CAK NUN, KYAI NYENTRIK MELAWAN PEMERINTAH
Terus terang, saya bukan orang yang secara fisik kenal atau dikenal
oleh cak Nun. Meski sewaktu masih duduk di bangku SMA hingga kuliah saya
sering menghadiri acara pengajian cak Nun, terutama acara Padang Bulan
di RSI Kartasura. Meski saya sempat menjadi pemburu tulisan tulisan cak
Nun. Dan bahkan hingga kinipun nyaris selalu meluangkan waktu menonton
acara maiyah via YouTube. Tapi, sekali lagi saya bukan apa apanya cak
Nun. Santri, bukan. Loyalis, bukan. Penggemar juga bukan.
Kyai mBeling |
Cak Nun
di mata saya adalah sosok tokoh yang unik. Salahsatu kebiasaan cak Nun
yang saya tahu adalah tingkah nylenehnya. Meminjam bahasa santri, khariq
al-adah (semoga nggak salah ucap). Cak Nun bukan tipe orang yang latah.
Bukan orang yang mudah didikte. Dia orang yang tak terlalu silau ketika
semua orang berjalan di jalanan mulus. Terkadang yang terjadi, ia
justru memilih jalanan sempit, berbatu dan sulit di jangkau. Dia tahu,
langkah itu tidak akan membuatnya sampai pada tujuan. Tapi, cak Nun
tetap mengambil langkah itu. Bagi cak Nun (dalam tafsir saya pribadi),
bukan tujuan yang menjadikan ia bahagia. Tapi prosesnya yang menarik.
Statemen soal dana 1,5 T yang mengalir ke PBNU bukanlah satu satunya
ucapan 'nylekit' cak Nun. Saya masih ingat betul dulu saat orde baru
masih berkuasa. Ketika Cak Nur (Nurcholis Madjid) mengkampanyekan ide
'Islam Yes, Partai Islam No'. Sebuah ide yang secara tidak langsung
melegitimasi rezim dalam upaya deparpolisasi dan deislamisasi. Cak Nun
secara tiba tiba mengkampanyekan 'Islam Yes, Partai Islam Yes'. Ia
seperti tak peduli dengan situasi politik saat itu, dimana gagasan
pemisahan agama dan politik berlangsung sedemikian gencar dan di motori
tokoh tokoh penting di lingkungan ormas Islam. Termasuk diantaranya Gus
Dur.
Jadi, ketika cak Nun (entah sengaja atau tidak) 'ngajak
dolanan' NU dengan menuduh ormas ini menerima dana 1,5 T dan lalu
dibarengi tudingan bahwa pemerintah telah melakukan politik belah bambu,
saya pribadi tidak terlalu kaget. Kalau kita rajin menyimak video atau
malah datang langsung ke acara maiyah, lalu menyimak secara detail
ceramah cak Nun, kita akan menemui begitu banyak ungkapan 'nyleneh,
nylekit dan (maaf) nggatheli'.
Bagi orang yang belum terlalu
jauh meneliti sepak terjangnya cak Nun, tentu saja akan memakan mentah
mentah ucapan cak Nun. Bahkan tak jarang jadi bahan amunisi untuk
kepentingan jangka pendek.
Sepanjang penelitian saya, satu hal
yang tidak berubah dari cak Nun. Yakni kekonsistenan cak Nun untuk tidak
konsisten. Apa yang ia nyatakan biasanya tergantung situasi. Seperti
tulisan di atas, saat orang memilih jalan mulus, maka cak Nun bakal
memilih jalan sulit. Saat orang mengelu elukan Ahok, cak Nun bicara
dengan nada sinis tentang Ahok. Di lain waktu, saat orang dengan gegap
gempita menyerang Ahok, Cak Nun dengan begitu mudahnya mengatakan
sebaliknya.
Apakah ini bentuk sikap 'plin plan' cak Nun ?
Tidak.
Kalau anda berfikir seperti itu, anda salah kaprah menilai cak Nun.
Kekonsistenan cak Nun untuk tidak konsisten sebenarnya lebih
dititikberatkan pada upayanya untuk menetralisir keadaan. Bahwa
persoalan itu tak serumit yang kita pikirkan. Cak Nun ingin mengajari
kita untuk tetap menginjak bumi. Mengajari untuk tidak kagetan.
Mengajari kita untuk menyikapi segala sesuatu dengan wajar. Dalam
pepatah Jawa, 'ngunu yo ngunu, ning ojo ngunu'.
Soal statemen
politik belah bambu. Satu ormas dibubarin, satunya lagi di guyur duit.
Menurut saya, ungkapan itu tidak sepenuhnya salah. Tapi juga tidak
sepenuhnya benar. Tergantung dari sudut mana kita menilai.
Bagi
anda yang tidak begitu memahami politik, dan hanya memandang bahwa
kerjasama itu sebagai bentuk kepedulian pemerintah dan PBNU atas
permasalahan ekonomi rakyat kecil, maka ucapan cak Nun salah. Bukan saja
salah, tapi sudah kaprah dan ngawur. Apalagi jika dikaitkan dengan
imbal budi atas dukungan PBNU pada Perppu. Dengan atau tanpa imbalan
finansialpun NU tetap akan mendukung jika ada upaya pembubaran HT cabang Indonesia.
Tapi, jika kita menilai statemen cak Nun dari kacamata politik, maka
boleh dikatakan ada benarnya juga. Meski bantuan itu bersifat pinjaman,
dan posisi NU hanya sekedar mediator (andai ini betul betul dikucurkan
loh), tapi tindakan itu jelas menguntungkan NU. Ini tidak adil.
Mengingat ada banyak kelompok dengan kondisi sama dan butuh uluran
tangan. Termasuk kelompok yang oleh NU dan pemerintah dianggap
melenceng.
Bukankah salahsatu penyebab seseorang menjadi radikal adalah faktor ekonomi ?
Maka, kalaupun ada bantuan, mereka yang terinfeksi virus radikalismelah yang sesungguhnya lebih membutuhkan.
Terakhir,
Kalau cak Nun saja konsisten untuk tidak konsisten, maka menyikapinya juga harus menggunakan frame yang sama.
Kalau cak Nun saja konsisten untuk tidak konsisten, maka menyikapinya juga harus menggunakan frame yang sama.
Punakawan itu kalau sudah mengeluarkan kesaktian, bahkan dewapun tak sanggup menghentikan. Yang paling bisa menghentikan ya sesama punakawan.
Jadi, kalau mau di ramaikan, ya yang serius ngeramaiinnya.
Kalau mau dianggap angin lalu, ya abaikan saja.
Yang jelas, cak Nun tidak akan terpengaruh dengan reaksi kita. Dia juga mustahil mengklarifikasi statemennya.
Kalau mau dianggap angin lalu, ya abaikan saja.
Yang jelas, cak Nun tidak akan terpengaruh dengan reaksi kita. Dia juga mustahil mengklarifikasi statemennya.
Sebab,
Jika itu dilakukan, cak Nun sudah nggak bisa di anggap 'nyentrik' lagi....
Jika itu dilakukan, cak Nun sudah nggak bisa di anggap 'nyentrik' lagi....
Oleh : Komandan Gubrak
Penulis adalah pelayan di Komunitas Gubrak Indonesia
Penulis adalah pelayan di Komunitas Gubrak Indonesia
Tidak ada komentar