Harlah, Natal, dan Maulid
Natal, dalam kitab suci Alqur'an disebut sebagai "yauma
wulida" (hari kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir
dijelaskan sebagai hari kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip: "kedamaian
atas orang yang dilahirkan (hari ini)" (salamun yauma wulid) yang dapat
dipakaikan pada beliau atau kepada Nabi Daud.
Pict : edypekalongan.blogspot.comOleh : KH Abdurrahman Wahid
Menggunakan ketiga kata di atas dalam satu napas tentu
banyak membuat orang marah. Seolah-olah penulis menyamakan ketiga peristiwa itu
karena bagi kebanyakan Muslimin, satu dari yang lain sangat berbeda artinya.
Harlah (hari lahir) digunakan untuk menunjuk pada saat
kelahiran seseorang atau sebuah institusi.
Dengan demikian, ia memiliki "arti biasa" yang
tidak ada kaitannya dengan agama. Sementara bagi Muslimin, kata Maulid selalu
diartikan saat kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Kata Natal bagi kebanyakan orang, termasuk kaum Muslimin dan
terlebih -lebih umat Kristen, memiliki arti khusus yaitu hari kelahiran Isa Al
-Masih.
Karena itulah, penyamaannya dalam satu napas yang
ditimbulkan oleh judul di atas dianggap "bertentangan" dengan ajaran
agama. Karena dalam pandangan mereka, istilah itu memang harus dibedakan satu
dari yang lain. Penyampaiannya pun dapat memberikan kesan lain, dari yang
dimaksudkan oleh orang yang mengucapkannya.
Natal, yang menurut arti bahasanya adalah sama dengan kata
harlah, hanya dipakai untuk Nabi Isa al-Masih belaka. Jadi ia mempunyai arti
khusus, lain dari yang digunakan secara umum -seperti dalam bidang kedokteran,
seperti perawatan prenatal yang berarti "perawatan sebelum kelahiran".
Yang dimaksud dalam peristilahan 'Natal' adalah saat Isa Al-Masih dilahirkan ke
dunia oleh "perawan suci" Maryam.
Karena itulah ia memiliki arti tersendiri, yaitu saat
kelahiran anak manusia bernama Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia. Karena
kaum Nasrani mempercayai adanya dosa asal. Anak manusia yang bernama Yesus
Kristus itu sebenarnya adalah anak Tuhan, yang menjelma dalam bentuk manusia,
guna memungkinkan "penebusan dosa" tersebut.
Sedangkan Maulid adalah saat kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Pertama kali dirayakan kaum Muslimin atas perintah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi
dari Dinasti Mamalik yang berkebangsaan Kurdi itu. Dengan maksud untuk
mengobarkan semangat kaum Muslimin, agar menang dalam Perang Salib (crusade),
maka ia memerintahkan membuat peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad tersebut,
enam abad setelah Rasulullah wafat.
Peristiwa Maulid itu hingga kini masih dirayakan dalam
berbagai bentuk, walaupun Dinasti Sa'ud melarangnya di Saudi Arabia. Karya-
karya tertulis berbahasa Arab banyak ditulis dalam puisi dan prosa untuk
"menyambut kelahiran" itu.
Karenanya dua kata (Natal dan Maulid) yang mempunyai makna
khusus tersebut, tidak dapat dipersamakan satu sama lain, apa pun juga
alasannya. Karena arti yang terkandung dalam tiap istilah itu masing -masing berbeda
dari yang lain, siapapun tidak dapat membantah hal ini.
Sebagai perkembangan "sejarah ilmu", dalam bahasa
teori Hukum Islam (fiqh) kedua kata Maulid dan Natal adalah "kata yang
lebih sempit maksudnya, dari apa yang diucapkan" (yuqlaqu al'am wa yuradu
bihi al -khash). Hal ini disebabkan oleh perbedaan asal-usul istilah tersebut
dalam sejarah perkembangan manusia yang sangat beragam itu. Bahkan tidak dapat
dimungkiri, bahwa kata yang satu hanya khusus dipakai untuk orang -orang
Kristiani, sedangkan yang satu lagi dipakai untuk orang-orang Islam.
Natal, dalam kitab suci Alqur'an disebut sebagai "yauma
wulida" (hari kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir
dijelaskan sebagai hari kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip: "kedamaian
atas orang yang dilahirkan (hari ini)" (salamun yauma wulid) yang dapat
dipakaikan pada beliau atau kepada Nabi Daud.
Sebaliknya, firman Allah dalam surat al-Maryam:
"Kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku" (al-salamu 'alaiyya
yauma wulidtu), jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi Isa. Bahwa kemudian
Nabi Isa "dijadikan" Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah suatu hal
yang lain lagi, yang tidak mengurangi arti ucapan Yesus itu.
Artinya, Natal memang diakui oleh kitab suci al-Qur'an, juga
sebagai kata penunjuk hari kelahiran-Nya, yang harus dihormati oleh umat Islam
juga. Bahwa, hari kelahiran itu memang harus dirayakan dalam bentuk berbeda,
atau dalam bentuk yang sama tetapi dengan maksud yang berbeda, adalah hal yang
tidak perlu dipersoalkan. Jika penulis merayakan Natal adalah penghormatan
untuk beliau dalam pengertian yang penulis yakini, sebagai Nabi Allah SWT.
Sedangkan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (Saladin the
Saracen), penguasa dari wangsa Ayyub yang berkebangsaan Kurdi/ non-Arab itu,
enam abad setelah Nabi Muhammad SAW wafat, harus berperang melawan orang-orang
Kristiani yang dipimpin Richard berhati singa (Richard the Lion Heart) dan
Karel Agung (Charlemagne) dari Inggris dan Prancis untuk mempertanggungjawabkan
mahkota mereka kepada Paus, melancarkan Perang Salib ke tanah suci.
Untuk menyemangatkan tentara Islam yang melakukan peperangan
itu, Saladin memerintahkan dilakukannya perayaan Maulid Nabi tiap-tiap tahun,
di bulan kelahiran beliau. Bahwa kemudian peringatan itu berubah fungsinya,
yang tidak lagi mengobarkan semangat peperangan kaum Muslimin, melainkan untuk
mengobarkan semangat orang-orang Islam dalam perjuangan (tidak bersenjata) yang
mereka lakukan, itu adalah perjalanan sejarah yang sama sekali tidak
mempengaruhi asal-usul kesejarahannya.
Jadi jelas bagi kita, kedua peristiwa itu jelas mempunyai
asal- usul, dasar tekstual agama dan jenis peristiwa yang sama sekali berbeda.
Ini berarti, kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut menghormati hari
kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal. Mereka bebas merayakannya
atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama. Penulis
menghormatinya, kalau perlu dengan turut bersama kaum Kristiani merayakannya
bersama-sama.
Dalam literatur fiqh, jika kita duduk bersama-sama dengan
orang Lain yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang Muslim
diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak turut dalam
ritual kebaktian. Namun hal ini masih merupakan "ganjalan" bagi kaum
muslimin pada umumnya, karena kekhawatiran mereka akan "dianggap"
turut berkebaktian yang sama.
Karena itulah, kaum Muslimin biasanya menunggu di sebuah
ruangan, sedangkan ritual kebaktian dilaksanakan di ruang lain. Jika telah
selesai, baru kaum Muslimin duduk bercampur dengan mereka untuk menghormati
kelahiran Isa al-Masih.
Inilah "prosedur" yang ditempuh oleh para pejabat
kita tanpa mengerti sebab musababnya. Karena jika tidak datang melakukan hal
itu, dianggap "mengabaikan" aturan negara, sebuah masalah yang sama
sekali berbeda dari asal-usulnya.
Sementara dalam kenyataan, agama tidak mempersoalkan seorang
pejabat datang atau tidak dalam sebuah perayaan keagamaan. Karena jabatan
kenegaraan bukanlah jabatan agama, sehingga tidak ada keharusan apapun untuk
melakukannya.
Namun seorang pejabat, pada umumnya dianggap mewakili agama
yang dipeluknya. Karenanya ia harus mendatangi upacara-upacara keagamaan yang
bersifat 'ritualistik', sehingga kalau tidak melakukan hal itu ia akan dianggap
'mengecilkan' arti agama tersebut.
Itu adalah sebuah proses sejarah yang wajar saja. Setiap
negara Berbeda dalam hal ini, seperti Presiden AS yang tidak dituntut untuk
mendatangi peringatan Maulid Nabi Saw. Di Mesir umpamanya, Mufti kaum
Muslimin-yang bukan pejabat pemerintahan- mengirimkan ucapan selamat Natal
secara tertulis, kepada Paus Shanuda (Pausnya kaum Kristen Coptic di Mesir).
Sedangkan kebalikannya terjadi di hari raya Idul Fitri dan
Idul Adha, bukan pada hari Maulid Nabi SAW. Padahal di Indonesia pejabat
beragama Kristiani, kalau sampai tidak mengikuti peringatan Maulid Nabi SAW
akan dinilai tidak senang dengan Islam, dan ini tentu berakibat pada karier
pemerintahannya.
Apakah ini merupakan sesuatu yang baik atau justru yang
buruk, penulis tidak tahu. Kelanjutan sejarah kita sebagai bangsa, akan
menunjukkan kepada generasi-generasi mendatang apakah arti moral maupun arti
politis dari "kebiasaan" seperti itu.
Di sini menjadi jelas bagi kita, bahwa arti pepatah lain
padang lain ilalang, memang nyata adanya. Semula sesuatu yang mempunyai arti
keagamaan (seperti perayaan Natal), lama-kelamaan "dibudayakan" oleh
masyarakat tempat ia berkembang. Sebaliknya, semula adalah sesuatu yang
"dibudayakan" lalu menjadi berbeda fungsinya oleh perkembangan
keadaan, seperti Maulid Nabi saw di Indonesia.
Memang demikianlah perbedaan sejarah di sebuah negara atau
di kalangan suatu bangsa. Sedangkan di negeri lain orang tidak pernah
mempersoalkannya baik dari segi budaya maupun segi keyakinan agama. Karenanya,
kita harus berhati-hati mengikuti perkembangan seperti itu. Ini adalah sebuah
keindahan sejarah manusia, bukan? *
Jerusalem, 20 Desember 2003
Penulis adalah Presiden RI ke 4
Penulis adalah Presiden RI ke 4
Sumber : http://media.isnet.org/antar/etc/GusDurNatal.html
Saya muslim dan saya ucapkan selamat merayakan natal bagi yang merayakannya. Damai.
BalasHapus