Hizbut Tahrir di Ujung Kepunahan
Pagi ini saya
mendengar kabar bahwa salah satu organisasi transnasional bernama Hizbut
Tahrir Indonesia akan menggelar muktamar di Gelora Bung Karno. Mereka
mengklaim akan mengumpulkan tak kurang dari seratus ribu anggotanya di
tempat itu demi meneguhkan kembali cita citanya mendirikan kekhalifahan
dunia.
Banyak yang salut dengan gerakan berideologi asing
ini karena nyatanya mereka terlihat sangat solid dan mampu bertahan di
tengah negeri yang semi sekuler. Tapi juga banyak pula yang bernada
khawatir menyaksikan sepak terjang organisasi yang di bentuk di Al Qud
Palestina ini. Bagi penulis pribadi, sepanjang pengamatan kami di
berbagai belahan dunia, sepak terjang Hizbut Tahrir tidaklah terlalu
istimewa. Simak saja di media media online maupun media massa. Porsi
pemberitaan tentang Hizbut Tahrir tidak pernah mendominasi, terutama
dalam hal hal yang positif. Kecuali media media milik mereka sendiri.
Berita Hizbut Tahrir di media media indpenden lebih banyak bercerita
tentang penangkapan aktifis HT, pembubaran organisasi itu dan konflik HT
dengan organisasi islam lain.
Dari segi kemampuan
mencapai tahapan tahapan cita cita politik, HT juga terkesan biasa biasa
saja, bahkan terus menerus mengalami kemunduran. Kita bisa melihat di
ajang revolusi yang marak di Timur Tengah. Mulai dari Tunisia, Yaman,
Mesir, Libya dan lain sebagainya. Memang, dalam beberapa bagian, HT juga
turut serta dalam aksi menggulingkan pemerintah. Akan tetapi peranannya
tidaklah terlalu signifikan. Bahkan terkesan hanya membonceng revolusi.
Itupun tidak sampai ke tempat tujuan. Ketika kaum revolusioner berhasil
menumbangkan pemerintah, tetap saja HT tidak di libatkan. Bahkan
adakalanya malah kader kadernya di tangkapi oleh pemerintah yang baru.
Absennya
HT dalam pemerintahan baru hasil revolusi sudah jelas membuktikan
kekuatan HT tidak seberapa. Ini juga yang kemudian di akui oleh juru
bicara HT Mesir, Mahmud Tarsyubi. Bahwa HT telah gagal meyakinkan
segenap komponen masyarakat Islam untuk membentuk kekhalifahan. Pasca
revolusi, Tunisia menggunakan sistem demokrasi. Begitu juga dengan
Mesir, Libya dan sebagainya. Sebuah sistem yang selama ini di tolak
mentah mentah oleh HT.
HT tidak pernah punya sejarah
besar. Berbeda dengan Hamas yang menguasai Gaza, Ikhwanul Muslimin yang
sukses di Mesir atau An Nahdla di Tunisia. Bahkan di ajang terakhir,
yaitu Suriah, HT sama sekali tak terdengar perannya. Mereka hanya
berkoar koar di media saja, mengklaim ini dan itu seperti yang biasa
mereka lakukan, dan tak sekalipun tampil di depan untuk bertarung.
Kami fikir HT
ini seperti anak kecil yang menonton tayangan Power Ranger. Hanya
menonton sambil mencaci kalau jagoannya kalah, tanpa pernah berfikir
kapan mereka menjadi sosok yang di tontonnya. Penulis sampai bosan
membaca statemen HT. Waktu revolusi Tunisia pecah, mereka mengklaim
khilafah akan datang. Begitu juga dalam revolusi Mesir, Libya dan lain
sebagainya. Selalu begitu. Dan akhirnya tetap saja khilafah tidak
berdiri. Yang terjadi malah demokrasi. Kalau khilafah tidak berdiri, itu
sudah sewajarnya. Karena HT sendiri tidak pernah mengangkat senjata
layaknya pejuang pejuang anti Khadafi di Libya, demonstran anti Mubarak
di Mesir atau FSA dan Front Nusra di Suriah.
Perhatikan headline berita yang kami ambil dari website HT ini : REVOLUSI SYAM MENUJU KHILAFAH (sumber : http://syabab.com/akhbar/dunia/3446-revolusi-syam-menuju-khilafah-amerika-serikat-mulai-akan-kirim-200-tentara-hingga-20000-pasukan-ke-perbatasan-suriah-yordania.html)
Judul
judul berita seperti di atas tak terhitung jumlahnya. Baik yang mereka
gembar gemborkan di media online hingga selebaran selebarannya. Dan kami
berani bertaruh bahwa HT akan kembali membohongi kadernya. Dulu bilang
Mesir menuju khilafah, ternyata tidak. Libya menuju khilafah, nyatanya
dusta. Kalaupun pemberontak Suriah menang, tak mungkin ada khilafah.
Mereka tetap akan mengikuti jejak Mesir dan lain lainnya. Atau jikapun
faksi Front Nusra yang mendominasi konsepnya tidak akan mengusung
kekhalifahan.
Anak TKpun tahu, bahwa sebesar dan sebanyak
apapun suporter dalam sebuah pertandingan sepakbola, pemegang pialanya
tetaplah pemain. Bukan penonton. Oleh sebab itu, muktamar di Senayan
hari ini tak perlu di anggap serius. HTI tak punya mental pemain. Mereka
hanya sekedar ingin jadi cheer leader dalam perpolitikan kita. Tidak
pernah memenangkan pertandingan, bahkan mencicipipun tidak.
Selamat bermuktamar ya....
Jangan lupa sarapan dulu..
Tidak ada komentar