MAAF, AKU MENCINTAIMU MBAK....
Zastra mengambil sebuah celengan terbuat dari tanah berbentuk
ayam jago yang di atas lemari kamarnya. Memecahkan benda itu lalu
mengais satu persatu lembaran uang kertas dan koin yang berceceran di
lantai.
“ Semoga saja cukup….” pikirnya seraya menghitung uang yang sudah ia kumpulkan selama bertahun tahun itu.
Model : Waelmy
Beberapa
hari yang lalu, seorang pelanggan taksinya mengatakan telah kehilangan
uang dalam jumlah lumayan di dalam kendaraan yang Zastra sopiri. Uang
itu konon di taruh di sebuah kantong kertas berlogo nama sebuah bank dan
jumlahnya sekitar lima juta yang kesemuanya berbentuk pecahan ratusan
ribu.
“Aku nggak bohong, Tra” begitu kata Nitha, perempuan
cantik berkerudung yang sehari hari bekerja di salah satu perusahaan
BUMN dan sudah tiga bulan ini menggunakan jasa kendaraan Zastra.
“Setelah
keluar dari minimarket dan masuk ke mobil, seingatku bungkusan itu
masih aku bawa. Kamu khan tahu sendiri, nggak satupun pelayan di
minimarket yang mengaku melihat bungkusan itu ?”.
Zastra
memutar otaknya. Mengingat beberapa kejadian setelah ia menurunkan Nitha
di depan rumahnya. Setelah mengantarkan Nitha, seingat Zastra ia hanya
mendapat satu penumpang saja yang itu juga salah satu pelanggan lamanya.
“Nggak
mungkin pak Adie mengambil sesuatu yang bukan haknya. Apalagi jumlah
uangnya hanya lima juta. Angka yang terlalu kecil bagi pak Adie yang
seorang kontraktor besar. Kalaupun dia menemukan sesuatu di jok
belakang, pasti pak Adie akan bilang padaku” pikir Zastra menepis
tuduhan pada pelanggan setia yang konglomerat itu.
Pun
juga seperti kebiasaan Zastra setelah menurunkan penumpang, ia pasti
menyisakan waktu sejenak untuk mengecek isi kabin guna memastikan tidak
ada barang yang ketinggalan. Itu sudah standar operasional yang biasa
di lakukan Zastra, selain juga pengecekan secara detail di pool taksi.
Jadi, rasanya sangat tidak mungkin kalau barang itu ketinggalan di
mobil.
“Atau jangan jangan mbak Nitha sendiri yang
mengarang cerita ?” terbersit pertanyaan itu di benak Zastra. Tapi buru
buru pemuda berumur 20an tahun itu menghalau prasangkanya.
Bagi
Zastra, Nitha tidak sekedar pelanggan biasa yang hanya memanfaatkan
jasanya semata. Tapi lebih dari itu, dia adalah harapan. Ya. Semenjak
Zastra mengenal Nitha, ada sesuatu yang sulit di jelaskan dalam diri
Zastra. Ada rasa gembira, manakala jam untuk menjemput langganannya itu
hampir tiba. Ada rasa kecewa, ketika ia harus menurunkan Nitha di depan
rumah dan pergi berpisah dengan pelanggan spesialnya itu. Sehari tak
bertemu Nitha, seolah dunia terasa hambar. Bahkan ketika hari libur tiba
dan kewajibannya untuk mengantar jemput Nitha dari dan ke kantor tidak
ada, pria yang sudah di tinggal mati kedua orang tuanya dan menjadi
tulang punggung bagi adik adiknya ini diam diam seringkali mengarahkan
taksinya hanya sekedar ingin lewat di depan rumah Nitha. Syukur syukur
Nitha sedang ada di teras rumah dan Zastra menyapanya dari kejauhan.
Kalaupun tidak, melihat tempat tinggalnya saja sudah cukup untuk
mengobati rasa kehilangan yang terus menghantui pikiran Zastra.
Zastra
tahu mbak, kalau di antara kita terpisah jurang perbedaan yang luas
lagi dalam. Aku hanya seorang sopir taksi dengan penghasilan tak
seberapa. Hidup di rumah petakan lagi kumuh di tengah menjulangnya
gedung gedung tinggi di kota Jakarta. Sementara, mbak Nitha seorang
pegawai perusahaan bonafid dengan penghasilan yang jauh di atasku.
Tinggal di perumahan mewah yang bahkan pekarangannyapun lebih mahal dari
seisi rumahku.
Aku tak ubahnya pungguk yang
mengukir mimpi indah untuk menggapai bulan di angkasa. Mungkin aku bisa
menyiapkan tangga demi tangga untuk menggapai langit, tapi manakala
angin menerjang, tubuhku akan segera limbung terhempas derasnya badai
kemudian jatuh ke bumi dan hancur berkeping keping.
Aku
sangat mengerti dengan konsekuensi yang sudah pasti aku tanggung. Dan
resiko yang sudah pasti aku terima tentu saja hanya satu pilihan. Gagal.
Tapi, mbak…
Almarhum ibuku selalu mengajarkan.
Hidup boleh susah, tapi tak boleh menyerah. Tuhan tidak menilai sesuatu
dari hasil, tapi dari proses perjuangan gigih yang kita lakukan.
Itulah
senjata terakhir yang menjadi pupuk bagi keberanianku untuk mengatakan
apa gerangan yang sebenarnya terjadi. Sesuatu yang sudah sekian lama aku
pendam dan aku pagari dengan tembok tebal. Namun kini, dinding
bendungan itu luluh lantak di sapu panasnya gelora yang kian hari kian
membesar.
Aku, mencintai mbak…
Demikianlah
beberapa bait kalimat yang Zastra tuliskan di secarik kertas untuk di
selipkan diam diam ke dalam barang bawaan pelanggan istimewanya sore
itu. Zastra sendiri sadar, bahwa tindakan itu sama sekali tidak
mencerminkan sisi paling berani dari seorang pria yang hendak membidik
perempuan pujaan hatinya. Ada sekian banyak waktu yang tersaji di depan
mata untuk mengatakan perasaannya pada Nitha secara langsung. Tapi
sepertinya Zastra tak punya cukup nyali untuk melakukan itu.
“Aku bingung mesti berbuat apa. Ini pertama kalinya aku jatuh cinta….”.
=============================
“Aku sudah baca suratmu, Tra” kata Nitha sesaat setelah taksi yang di tumpanginya melaju.
“Maafin saya, mbak…” ucap Zastra dengan perasaan yang berdebar debar.
“Tulisan tangan kamu bagus”.
“Makasih mbak…”.
“Kamu lulusan apa, Tra ?”.
Zastra
melempar pandangannya ke kaca spion yang ada di langit langit mobilnya.
Dari situ ia bisa melihat seperti apa gerangan tanggapan Nitha atas
tindakannya kemarin.
“Baru lulus SMA dua tahun lalu mbak” jawab Zastra.
“Ooooo…”.
Hanya
itu kalimat yang keluar dari mulut Nitha. Selanjutnya ia terlihat diam
termangu tanpa sepatah katapun keluar dari bibirnya. Zastra berkali kali
mengarahkan tatapannya pada kaca spion di depannya. Berharap ada
jawaban yang keluar dari bibir Nitha. Tapi hingga setengah jam berlalu,
tak sepatahpun kata keluar. Wanita anggun berkulit putih bersih, bermata
tajam dan memiliki sunggingan senyum menggoda itu kini terlihat berbeda
dari biasanya.
Biasanya, ada saja yang di obrolin
perempuan pemilik tubuh langsing itu. Mulai soal kerjaan, kejengkelannya
sama kemacetan yang tidak kunjung selesai, kegemarannya pada musik
musik etnik, hobynya nonton sinetron, soal makanan dan apa saja.
“Sudah nyampai mbak…” Zastra menghentikan laju mobilnya, melempar pandangan pada sosok wanita yang sangat ia kagumi itu.
“Maafin Zas….”.
“Ssssttt….” Potong Nitha seraya mengulurkan beberapa lembar uang kertas.
“Mbak Nitha marah ?” tanya Zastra masih penasaran.
“Nggak…” menggelengkan kepala.
“Trus kenapa diam ?” Zastra merasa mendapat angin untuk mengorek lebih lanjut apa sebenarnya yang ada dalam benak wanita itu.
Nitha diam sejenak. Mengatur nafas lalu melempar tatapan pada Zastra.
“Aku ucapin terima kasih atas kejujuranmu” berhenti sebentar, “itu sanjungan luar biasa untuk mbak. Tapi…”.
“Kenapa mbak?” tembak Zastra.
“Kamu masih muda, Tra. Masih banyak wanita lain yang seumuran denganmu yang bisa kamu dekati” nada suaranya terdengar lemah.
“Kamu tahu berapa umurku, Tra ?. Sudah tua, Tra. Kepala tiga….”.
“Tapi….”.
“Sebaiknya kamu pikirkan baik baik itu. Sebelum kamu menyesal nanti…”.
Setelah
itu Nitha membuka pintu mobil dan berlalu begitu saja meninggalkan
Zastra yang tercengang mendengar apa yang baru saja di ucapkan pujaan
hatinya. Ada pikiran tidak percaya dalam diri Zastra. Bahwa perempuan
yang tiap hari ia antar jemput itu umurnya sudah mencapai angka tiga.
Dari penampilannya, bentuk fisiknya, gaya bicaranya dan semua yang ada
dalam diri Nitha sama sekali tak menggambarkan ia sudah berumur sangat
matang.
“Ah, bodo amat. Siapapun kamu, aku tak peduli.
Sekali layar terkembang, pantang surut kembali…” sumpah Zastra
menggumpalkan tekadnya.
Apa yang di katakan Nitha bukanlah
sebuah penolakan. Nitha hanya memberitahunya untuk berpikir masak masak
akan konsekuensi mencintai wanita yang lebih tua. Atau bisa jadi Nitha
hanya ingin memastikan sejauh mana kebulatan hati Zastra. Jika demikian
adanya, tak ada alasan bagi Zastra untuk mundur.
========================================
“Akhir
akhir ini kamu kelihatannya gembira sekali, Zas ?” tanya pak Adie,
langganan Zastra yang seorang direktur sebuah perusahaan itu.
“Ahh…bapak ini ada ada aja. Khan biasanya selalu begini” sahut Zastra memacu kendaraannya.
“Kelihatan
dari penampilanmu. Biasanya nggak klimis, kok sekarang ?. Ha ha ha…”
gelak tawa pria berumur lima puluhan tahun itu entah mengapa tiba tiba
saja meledak.
“Bukan gitu pak. Khan untuk menyenangkan
pelanggan, mesti tampil sempurna. Begitu khan yang bapak ajarin…” Zastra
memberi alasan.
“Eh, ini kartu nama siapa Zas ?” tiba
tiba pak Adie menyodorkan sebuah kartu berisi foto wanita cantik dan
bertuliskan sebuah nama yang sangat di kenalnya. Rini Yunitha. Nitha….
“Aku menemukannya terselip di jok mobil” lanjut lelaki tua itu.
“Ooohh…” sedikit gugup, “itu pelanggan saya juga pak”.
“Cantik ya, Zas…?. Masih muda lagi”.
“Iya, pak”.
“Kamu kalau mau cari istri, kayak dia itu Zas” saran pak Adie dengan suara parau.
“Maunya sih pak. Tapi ya nggak tahu juga. Apa dia mau sama saya…?” Zastra terus terang.
“Lohhhh….kamu beneran suka sama yang di foto itu?” sembur pak Adie terkaget kaget.
“Mmmm…eee….iya sih, pak” tersipu.
“Serius ?”.
“Yakin, pak” jawab Zastra mantab.
Perbedaan
usia bukan segala galanya. Toh kalau jalan berdua, tidak aka nada yang
mengira kalau antara dirinya dan Nitha terpaut umur yang cukup jauh. Apa
yang baru saja di ucapkan pak Adie soal foto wanita di kartu nama itu
makin menebalkan keyakinan Zastra untuk terus berjuang mendapatkan
wanita yang selama ini ia kagumi. Apapun rintangannya.
Sore itu selepas mengantarkan pak Adie, sebuah telpon datang dari Nitha.
“Bisa jemput aku nggak, Tra ?. Ini aku lagi di terminal Lebak Bulus” kata Nitha dari ujung sana.
“Ngapain di sana, mbak ?” tanya Zastra.
“Ada keperluan dikit. Bisa nggak ?. Kalau nggak, ntar aku cari taksi lain aja”.
“Iiiyaa…ya…tunggu sebentar”.
Tanpa
banyak bertanya lagi Zastra segera mengarahkan taksinya menuju Lebak
Bulus. Kebetulan posisi Zastra lagi ada di kawasan Pasar Rebo. Jadi
hanya butuh waktu seperempat jam dengan melewati jalan tol untuk sampai
ia sampai di tempat tujuan. Sesampainya di area penjemputan, dari
kejauhan sesosok perempuan yang di apit oleh dua lelaki remaja berumur
belasan tahun melambaikan tangan ke arah Zastra.
“Mbak….” sahut Zastra segera menyongsong.
“Cepet banget, Tra ?”.
“Iya,
mbak. Tadi kebetulan ada di Pasar Rebo” jawab Zastra kemudian
mengalihkan pandangannya pada dua remaja yang ada di samping Nitha.
“Ini siapa, mbak ?” Zastra penasaran.
“Mmmm....oh iya, kenalin dulu” kedua tangan Nitha merangkul pundak dua bocah yang umurnya sekitar belasan tahun itu.
“Yang ini namanya, Yudhi” sebelah kanan, “trus yang ini Khalid” menepuk pundak anak yang ada di sebelah kiri.
“Yudhi, Khalid, kenalin tuh om Zastra” Nitha menunjuk pada Zastra. Keduanyapun segera melangkah menyalami Zastra.
“Mereka kembar ?” tanya Zastra.
“Iya….” Nitha menyunggingkan senyum, “mereka ini dua jagoanku”.
“Jagoan ?” Zastra terkejut.
“Maksudnya….?”.
“He’em” angguk Nitha.
“Anak, mbak ?” masih belum percaya.
“Iya. Salah emangnya ?”.
“Ng…..nggak juga sih” Zastra berusaha menutupi rasa keterkejutan yang memenuhi pikirannya.
Nitha
sudah punya anak ?. Pertanyaan itu terus menerus mengganggu pikiran
Zastra di sepanjang perjalanan menuju kediaman Nitha. Antara percaya dan
tidak. Ingin sekali Zastra meminta penjelasan pada Nitha waktu itu
juga. Tapi melihat wanita pujaannya sedang asyik bercengkerama dengan
kedua remaja itu, Zastra memilih untuk menahan diri.
Sesampainya
di halaman rumah Nitha, Zastra menghentikan kendaraannya. Kedua remaja
yang duduk di sebelah kanan dan kiri Nitha segera menghambur keluar.
Sementara Nitha sibuk terlihat merogoh uang dari dompetnya.
“Kenapa mbak nggak pernah cerita kalau mbak sudah punya anak ?” tanya Zastra tanpa menolehkan wajahnya.
“Penting ?” sahut Nitha.
Zastra terhenyak, memutar badannya lalu menatap nanar penuh selidik pada wanita yang begitu ia cintai itu.
“Kamu kecewa, Tra ?” tanya Nitha lirih.
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Zastra, hanya tatapan matanya saja yang mensyiratkan rasa kegalauan luar biasa.
“Dari
awal aku sudah bilang, kalau aku bukan wanita yang pantas buatmu. Di
luar sana, banyak wanita sebaya denganmu yang lebih layak kamu pilih
daripada aku” diam sejenak menunggu reaksi Zastra.
“Sekarang kamu sudah tahu semuanya, Tra. Aku harap kamu bisa berpikir jernih”.
Zastra
menarik nafas panjang, menyandarkan kepalanya di atas kursi jok tempat
duduknya lalu menangkupkan kedua telapak tangannya ke muka. Sebuah
kenyataan yang mau tidak mau harus ia terima. Tidak saja secara umur
Nitha jauh di atas Zastra, tapi juga kenyataan bahwa ia ternyata sudah
memiliki dua orang anak berumur belasan tahun yang layaknya menjadi adik
Zastra.
Malang benar nasibmu, Zastra
Menggadaikan masa depanmu
Menukar masa mudamu
Menjual harapanmu
Hanya untuk menjadi seorang bapak
Dari dua orang remaja yang seharusnya menjadi adikmu
Tragis sekali takdirmu, Zastra
Cinta yang kau tanam di ladang
Yang kau harapkan tumbuh batang pohon nan kokoh
Dedaunan yang hijau
Dan ranum buah segar menguning
Ternyata hanya menyisakan ranting kering nan lapuk
Dedaunan yang berguguran di hempas angin
Dan bunga bungaan yang tak pernah berubah menjadi buah
Suara
suara itu terus menerus terngiang di telinga Zastra. Menggerogoti
keyakinannya, mengiris kepercayaannya, menggedor batinnya, dan
menghantam semua bangunan yang pernah ia upayakan sekian lama. Cinta
yang tak mudah.
===============================
“Aku sudah temukan uangnya” Zastra menyodorkan bungkusan warna coklat berlogo nama sebuah bank.
“Oh,
beneran ?. Di mana kamu dapetin ini, Tra ?” cepat cepat Nitha meraih
bungkusan coklat itu dari tangan Zastra, membukanya lalu menghitung uang
itu satu demi satu.
“Petugas di pool taksi yang
mengamankan barang itu kebetulan lagi cuti” Zastra mengarang cerita, “
dan baru tadi pagi menyampaikannya padaku”.
“Alhamdulillah….” Nitha tak mampu menyembunyikan kegembiraannya.
“Aku nggak tahu lagi mesti mengatakan apa sama kamu, Tra”.
“Tenang aja, mbak. Yang penting Yudhi dan Khalid bisa kembali ke sekolahnya” hibur Zastra.
“Iya,
Tra. Kalau duit ini nggak segera di temukan, entah dengan apa aku
menutupi kekurangan pembayaran sekolah dua jagoanku itu”.
“Mbak…”.
“Kenapa, Tra ?”.
“Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan”.
“Apa ?”.
“Aku sudah menetapkan hati. Aku sudah memikirkan masak masak” berhenti sejenak.
“Aku
nggak peduli mbak Nitha umurnya jauh di atasku. Aku juga nggak peduli
mbak punya dua anak yang sudah menginjak masa dewasa. Aku akan terima
semua kenyataan ini dengan ikhlas, asal mbak Nitha mau menerima
cintaku…” sampai di situ keringat dingin bercucuran dari balik kening
Zastra.
Nitha mendekatkan wajahnya, menatap mata Zastra dalam dalam. Seolah ingin tahu apa yang sedang di rasakan pria di depannya itu.
“Tra…” kata Nitha lirih.
Zastra mendongak.
“Kamu sadar nggak, apa yang baru saja kamu ucapkan itu justru membuat hatiku makin tersiksa ?”.
“Ketika
aku katakan bahwa umurku jauh lebih tua darimu, aku berharap kamu
mundur teratur. Tapi kenyataannya justru kamu makin nekad. Dan ketika
aku sengaja mengenalkanmu dengan kedua anakku, aku berharap kamu segera
sadar dan mundur atas kemauan sendiri. Tapi apa yang terjadi ?”.
“Kamu malah melakukan hal yang sama sekali di luar dugaanku”.
“Aku mencintai, mbak…” Zastra membela diri.
“Mencintai apa ?” setengah menghardik.
“Aku tulus, mbak…”.
“Tulus ?. Tulus yang seperti apa ?” tantang Nitha.
“Kamu tahu, siapa sebenarnya aku ?”.
“Aku mengenal mbak, lebih dari aku mengenal diriku sendiri” Zastra ngotot.
“Bodoh!!” emosi.
“Mbak…???” Zastra kebingungan.
“Dengar baik baik, Tra” Nitha menarik nafas dalam dalam.
“Nitha yang kamu kenal selama ini, tidak sekedar ibu dari Yudhi dan Khalid” diam sebentar, “ tapi juga berstatus istri orang…”.
“Mbak ???” kali ini Zastra terkejut bukan main. Apa yang baru saja di ucapkan oleh Nitha tak ubahnya petir di siang bolong.
“Kamu
pasti bertanya tanya, kenapa lelaki itu tak pernah kamu lihat di rumah
ini ?” Nitha menjelaskan, “dia memang jarang tinggal di sini. Hanya
sesekali saja berkunjung kemari. Kegiatannya lebih banyak di lakukan di
tempat istri tuanya”.
“Jadi….???” Zastra tercekat.
“Ya” angguk Nitha, “aku hanya istri keduanya”.
Zastra
terpaku dalam kekalutan. Sedih, kecewa, menyesal dan tak tahu harus
berbuat apa. Cintanya pada Nitha sudah kadung mendarah daging dan sulit
sekali untuk di musnahkan begitu saja. Segalanya telah ia lakukan untuk
merebut hati pujaan hatinya itu. Namun nyatanya, cinta itu tidak hanya
bertepuk sebelah tangan, akan tetapi sudah salah sasaran. Mencintai
perempuan yang sudah menjadi milik orang lain.
=============
Rintik
hujan mengiringi kepergian Zastra. Dengan hati di penuhi rasa pedih
Zastra melarikan taksinya menembus kemacetan. Seorang lelaki tua
melambaikan tangan, memaksa Zastra untuk menghentikan kendaraannya. Pak
Adie, pelanggan setia sekaligus pendengar yang baik setiap kali Zastra
menceritakan kisah asmaranya dengan Nitha.
“Tumben, pak Adie ada di sini ?” sambut Zastra berusaha bersikap seperti biasa.
“Kamu baik baik saja, Zas ?” tanya pak Adie seolah tak mempedulikan pertanyaan Zastra.
“Alhamdulillah, pak” lirih.
“Jangan menutupi perasaan, Zas. Bapak tahu semuanya…”.
“Maksud pak Adie ?” saking terkejutnya Zastra sampai menginjak rem mendadak.
“Aku tahu, Nitha sudah menolak cintamu”.
“Darimana pak Adie tahu ?” Zastra penasaran.
Pak Adie tidak segera menjawab. Tangan kanannya merogoh sesuatu dari balik jaket yang ia kenakan.
“Kamu ingat benda ini ?” pak Adie menyodorkan sebuah kantong terbuat dari kertas dengan logo sebuah bank tertera di sana.
“Ini punya mbak Nitha. Kenapa bisa ada di tangan pak Adie ?” Zastra terheran heran.
“Aku
menemukannya di jok taksimu. Aku sengaja menyimpannya dan tidak
memberitahukan padamu. Bukan karena aku menginginkan uang ini, tapi
hanya ingin tahu bagaimana reaksi pemiliknya”.
“Jadi bapak sudah mengenal mbak Nitha ?” Zastra penasaran.
“Uang
ini sebenarnya milikku. Aku memberikannya pada Nitha untuk membayar
kebutuhan sekolah anak anak. Ketika aku menemukannya di jok taksimu, aku
lihat ada kartu nama di dalam kantung ini. Itu yang membuatku yakin
bahwa itu uang Nitha”.
“Jadi, bapak ???”.
“Ya, aku suaminya…”
????
Jakarta, Maret 2013
Oleh : Dhan Gubrack
Tidak ada komentar