Ini Dia Ulama Nusantara yang Pernah Jadi Imam Masjidil Haram
Masjidil Haram di Makkah merupakan masjid yang mengelilingi Ka’bah,
kiblat umat Islam. Ia adalah masjid terbesar di dunia. Sejarahnya
berkaitan dengan Nabi Muhammad menjadikan masjid ini memiliki nilai
tersendiri dalam Islam. Karenannya, beribadah di sana menjadi salah satu
harapan bagi seluruh umat Islam di dunia. Tentu, tak sembarang ulama
bisa menjadi imam di sana. Namun, siapa sangka, ada sederet ulama
Indonesia pernah menjadi imam Masjidil Haram? Walaupun, selama lebih
dari 50 tahun terakhir ini, tak ada lagi. Tentu bukan karena Indonesia
tak lagi melahirkan ulama besar, namun “lantara pemerintah Arab
Saudi menerapkan qarar (peraturan) yang mewajibkan seluruh imam dan
muazin haruslah orang Saudi sendiri,” kata Syaikh Al Ghamidi saat
diwawancara Republika Online pada 2013 di Jakarta. Bahkan, dosen-dosen
di Universitas Islam Madinah dan Ummul Qura’ sudah tidak didapati lagi dari kalangan bukan keturunan Arab Saudi.
Di antara ulama Indonesia yang pernah menjadi imam Masjidil Haram adalah:
Syekh Khatib Al Minangkabawi
Syekh
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang akrab dengan nama Syekh Khatib. Syekh
Khatib (1860-1916) berasal dari Kota Tuo, Sumatera Barat. Beliau
merupakan ulama pertama dari Indonesia yang menjadi imam Masjidil Haram.
Syekh
Khatib sendiri bukan hanya pernah menjadi khatib dan guru besar di
Masjidil Haram, namun juga mufti madzhab Syafi’i (ulama Makkah yang
memiliki wewenang mengeluarkan fatwa kepada umat) pada akhir Abad ke-19
dan awal Abad ke-20.
Terkait kisah pengangkatannya menjadi imam
Masjidil Haram, ada dua kisah berbeda. Kisah versi pertama disampaikan
oleh Umar Abdul Jabbar dalam kamus tarajim-nya, Siyar wa Tarajim, bahwa
posisi sebagai imam dan khatib itu diperoleh berkat permintaan Syekh
Shalih Al-Kurdi (mertua Syekh Khatib) kepada Syarif ‘Aunur Rafiq, agar
berkenan mengangkat Syekh Khatib menjadi imam & khatib. Sedangkan
riwayat kedua disampaikan oleh Prof Dr Buya Hamka dalam buku
karangannya, Ayahku, Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan
Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, yang menyebutkan sebuah cerita Abdul
Hamid bin Ahmad Al-Khathib (putraSyekh Khatib), ketika dalam sebuah
salat berjamaah yang diimami langsung Syekh Syarif Aunur Rafiq. Pada
saat salat, ternyata ada bacaan imam yang salah. Mengetahui hal ini,
Syekh Khatib yang ketika itu juga menjadi makmum, berusaha membetulkan
bacaan imam. Setelah salat, Syekh Syarif Aunur Rafiq bertanya siapa
gerangan yang telah membenarkan bacaannya tadi. Lalu ditunjukkannya
Syekh Khatib, yang tak lain adalah menantu sahabat karibnya, Syekh
Shalih Al-Kurdi, yang terkenal dengan keshalihan dan kecerdasannya itu.
Akhirnya, Syarif Aunur Rafiq mengangkat Syekh Khatib sebagai imam dan
khatib Masjidil Haram, serta mufti madzhab Syafi’i.
Syekh Nawawi Al Bantani
Ulama
kedua yang pernah menjadi imam Masjidil Haram adalah Syekh Muhammad
Nawawi Al-Bantani Al-Jawi yang akrab disapa Syekh Nawawi (1815-1897).
Sesuai gelarnya, beliau adalah ulama asal Kabupaten Serang, Banten.
Namanya sangat terkenal di Arab Saudi hingga dijuluki “Sayyidul Hijaz”, yakni ulama di kawasan Hijaz.
Beliau
merupakan ulama yang sangat produktif menulis kitab, meliputi
bidang-bidang fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadist. Jumlah
karyanya mencapai tak kurang dari 115 kitab.
Syekh Nawawi
merupakan keturunan dari Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati,
Cirebon. Keturunan ke-12 dari Sultan Banten. Nasab tersebut bersambung
hingga Baginda Nabi Muhammad.
Pada usia 15 tahun, Syekh Nawawi
menunaikan ibadah haji dan berguru kepada sejumlah ulama terkenal di
Makkah, seperti Syekh Khatib Al-Sambasi, Abdul Ghani Bima, Yusuf
Sumbulaweni, Abdul Hamid Daghestani, Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syekh
Ahmad Dimyati, Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Muhammad Khatib Hambali,
dan Syekh Junaid Al-Betawi. Adapun guru yang paling berpengaruh adalah
Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syekh Junaid Al-Betawi dan Syekh Ahmad
Dimyati, mereka adalah ulama terkemuka di Makkah.
Tidak hanya di
Kota Makkah dan Madinah saja, Syekh Nawawi dikenal, bahkan sampai negeri
Mesir. Itulah sebabnya ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya,
Mesir adalah negara yang pertama-tama mendukung atas kemerdekaan
Indonesia.
Di Makkah, Syekh Nawawi giat menghadiri majelis ilmu di
Masjidil Haram. Hingga, kemudian seorang imam masjid utama tersebut,
Syekh Ahmad Khatib Sambas meminta Nawawi untuk menggantikan posisinya.
Maka, mulailah Syekh Nawawi menjadi pengajar dan membuka majelisnya
sendiri di Masjidil Haram. Murid syekh berdatangan dengan jumlah yang
banyak. Bahkan, beberapa di antara muridnya merupakan pemuda asal
Indonesia. Salah satu muridnya, yakni KH Hasyim Asy’ari pendiri Nadlatul
Ulama (NU).
Syekh Nawawi mengabdikan hidupnya untuk mengajar. Ia
pun terkenal giat menulis dan menghasilkan banyak karya. Sampai-sampai,
banyak manuskripnya disebarkan bebas kemudian diterbitkan tanpa royalti.
Sedikitnya, 34 tulisannya juga masuk dalam Dictionary of Arabic Printed Books.
Karya lainnya mencapai seratus buku dari berbagai cabang ilmu Islam.
Universitas Al Azhar Kairo juga pernah mengundang syekh karena
karya-karyanya yang digemari kalangan akademisi.
Syekh Junaid Al Batawi
Sejak
abad ke-18, orang Betawi banyak yang pergi ke Makkah dan sebagian
menetap di sana. Budayawan Betawi, Alwi Shahab menyebutkan bahwa mereka
yang bermukim di sana menggunakan nama Al Batawi sebagai nama keluarga.
Pada
pertengahan abad ke-19, Syekh Junaid, seorang ulama Betawi, mulai
bermukim di Makkah. Ia ‘pun pernah menjadi imam di Masjidil Haram.
Beliau juga mengajar di serambi Masjidil Haram. “Muridnya
banyak sekali. Bukan hanya para mukiman dari Indonesia, juga
mancanegara. Nama Betawi menjadi termashur di Tanah Suci berkat syekh
kelahiran Pekojan, Jakarta Barat tersebut,” kata Alwi Shihab seperti pernah ditulis di Republika.
Syekh
Nawawi merupakan salah satu murid beliau. Karenanya, setiap haul Syekh
Nawawi, selalu dibacakan fatihah untuk Syekh Junaid.
Sumber : sejarahri.com
Tidak ada komentar