NU dan Politik Praktis
Khittah NU tidak pernah berubah sampai kapanpun:
Menegakkan Islam berhaluan Ahlussunnah wal jama’ah dalam bingkai NKRI dan Pancasila. Inilah garis perjuangan NU, dan dari
sinilah marwah NU dipancarkan sekaligus dipertaruhkan.
Sedangkan peran aktual yang dijalaninya dalam realitas sejarah
semenjak 1926, termasuk di dunia politik, adalah sebatas manifestasi ‘ijtihad’
keorganisasian yang bersandar pada kaidah: Alhukmu yaduru ma’a ‘illatihi
wujudan wa ‘adaman.
Karena itu, tak aneh bila Rais Akbar NU, Hadratus Syaikh KH Hasyim
Asy’ari, pernah menjadi pimpinan Masyumi, Rais ‘Aam NU KH Abdul Wahab
Chasbullah menjadi anggota Konstituante, dan kini KH Ma’ruf Amin sebagai Rais
‘Aam NU (PBNU) didaulat menjadi Cawapres.
Apakah marwah NU bakal merosot gara-gara hal itu? Sedikitpun tidak.
Marwah NU melekat pada konsistensi garis perjuangannya. Bukan terkait dengan
jabatan duniawi apapun yang sekedar berfungsi sebagai alat atau instrumen
perjuangan belaka.
Apakah sebaiknya NU menjauhi politik praktis? Justru sebaliknya.
Gagasan mensterilkan NU dari politik praktis tak lebih merupakan propaganda
rezim Orde Baru yang ingin menjinakkan dan mengkerdilkan NU.
Menghindari politik praktis hanya menyebabkan NU menjadi gelombang
besar yang dimanfaatkan para peselancar politik dari pihak lain yang belum
tentu memiliki visi kebangsaan dan keagamaan yang selaras dengan garis
perjuangan NU.
Jadi, persoalan pentingnya bukanlah terletak di situ. Tetapi
menyangkut cara dan mekanisme keorganisasian agar NU tetap dapat berkembang
sehat dan terus ikut berjuang mengatasi masalah-masalah kemasyarakatan di jalur
kultural, kendati kadang harus bersentuhan dengan dunia politik praktis.
Kalaupun menjumpai situasi yang cenderung dilematis dalam konteks
permasalahan tersebut, NU pasti sudah sangat tahu tentang pedoman: idza
ta’aradhal mafsadatani, ru’iya ‘adhamuhuma dhararan birtikabi akhaffid
dhararain.
Tidak ada komentar