Breaking News

Alay dan Pemberontakan Kaum Muda

 "Alay tidak bisa di samakan dengan tindakan kriminal semisal tawuran, narkoba, pemerasan, kekerasan atau juga seks bebas. Itu sesuatu yang berbeda dan memang kita semua harus mulai membedakan antara remaja yang benar benar Alay dan remaja yang memang kriminal. Sama halnya dengan kemunculan genre Punk di Inggris. Dalam kacamata sosial kemunculannya di baca sebagai bentuk pemberontakan terhadap sebuah sistem yang di rasa tidak adil, rakus, eksploitatif dan jauh dari rasa kemanusiaan. Punk, tak bisa di pungkiri lagi di awaki oleh mereka yang merupakan anak anak kaum pekerja. Kaum buruh yang termarjinalkan. Perilaku nylenehnya lebih banyak di dasari atas rasa frustasi mereka menghadapi tekanan yang begitu hebat akibat kebijakan yang tidak adil dan tidak manusiawi"

 oleh : Khoemhaendhaen Chuechoek Ghuebreaq

"Sekarang anak anak sudah jauh dari kesantunan budaya dan kesalehan moral. Lihat saja, memanggil teman saja pakai nama yang aneh aneh".

"Anak muda dulu sama sekarang beda. Dulu, orang tua bilang A, anak patuh. Sekarang...?".

Pernahkah kita mendengar kalimat kalimat seperti di atas keluar dari para orang tua ?.

Jawabannya, pernah. Atau bahkan mungkin hampir setiap saat kita selalu mendengar keluhan demi keluhan para orang tua yang begitu prihatin menyaksikan fenomena perubahan di kalangan anak muda yang berjalan begitu cepat dan nyaris tidak bisa di jangkau lagi oleh akal sehat para orang tua.Tidak saja keprihatinan ini melanda di kalangan orang tua, akan tetapi barangkali sudah menjadi 'kesedihan' kolektif, bahkan terkadang menjadi pekerjaan tersendiri bagi para pendidik, ulama dan penjaga moral lainnya untuk di carikan formula tepat agar perubahan yang cenderung 'destruktif' itu bisa di manajemen dengan baik.

Ada beberapa persoalan besar yang menjadi fokus para orang tua dan kalangan pendidik dari fenomena anak muda jaman sekarang. Semisal, seks bebas, narkoba, tawuran, kenakalan remaja dan seabrek masalah lain yang tak jarang membuat stres semua pihak. Masalah seks bebas misalnya, sebuah polling menyatakan bahwa pelajar yang sudah terjerumus pada perilaku itu angkanya sudah sangat memprihatinkan. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) pernah merilis sebuah survey yang mengatakan bahwa 32% remaja kita pernah berhubungan badan dengan lawan jenisnya. Masalah narkoba dan tawuran antar remaja juga tak kalah memprihatinkan. Sebuah polling mengatakan bahwa pengguna narkoba 70%nya adalah kalangan remaja. Sementara soal tawuran, kita bisa menyaksikan sendiri di berbagai media, kalangan terdidik justru lebih banyak terlibat dalam masalah ini. Baik mereka yang berada di level sekolah menengah maupun mahasiswa.

Penyebabnya bisa bermacam macam. Arus informasi dan tehnologi yang begitu cepat, kurangnya perhatian dari semua pihak, kesenjangan sosial dan lain sebagainya. Dari semua itu kemudian membentuk sebuah pemikiran baru di kalangan remaja yang tidak saja di anggap 'nyleneh', akan tetapi sudah menjadi semacam pemberontakan kaum muda.

Berbagai cara terus di lakukan. Misalnya dengan menempatkan anak anak mereka di lembaga lembaga pendidikan berbasis agama, menutup atau setidaknya mencegah masuknya pengaruh budaya yang tidak sesuai dengan norma, hingga tindakan paling keras berupa hukuman fisik dan lain lain. Beberapa di antaranya terbukti efektif, akan tetapi sebagian lain justru mengalami kebuntuan bahkan tak jarang malah makin menjadi jadi.


Perilaku Alay di Kalangan Remaja

Dalam kamus Bahasa Indonesia barangkali tidak akan kita temukan kosakata tersebut. Karena kosakata ini hanyalah kreatifitas kaum muda untuk mendefinisikan diri. Alay atau banyak di artikan Anak Layangan. Sebuah perilaku aneh, unik dan menjunjung tinggi kebebasan. Alay juga bisa di artikan perilaku memberontak di kalangan kaum muda yang mencoba mendobrak sistem, keluar dari mainstream dan menggagas ide yang sesuai dengan pola pikir remaja.

Di era 70an, dunia sempat tersentak dengan munculnya sebuah genre baru dari kalangan anak muda yang biasa kita sebut sebagai generasi Punk. Kelompok ini di gagas oleh anak anak remaja dari golongan kelas pekerja yang notabene merupakan korban dari kejahatan sistem ekonomi yang cenderung kapitalis, materialis dan menindas. Muncul pertama kali di Inggris, namun kemudian gaungnya begitu cepat merambat ke seluruh dunia. Seperti halnya 'genre Alay' di Indonesia, generasi Punk juga memiliki karakter menantang mainstream dan tradisi yang ada. Dalam hal musik, mereka membuat jenis musik yang benar benar berbeda dan menyeleweng dari pakem. Dandanan mereka juga aneh, unik dan cenderung melawan mode.

Lantas, apakah perilaku Alay yang melanda banyak remaja kita adalah sesuatu yang berbahaya dan harus di berantas ???.
Jawabannya bisa iya dan tidak. Tergantung bagaimana kita mendefinisikan dan menafsirkan perilaku di atas.

Menurut hemat penulis, Alay tidak bisa di samakan dengan tindakan kriminal semisal tawuran, narkoba, pemerasan, kekerasan atau juga seks bebas. Itu sesuatu yang berbeda dan memang kita semua harus mulai membedakan antara remaja yang benar benar Alay dan remaja yang memang kriminal. Sama halnya dengan kemunculan genre Punk di Inggris. Dalam kacamata sosial kemunculannya di baca sebagai bentuk pemberontakan terhadap sebuah sistem yang di rasa tidak adil, rakus, eksploitatif dan jauh dari rasa kemanusiaan. Punk, tak bisa di pungkiri lagi di awaki oleh mereka yang merupakan anak anak kaum pekerja. Kaum buruh yang termarjinalkan. Perilaku nylenehnya lebih banyak di dasari atas rasa frustasi mereka menghadapi tekanan yang begitu hebat akibat kebijakan yang tidak adil dan tidak manusiawi.

Sangat alamiah tentunya. Ketika sebuah kondisi sosial ekonomi kemasyarakatan ternyata menciptakan gap yang terlalu lebar, maka akan muncul sebuah perlawanan yang berasal dari pihak yang kalah. Dan dimana mana, korban yang paling menderita tentu saja anak anak. Sayangnya, ini jarang sekali di baca dan di cermati dengan baik oleh pihak pihak yang berkepentingan. Bahkan perilaku nyleneh ini malah di anggap sebagai musuh utama yang kalau perlu di berangus hingga ke akar akarnya. Padahal jika kita telaah lebih dalam, justru kesalahan terbesar ada di pihak orang tua dan pelaksana kebijakan yang dalam hal ini adalah pemerintah yang lalai, berlebihan dan tidak memahami psikologis anak.

Contoh kongrit saja, berapa banyak anak anak yang seharusnya mendapatkan waktu yang cukup untuk bersosialisasi dengan lingkungan, tapi di paksa menghabiskan seluruh waktunya di bangku pendidikan. Pagi pagi buta mereka berangkat ke sekolah. Berfikir tentang mata pelajaran yang jumlahnya tak terkira. Dan itu masih harus di tambah dengan materi materi lain semisal les, ataupun materi di luar mata pelajaran, demi sebuah cita cita mencerdaskan otak anak. Itu berlangsung selama setengah hari. Sampai di rumah, waktu yang tersisa hanya untuk istirahat tidur siang, karena sore harinya mereka kembali di paksa menjalani rutinitas belajar mengajar di lembaga informal. Ini belum termasuk persoalan lain, semisal mempekerjakan anak dengan pekerjaan yang di luar kewajiban anak.

Jadi kalau anak anak remaja kemudian mencoba melakukan pemberontakan menurut kadar pikirannya, itu sesuatu yang alamiah. Karena lingkungan memaksa mereka untuk melawan. Jangankan mereka yang usia anak anak, orang tuapun kalau di paksa kerja di luar batas kewajaran oleh perusahaan tempat mereka bekerja, tentu akan mengalami stres luar biasa. Dalam skup yang lebih luas, sebuah sistem sosial ekonomi yang cenderung eksplosif, menindas dan tidak adil, sudah barang tentu akan melahirkan masyarakat yang berjiwa pemberontak.


Solusi Produktif Tanpa Mencederai

Ada sebuah kaidah menarik dalam menangani sebuah masalah yang kami ambil dari prinsip perjuangan para ulama. Yaitu, idza ta'arada mafsadati ru'iya adzamuhuma dlararan birtikabi akhaffihima. Jika terjadi kemungkinan komplikasi yang membahayakan maka yang dipertimbangkan adalah resiko yang terbesar degnan cara melaksanakan yang paling kecil resikonya. Menurut kami, ini adalah jalan tengah yang paling bisa kita lakukan tanpa harus menunggu tindakan yang lebih kongrit dari pemangku kekuasaan untuk melakukan pembenahan.

Perilaku Alay (suka nongkrong, nge genk, melawan mainstream, aneh dsb) yang melanda sebagian besar remaja kita, tentu bukan perkara mudah untuk di hilangkan sama sekali. Maka tindakan yang paling tepat adalah mencegah resiko yang lebih besar. Misalnya, perbuatan perbuatan yang menjurus pada kriminalitas semacam narkoba, tawuran dan sebagainya. Atau perilaku amoral semacam seks bebas.

Perilaku Alay bisa kita terjemahkan sebagai sebuah ekspresi, ide dan gagasan. Sebuah gagasan akan menjadi potensi yang positif manakala kita cerdik mengolahnya. Perilaku anti kemapanan para Alayer di bidang seni tulisan misalnya, jika kita berdayakan dengan baik, bukankah akan menjadi sebuah seni yang luar biasa ?. Dahulu kala, ketika tulisan belum begitu populer, manusia mengekspresikan apa yang ada dalam pikirannya dalam bentuk tradisi lisan. Baik itu cerita ataupun puisi. Kemudian muncul gagasan baru, dengan munculnya seni huruf. Seni inipun terus berevolusi. Tidak hanya bentuknya yang semakin variatif dan lengkap, akan tetapi jenisnya menjadi makin beragam. Maka tak heran jika setiap suku, bangsa maupun komunal memiliki jenis huruf yang berbeda beda. Itu bisa terjadi karena peran yang luar biasa dari mereka yang berpikiran kreatif. Tidak cukup dengan tulisan, evolusi seni kemudian merambah ke bidang musik. Dan lagi lagi, itu semua berangkat dari ide ide yang awalnya di anggap aneh, tapi kemudian karena di kelola dengan baik menghasilkan karya seni yang indah.

Boleh jadi, kreatifitas dalam seni menulis kaum muda Alay suatu saat akan menjadi trend dan kemudian di pakai oleh banyak penduduk dunia. Itu bukan sesuatu yang imposiblle. Bukankah seni huruf yang sekarang kita pakai ini dulu adalah tradisi asing dan aneh ?. Tapi toh kita terima dengan senang hati dan menjadi bagian dari sebuah karya seni yang elok.

Lantas, kenapa kita harus berpusing pusing ria, manakala para remaja dengan segala kemampuan olah berfikirnya menciptakan sebuah karya unik ?.

So, mari kita kawal Alayer. Dan jangan bunuh mereka!!!!

1 komentar: