Bidadari Yang Terbuang
“Aku di usir suamiku, Hen…” ucap Garnida sembari menghempaskan tubuhnya di atas ranjang tempat tidurku.
“Di usir gimana ?” sahutku segera bangkit.
Ku
perhatikan baik baik wajah temanku sejak masih SMP ini. Tak biasanya
wajah Garnida begini kusutnya. Datang dengan muka masam, dandanan ala
kadarnya, mata sembab dan tak bergairah.
“Akunya sih yang salah…”.
“Kok ?” makin penasaran.
“Aku nyesel, kenapa dulu aku mesti menutupi semua ini” ungkapnya dengan nada pelan.
“Maksudmu ?”.
“Iya, aku nyesel kenapa dulu nggak terus terang saja kalau sebenarnya aku udah nggak perawan lagi”.
Setelah berkata demikian, Garnida terdiam.
“Trus ?”.
Garnida
tak langsung menjawab. Bibirnya bergetar pelan, bola matanya meredup
seiring dengan buliran air mata yang perlahan menyembul dari kelopaknya.
Beberapa saat kemudian tangisnya meledak tak tertahankan.
“Dia menceraikanku…” ucapnya terbata.
Garnida & Hen (model : Gubraker) |
Aku
menarik nafas panjang. Berusaha untuk memahami apa yang kini bergejolak
di dalam diri Garnida. Sebuah kehancuran yang luar biasa perihnya.
Bukan saja karena ia akan kehilangan suami yang bakal menjadi tumpuan
hidup, akan tetapi juga kehilangan segala hal yang menjadi modalnya
untuk menatap masa depan.
Mungkin, sebagian orang akan
bersikap skeptis seraya mengarahkan segala tudingan kesalahan pada
Garnida. Wanita jalang, wanita tak punya harga diri, wanita tak setia,
wanita yang bersedia di tiduri oleh siapa saja dan seabrek tuduhan lain
yang sudah pasti menambah pedih penderitaannya. Tapi bagiku, Garnida
adalah pribadi yang baik. Hanya nasib baik saja yang tak pernah berpihak
padanya.
Aku mengenalnya bukan hanya sekarang saja. Tapi
sejak kami sama sama duduk di bangku SMP. Terlahir dari keluarga yang
secara ekonomi serba sederhana atau boleh di bilang kekurangan,
berpenampilan pas pasan, dan prestasi di sekolahanpun tergolong kurang
menonjol. Kendati dalam banyak hal kami berbeda, tapi sejujurnya aku
begitu kagum dengan karakternya. Dia anak yang tak mudah mengeluh.
Bahkan ketika ia harus menyisakan waktunya untuk bekerja paruh waktu
demi membantu ekonomi keluarganyapun, semua ia jalani dengan perasaan
nyaris seperti tanpa beban. Dalam pergaulan, Garnida adalah sosok yang
care, familiar dan menyenangkan. Kendati kadang kadang sedikit nakal,
terutama dengan kebiasaannya membolos sekolah. Tapi aku bisa memaklumi
itu semua. Beban hidupnya cukup berat, jadi wajar kalau ia mengabaikan
beberapa mata pelajaran yang ia anggap tidak penting dan lebih memilih
pekerjaannya.
Selepas SMP, kami memang tidak lagi bersama.
Aku melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, sementara Garnida
memilih untuk bekerja di sebuah restoran tempat ibunya pernah menjadi
juru masak di sana. Namun demikian, persahabatan kami tidak berarti
putus. Kami masih sering bertemu, saling menghubungi dan bercerita
kesana kemari mengenai kisah hidup kita masing masing.
“Kamu
tetep sahabat terbaikku, Hen. Walaupun orangtuaku kini menjodohkan aku
dengan tua bangka pemilik restoran itu” kata Garnida tetap dengan
gayanya yang sedikit koboy.
“Tapi kamu mau khan sama dia ?” godaku.
“Idiihhh…!”
kelitnya sengit, “kalau bukan karena dia banyak sekali membantu
keluargaku, manalah mungkin cewek secantik aku mau menikah dengan tua
bangka bekas suami orang itu”.
“Aku nggak ingin nasib keluargaku begini terus, Hen”.
Aku
hanya bisa mengangguk dan berharap semoga setelah menikah dengan sang
pemilik restoran itu kehidupan Garnida jauh lebih baik. Minimal, ia tak
perlu lagi pusing dengan segala tetek bengek kebutuhan hidup.
Tapi,
sepertinya doaku belum akan terkabulkan. Pernikahan mereka tiba tiba di
batalkan secara sepihak. Anak anak sang pemilik restoran itu menolak
keras rencana orang tuanya menikah dengan Garnida. Entah karena takut
harta kekayaan orang tuanya jatuh ke tangan Garnida atau sebab lain, aku
tak mengerti persis. Yang jelas pernikahan itu akhirnya batal.
Bukan
sekedar pernikahan itu batal, tapi tak berapa lama kemudian Garnida di
pecat dari pekerjaannya. Keadaan ini tentu saja sangat memukul keluarga
Garnida. Walaupun hanya berstatus sebagai pelayan, tapi pekerjaan itu
sangat penting bagi kelangsungan denyut nadi kehidupan keluarga Garnida.
Belum cukup sampai di situ, bahkan belakangan Garnida menceritakan
sebuah kisah yang lebih tragis lagi.
“Dia sudah mengambil kehormatanku, Hen…”.
“Apa ???” aku kaget bukan main.
“Aku pikir nggak apa apa berkorban, toh tak lama lagi ia akan menikahiku”.
“Iya, tapi…”.
“Persoalannya rumit Hen. Kamu tahu sendiri khan ?” Garnida membela diri.
“Dan kamu nggak menuntut tua bangka itu ?” tanyaku setengah emosi.
“Sudah” jawabnya, “dia memberi kompensasi sebesar lima juta ke keluargaku”.
Glek!!!
“Lima juta ?. Hanya lima juta ?” aku tak habis pikir.
“Kenapa, Hen ??” tangkis Garnida.
“Keperawanan, Da…..keperawanan. Mahkota paling berharga. Cuma kamu gadai dengan….?”.
“Tutup
mulutmu, Hen!!!” bentak Garnida marah. Matanya yang bulat nanar menatap
penuh emosi ke arahku. Sepertinya ia sangat tersinggung dengan kata
kata yang baru saja aku ucapkan.
“Maafkan aku….” ucapku pelan. Garnida hanya terdiam. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
Lima
juta untuk sebuah keperawanan. Harga yang pantas ?. Mungkin saja. Tapi
apakah Garnida sudah berpikir lebih jauh ke depan ketika menyetujui
kompensasi itu ?. Bagaimana kelak masa depan dia, manakala ia menemukan
tambatan hatinya yang baru, kemudian mereka menikah, lalu terbukalah aib
Garnida ?.
“Aku tahu, itu memalukan dan memilukan, Hen” ucap Garnida mulai mencair.
Aku tak menjawab, hanya melempar tatapan ke arahnya sejenak lalu menyediakan diri untuk mendengar keluh kesahnya.
“Aku
tak punya pilihan lain. Bukan hanya keluarga dia menolak mentah mentah
kehadiranku, tapi aku sendiri tak pernah bisa mencintainya. Apa yang aku
lakukan tidak lebih hanya sedikit caraku untuk memenuhi keinginan orang
tuaku. Dan aku tahu konsekuensinya”.
Aku mengangguk,
sembari lagi lagi berharap agar di masa depan, Garnida mendapatkan
seorang pria yang mau menerima dia apa adanya. Dia wanita yang hebat.
Wanita kuat yang tidak pernah berpikir untuk memuaskan kepentingannya
sendiri. Dan selayaknya mendapatkan jodoh yang hebat pula.
******************************************
Sebulan
kemudian aku mendengar dari Garnida bahwa ada seorang pria yang serius
mendekatinya. Seorang pria yang menurut Garnida lebih muda darinya satu
tahun. Anak orang kaya, masih duduk di bangku kuliah dan yang
terpenting, saleh.
“Walaupun masih muda, tapi pemikirannya matang loh Hen” Garnida memuji.
“Pandai, taat beribadah, santun dan dewasa banget. Pokoknya gue banget….”.
“Dia udah tahu kalau….” aku tak berani melanjutkan.
“Itu yang membuatku mempercayainya” potong Garnida seolah mengerti apa yang ada dalam pikiranku.
“Maksudmu ?”.
“Aku
udah jelasin masalahku sama dia, dan dia bilang nggak masalah. Dia
mencintaiku tulus, nggak peduli apakah aku masih perawan atau tidak. Dia
hanya meminta sedikit waktu untuk menyelesaikan kuliahnya, baru nanti
dia janji mau melamarku”.
Lega hatiku mendengar cerita
sahabatku. Walaupun masih harus menunggu dalam jangka waktu lama, tapi
setidaknya luka Garnida memiliki harapan untuk mendapatkan sosok imam
yang mengerti dan menerima dia apa adanya.
“Kamu sendiri gimana hubunganmu dengan Fahmi ?” tanya Garnida tiba tiba.
Deg….!!!.
Aku
sedikit terkejut dengan pertanyaan mendadak Garnida. Sebuah pertanyaan
yang sepertinya mengingatkanku akan seorang pria yang telah memacariku
sejak lama, tapi karena satu dan lain hal ia terpaksa pergi jauh entah
kemana.
“Masih jalan kok” kilahku berusaha menutupi.
“Kapan mau nikah ?” Garnida mendekatkan wajahnya.
“Mmmm…nanti juga aku kabari” jawabku sekenanya.
“Sebenarnya dia merantau di mana sih, Hen?”.
Gila, ini anak mau tahu aja.
“Jauh. Mmmm…di negeri jiran. Sudahlah, nanti juga kamu tahu” kataku tak bersemangat.
“Oooo…!” Garnida menyerah.
“Nanti kita nikahnya bareng aja, Hen…”.
“Semoga saja…”.
***************************
Sejujurnya
saja aku tak terlalu tertarik dengan kisah asmaraku sendiri. Selain
tidak layak untuk di ingat, aku justru lebih terpesona dengan perjalanan
hidup Garnida yang begitu penuh liku liku, penuh aral berduri dan
menjadi teladan berharga. Kata terakhir inilah yang sejatinya membuatku
merasa perlu untuk belajar dari sosok Garnida. Wanita hebat yang tak
pernah menyerah pada keadaan. Hidup dalam ketidakmampuan, di hantam
berbagai macam persoalan, namun tetap memiliki semangat untuk terus
melangkah.
Dan yang membuatku lebih tertarik lagi adalah
kisah Garnida selanjutnya. Pria yang sejak awal di bangga banggakan oleh
Garnida sebagai sosok yang santun, taat beribadah, dewasa dan menerima
apapun keadaan Garnida nyatanya seiring perjalanan waktu tak seindah
yang di kira.
“Anjing!!!. Bangsat!!!” maki Garnida sembari membanting sepatunya di lantai teras rumahku.
Garnida
yang setiap kali datang selalu mengumbar senyum dan cerita manis akan
kisah asmaranya dengan mahasiswa ‘saleh’ itu kini tak ubahnya seperti
cacing yang menggeliat geliat di terjang teriknya matahari.
“Ada apa, Da ?. Kayaknya ada masalah ya ?” selidikku.
“Mahasiswa bedebah itu…”tudingnya berapi api.
“Iya kenapa ?”.
“Dia nggak ada bedanya sama anjing tua bangka yang dulu merenggut kehormatanku, Hen. Bahkan dia lebih gila lagi….”.
“Serius, Da ?”.
“Iya…!!!” tegasnya.
“Bukankah kamu bilang dia anak baik yang taat beribadah ?” aku setengah menyanggah.
“Taat beribadah taek….!!!. Muka kayak ustadz tapi kelakuan kayak bangsat!!!” maki Garnida tak karuan.
“Kamu tenang dulu deh, certain yang sebenarnya…” hiburku.
“Dia
jebak aku di kosnya. Dia suguhi aku dengan minuman yang entah di campur
dengan apa. Tapi yang jelas ketika aku sadar, aku udah dalam keadaan
bugil di kamar kosnya”.
“What ????” terbeliak mataku mendengar cerita menyeramkan dari Garnida.
“Ketika
aku tersadar, aku tak lagi melihat batang hidungnya. Bahkan barang
barang di kosnya raib semua. Aku tanya teman temannya, katanya dia pergi
entah kemana. Aku cari ke tempat dia kuliah…”.
“Trus, kamu dapat ?”.
“Dapat apanya ?” sungutnya, “dosennya malah bilang kalau nama itu tidak ada di daftar mahasiswa yang belajar di situ”.
“Astagfirullahal adzim, Da…..” ucapku tak kuasa menahan rasa kasihan.
Kupeluk sahabat sejatiku ini erat erat.
“Sabar ya, Da…” hiburku.
“Nanti juga ada balasannya kok…”.
Kami
hanya sesenggukan tanpa ada sepatah katapun. Ujian dan cobaan yang
menimpa Garnida benar benar terlampau berat untuk di panggul. Dua kali
di bohongi, dua kali di gagahi dan dua kali di khianati.
Kadang
aku berpikir, apa gerangan yang ada di pikiran para laki laki ?. Apakah
semua laki laki memang seperti itu ?. Memandang wanita hanya sekedar
obyek. Yang hanya untuk di rayu, di buai dengan kata kata manis, lalu di
renggut kehormatannya dan akhirnya di buang jika sudah tidak di
butuhkan ?. Tidak pernahkah mereka bertanya, bagaimana rasanya di
campakkan ?.
Anjing!!!
***********************
Pasca
peristiwa itu, Garnida menjadi sosok yang lebih banyak diam. Sebagai
kawan, tentu aku akan berusaha mungkin menghibur dia, memberinya
semangat untuk menjadi dirinya yang selama ini sangat aku kagumi.
“Aku
akan sediakan banyak waktu untukmu, Da. Bahkan kalau kamu bersedia
tinggal di sini, aku nggak keberatan. Aku bisa ngomong ke orang tuaku.
Mereka pasti ijinin kok. Lagian aku juga butuh teman ngobrol”.
“Nggak, Hen. Makasih. Aku masih bisa sendiri kok. Nanti aja kalau udah mentok, aku minta tolong kamu” katanya berusaha tegar.
Sekali
lagi aku di suguhi pribadi yang ketahanan mentalnya luar biasa. Dan
rupanya itu bukan yang terakhir di pertontonkan sang Garnida. Dua tahun
sejak penghinaan yang di lakukan mahasiswa bejat padanya, Garnida
memperoleh setitik harapan hidup. Seorang lelaki sederhana, yang datang
dari keluarga biasa melabuhkan cintanya pada Garnida. Tidak butuh waktu
yang lama, keduanya kemudian menikah di bawah sumpah.
Aku
sempat terharu menyaksikan sahabat baikku ini akhirnya menemukan sesuatu
yang selama ini begitu di idam idamkan. Pria baik, pria yang di
harapkan mampu menjaganya dan imam yang bisa mengantar Garnida pada
kehidupan yang lebih cerah. Tapi rupanya, Tuhan menunjukkan jalan yang
lain…
“Aku berharap malam itu menjadi malam yang paling
indah sepanjang hidupku. Aku siapkan diri sebaik mungkin demi
membahagiakannya. Tapi….”.
“Dia akhirnya mengetahui bahwa kamu sudah tidak perawan lagi ?” potongku menerka.
“Ya…”.
Kali ini suara Garnida terdengar seperti orang yang sudah pasrah.
“Dulu
aku jujur sama mahasiswa itu, tapi nyatanya dia hanya manis di muka
saja. Makanya kali ini aku sengaja berbohong. Aku ingin suamiku merasa
bahwa dialah satu satunya pria yang hadir dalam hidupku. Tapi
ternyata….”.
“Kamu nggak mencoba membicarakan baik baik, Da ?” tanyaku, “kali aja dia akan terbuka….”.
“Pengen sih, tapi aku bingung gimana memulainya” keluhnya pasrah.
“Coba dululah, Da…” bujukku.
Garnida
hanya terdiam. Matanya terpejam. Nafasnya mengalir perlahan lahan.
Seolah ia ingin sekali terlelap dalam mimpi dan bertemu malaikat
malaikat surga.
Aku terpaku dalam lamunanku. Mengenang
nasibku sendiri. Yang mungkin lebih baik dari Garnida. Di renggut sekali
saja sudah membuatku begitu mati rasa dan seolah tak punya harapan
hidup lagi di dunia. Lantas bagaimana sakitnya jika aku mengalami
seperti Garnida ?.
Terima kasih Tuhan. Engkau hanya mengirim satu Fahmi untuk mengujiku. Dan tidak Fahmi Fahmi yang lain…
Jakarta, 25 Februari 2013
Komandan Gubrak
saya sudah baca komandan
BalasHapusceritanya bagus dan bisa dibilang mantab
dapat diambil banyak pelajaran dari cerpen ini.