sang asisten. Jika anggarannya dinaikkan sedikit,
dipastikan ustadz 'anu' bersedia datang. Akhirnya disepakatilah angka
sepuluh juta.
Mendengar tawarannya disetujui, sang asisten kemudian meminta waktu sebentar untuk menghubungi ustadz.
"Alhamdulillah" katanya selepas menghubungi ustadz, "ustadz bersedia hadir".
"Alhamdulillah" sahut Fulan.
"Tapi, saya harap bapak konsisten dengan angka itu ya" kata asisten sedikit memaksa.
"Kalau meleset, saya yang nggak enak sama beliau".
Pernahkah kita mendengar selentingan kisah seperti ini ?.
Barangkali ini bukan sesuatu yang baru di dunia dakwah. Bahkan mungkin sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan para pendakwah. Dunia relijius nyatanya belum sepenuhnya terbebas dari virus ketamakan akan materi. Bahkan kian hari kian memprihatinkan. Mengundang seorang penceramah, kini tak jauh beda dengan kita mengundang artis penghibur.
Ironinya, tak jarang kita temukan para pendakwah dengan begitu percaya
dirinya membanding bandingkan profesinya dengan yang lain. Di mimbar
pengajian, di majlis ta'lim dan tempat lainnya, ia katakan bahwa apa
yang ia dapat cukup sepadan. Kalau dosen, intelektual, artis, seniman
bahkan pelawak saja dihargai mahal, maka wajar kalau penceramah meminta
diperlakukan sama. Bahkan sudah seharusnya lebih. Karena pendakwah agama
mensyiarkan kebaikan.
Hal semacam ini yang menurut penulis
merupakan penyakit berbahaya. Agama sudah begitu akut dirasuki semangat
keduniaan. Agama mulai keluar dari relnya sebagai wahana penyucian diri.
Sebagai alat untuk menggapai Tuhannya.
Apakah lantas tidak boleh, berdakwah dan mendapat upah material ?
Tentu saja tidak ada larangan. Akan tetapi harus diingat, bahwa dakwah
itu tugas, bukan profesi layaknya pekerjaan yang mengharuskan ada upah.
Mendidik itu kewajiban bagi mereka yang dikarunia ilmu. Terlepas apakah
ada imbal balik atau tidak.
Penulis teringat dengan petuah guru
mulia KH Maimun Zubaer. Bahwa kyai, ustadz, guru atau dosen, sebaiknya
memiliki usaha sampingan. Tujuannya agar ia tidak menggantungkan
kehidupan sehari harinya dari dunia mengajar.
Janganlah mencari
alasan, bahwa kalau guru atau ustadz berdagang, lantas yang mengurus
umat siapa ?. Kalau kyai bertani, lantas yang berdakwah siapa ?.
Ini pemikiran yang menurut penulis teramat sempit. Ulama ulama kita
terdahulu nyatanya juga bekerja. Meski sekedar bertani. Para penyebar
agama di nusantara inipun terkenal sebagai pebisnis. Bahkan nabipun kita
kenal sebagai pedagang. Memang tidak harus, akan tetapi petuah mbah
Moen diatas rasanya sangat relevan untuk dipikirkan.
Jika...
Penceramah masih bergantung pada upah
Guru ngaji masih bergantung pada gaji
Ustadz masih bergantung pada uang keringat
Penceramah masih bergantung pada upah
Guru ngaji masih bergantung pada gaji
Ustadz masih bergantung pada uang keringat
Lantas apa bedanya anda dengan buruh bangunan, penjual bakso, pengusaha dan lain sebagainya.
“Yarfa’illahulladzina amanu minkum walladzina utul ‘ilma darajat”
(Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan
orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat)
Al - Mujadalah : 11
Para bijak bestari berkata, penyampai risalah itu memiliki dua pilihan.
Materi atau kehormatan. Jika engkau memilih yang pertama, maka
kehormatanmu akan tertanggalkan. Jika engkau memilih yang kedua, maka
Allahlah penolongmu.
“Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang
hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada
Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak
dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.”
(HR. Bukhari,
Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)
Oleh : Komandan Gubrak
Tidak ada komentar