Percikan Masa Lalu Jakarta
“Ente bahlul! Belinya cepek, kok, dijual gocap….” Kalimat seperti itu
tentunya bukan "barang" baru buat Anda yang lahir dan besar di Jakarta
atau telah lama menetap di Jakarta. Setidaknya, sampai awal tahun
1990-an, orang-orang di Jakarta masih sering mendengar potongan
percakapan semacam itu. Yang pertama, ente bahlul, sepenuhnya
dipengaruhi oleh bahasa Arab, sementara yang kedua dipengaruhi oleh
variasi bahasa dari negeri Tiongkok.
Masyarakat Jakarta tempo
dulu, etnis Betawi khususnya, memang bukan baru kemaren sore bergaul
sama masyarakat internasional. Sejarah mencatat, Bandar Sunda Kelapa di
belahan utara Jakarta sudah diramaikan oleh kapal-kapal dari berbagai
penjuru dunia sejak berabad-abad lalu. Tak mengherankan jika kebudayaan
Betawi banyak dipengaruhi oleh kebudayaan dari negeri-negeri lain, mulai
dari India, Arab, Eropa, sampai Cina. Belakangan, yang masih melekat
kental dalam kebudayaan Betawi adalah pengaruh Arab, Cina, dan India.
Setidaknya ini bisa dilihat dari pakaian pengantin adat Betawi dan musik
tradisional, seperti gambang kromong dan rebana. ”Pakaian pengantin
besar besar adat Betawi disebut Care Cine, cara Cina. Tapi, yang
laki-laki mengenakan gamis lengkap dengan kopiahnya yang khas Arab,
sementara yang perempuan mengenakan pakaian yang banyak dipengaruhi
kebudayaan Cina. Selain pakaian pengantin adat besar Care Cine itu,
masyarakat Betawi juga mengenal pakaian pengantin Cara Belande dan Care
Hindustan, cara Belanda dan cara India,” ujar Anisa D.S., penggiat
kebudayaan Betawi yang juga pemilik Sanggar Rias dan Busana Pengantin
Yatmikasari di bilangan Kemayoran, Jakarta Pusat.
Orang-orang
Arab bertandang dan kemudian menetap di Betawi umumnya adalah kaum
pedagang dan para penyebar agama Islam. Sementara itu, orang-orang Cina
datang dan tinggal di Betawi kebanyakan karena "diculik" oleh para
kapten kapal Belanda untuk dilelang sebagai kuli kontrak. Banyak juga
yang sengaja didatangkan oleh para saudagar Cina sendiri. Pemerintah
kolonial Belanda sendiri menunjuk seorang kapiten (kapten) untuk
memimpin setiap kelompok etnis, mencontoh Portugis yang telah terlebih
dahulu memberlakukan cara ini di berbagai daerah jajahannya.
Dalam perkembangannya, etnis Cina di Betawi menjadi kuat, baik dari
segi jumlah maupun ekonominya. Mereka pun mendapat keistimewaan dari
pemerintah jajahan Belanda: mereka dipimpin oleh seorang dengan pangkat
tertinggi mayor. ”Namun, pangkat tertinggi mayor ini hanya terbatas di
tiga kota besar, Batavia, Semarang, dan Surabaya. Di lain tempat,
pimpinan etnis ini hanya seorang kapiten yang dibantu beberapa letnan,”
ungkap Alwi Shahab dalam bukunya, Robinhood Betawi.
Menurut
Willard A. Hanna, orang Amerika yang menulis buku tentang Jakarta,
Hikayat Jakarta, kapiten Cina ini hidup mewah seperti raja-raja
Mandarin. Mereka menerima hak untuk menerima pajak dari masyarakatnya.
Kapiten Cina pertama di Batavia adalah Kapiten Souw Beng Kong, yang
diangkat oleh Gubernur Jenderal J.P. Coen pada Oktober 1619.
Souw Beng Kong sebelumnya merupakan seorang pengusaha di Banten. Ia
memang telah cukup lama berteman dengan J.P. Coen, yang kemudian
mengajaknya ke Batavia. Beng Kong pun lalu datang ke Batavia bersama
dengan pengikutnya, yang berjumlah hampir 200 orang. Arsip kolonial
Belanda mencatat, jumlah pengikutnya membengkak menjadi lebih dari tiga
ribu jiwa dalam waktu 30 tahun.
Berkat kedekatannya dengan
penguasa nomor satu di tanah jajahan itu, usaha Souw Beng Kong memang
sangat berkembang pesat di Batavia, sehingga ia menjadi salah seorang
orang terkaya pada masanya. Bisnisnya mulai dari perdagangan umum,
konstruksi, sampai perkebunan di sekitar Batavia.
Hidupnya
semakin bergelimang kemewahan ketika ia diangkat menjadi kapiten.
Pundi-pundinya semakin banyak karena ia mendapat hak untuk menarik pajak
dari masyarakat Cina yang ia pimpin, mulai dari pajak jalinan rambut
panjang, pajak kuku panjang, pajak judi. Sampai pajak candu. ”Candu,
yang merupakan suatu jenis narkoba, pada masa penjajahan Belanda memang
merupakan barang yang legal,” ujar Veronica Colondam dari Yayasan Cinta
Anak Bangsa, lembaga swadaya masyarakat yang peduli pada pencegahan
penyebaran narkoba di masyarakat. Dalam buku Konglomerat Oei Tiong Ham
juga disinggung, kedudukan sebagai penarik pajak dan kesempatan
memonopoli perdagangan membuat para keluarga peranakan Cina dapat
mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya.
Souw Beng Kong wafat
pada tahun 1644. Ia dimakamkan di daerah Kota, sekarang tepatnya di
Jalan Taruna (dulu bernama Jalan Souw Beng Kong), sekitar satu kilometer
dari Stasiun Kereta Api Beos. ”Makam kapiten Cina ini hanya tinggal
batu nisannya. Seluruh bagian makam itu sudah menyatu dengan rumah
penduduk,” ujar Alwi Shahab. Beberapa tahun lalu, sebuah komunitas
pemerhati sejarah membeli rumah itu dan membenahi kembali makam Souw
Beng Kong.
Jumlah orang Cina di Batavia semakin membengkak dari
tahun-tahun. Pada awal abad ke-18 tercatat ada jumlah penduduk
berkebangsaan Cina di kota dan sekitarnya berjumlah 80 ribu jiwa. Banyak
di antara mereka yang bekerja di perkebunan-perkebunan tebu, pabrik
gula, dan perusahaan perkayuan yang didirikan di luar kota, seperti di
Tanah Abang, Jatinegara, dan Sawah Besar—yang disebut kota ketika itu
memang hanya seputar Museum Sejarah Jakarta dan Pasar Ikan sekarang.
Namun, ribuan pendatang dari Tiongkok itu juga banyak yang kurang
beruntung. Mereka tak mendapat pekerjaan dan akhirnya menjadi
gelandangan, juga pelaku kriminal. Pemerintah kolonial Belanda pun gerah
dan kemudian melakukan aksi penangkapan orang Cina besar-besaran, untuk
dibuang ke Sri Lanka.
Keresahan pun merebak di mana-mana.
Pada 9 Oktober 1740, kerusuhan terjadi di Glodok, setelah sehari
sebelumnya Belanda memukul mundur serangan balasan orang-orang Cina di
pinggir kota. Makin siang, kerusuhan semakin tak terkendali.
Gedung-gedung dan rumah-rumah orang Cina di Glodok dibakar. Orang-orang
berhamburan di jalan dan para serdadu Belanda dengan entengnya menembaki
mereka.
Willard A. Hanna menulis, semua orang Cina tanpa
kecuali, pria, perempuan, dan anak-anak diserang. ”Baik wanita hamil
maupun bayi yang sedang menyusui tidak luput dari pembantaian yang tidak
mengenal perikemanusiaan. Ratusan tahanan yang dibelenggu disembelih,
seperti menyembelih domba,” tulis Hanna. Belakangan diketahui, sekitar
10 ribu orang Cina, termasuk tahanan dan pasien rumah sakit, dibunuh
oleh tentara Belanda, 500 orang luka parah, dan 700 rumah dirusak serta
barang-barang mereka dirampok.
Selain Arab dan Cina, sisa
kebudayaan Portugis juga sampai sekarang masih bisa ditemukan di
Jakarta, antara lain di Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. Di sana masih
banyak warga keturunan Portugis, yang menggunakan nama-nama keluarga
yang berasal dari Portugis. Leluhur mereka adalah orang Portugis tawanan
VOC Belanda.
Ceritanya, karena penjara di Batavia penuh,
mereka ditempatkan di Kampung Tugu, yang waktu itu masih berupa hutan.
Awalnya mereka beragama Katolik, tapi kemudian dipaksa untuk menjadi
Protestan oleh Kompeni (VOC). Setelah menjadi Protestan, mereka pun
menjadi mardijker (orang yang telah dimerdekakan) atau di-vriye
indlanders. Status mereka disamakan dengan pribumi. Dari sinilah lahir
jenis musik keroncong Tugu yang terkenal itu. Ini dia si jali-jali....
(Pedje, Sutradara Teater Pohon)
Pakaian Adat Betawi
Ada beberapa pakaian adat Betawi untuk perempuan, yakni baju none, baju
krancang atau baju encim, dan baju enyak atau baju panjang. ”Baju none
biasanya dipakai untuk gadis-gadis yang belum menikah. Modelnya kebaya
panjang, yang biasanya dipakai oleh peserta lomba None Jakarta. Bahannya
dari bahan tembus pandang polos, dengan daleman-nya kutang nenek atau
kamisol. Kainnya batik Lasem yang motif tumpal, lalu memakai pending,
peniti rantai tiga, anting seketel, konde cepol, dan berbagai aksesori
lain,” ungkap Anisa D.S. Kalau baju kerancangan atau baju encim itu
kebaya untuk ibu-ibu muda, yang dibordir bolong-bolong, karawang.
”Kainnya batik Lasem juga, cuma tumpalnya berbeda, tumpalnya boleh
buket, pagi-sore, atau belah ketupat,” ujar Anisa. Sementara itu, baju
enyak atau baju panjang sama dengan baju none tapi bahannya bermotif,
misalnya kembang-kembang, dan kainnya juga sama.
Untuk pakaian
pengantinnya untuk rias besarnya memakai baju care cine. ”Ini karena
pakaian perempuannya, kebaya, banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Cina,
misalnya kerahnya tinggi dan ditutupnya menyerong atau tuaki. Terus
pakai rok, dengan gambar naga, bunga, atau burung hong. Juga pakai cadar
jarang seperti pengantin perempuan Cina. Untuk yang lelakinya memakai
gamis atau jubah dan mengenakan alpiye atau kopiah ala Arab,” tutur
Anisa D.S. Biasanya, waktu akad menikah, pengantin akan didandani dengan
gaya rias bakal. ”Yang perempuannya memakai baju kurung dengan kain
songket, biasanya songket palembang, dan memakai selendang,” kata Anisa
lagi.
Catatan : (Pedje, Sutradara Teater Pohon)
Percikan Masa Lalu Jakarta
Reviewed by Unknown
on
6/03/2013
Rating: 5
Tidak ada komentar