Jawa Timur, Pertaruhan Terakhir PKB ?
Gagalnya pasangan Khofifah - Sumawiredja seolah menjadi antiklimaks
perjuangan salah satu kandidat favorit yang di usung PKB itu menuju
Jatim 1. Jika pada pilkada terdahulu Khofifah tampil mengesankan dan
hanya kalah di meja pengadilan (MK), kali ini mantan menteri
pemberdayaan perempuan era Gus Dur harus kandas di tangan KPUD Jatim.
Keputusan memang belum bersifat final, karena konon kabarnya kubu
Berkah berniat mengajukan gugatan hukum. Namun jika kemudian hasil
gugatan nanti tidak mengubah keadaan, maka bisa jadi pilkada nanti
sedikit banyak akan mengubah warna politik Jawa Timur ke depan.Terutama
menyangkut tradisi yang selama ini terbentuk, bahwa Jawa Timur adalah
kandang Nahdliyin. Di mana partai yang memiliki nafas NU cukup kuat dan
di segani di sana. PKB misalnya, selama dua periode (1999-2004) terbukti
mampu memenangkan Jawa Timur dalam pemilu legislatif sebelum akhirnya
pada 2009 di kudeta Partai Demokrat, bahkan suaranya terjun bebas dan
hanya menduduki peringkat tiga.
Lolosnya tiga pasang
kandidat (Karwo - Ipul, BDH - Said dan Eggy - Sihat) menurut penulis
adalah kelanjutan rivalitas Partai Demokrat dan PDI Perjuangan dalam
upaya memenangkan kompetisi 2014, terutama di pulau Jawa - Bali. Seperti
yang telah kita saksikan, hampir semua pilkada tingkat provinsi yang
ada di pulau Jawa, kedua partai ini terlibat persaingan sengit. Mulai
dari provinsi Banten, DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Bali. Dari
gelaran pilgub itu, PDI Perjuangan memenangkan 3 provinsi (Banten, DKI
dan Jateng), Partai Demokrat menggenggam satu provinsi yaitu Bali,
sementara satu wilayah lagi berhasil di rebut kandidat yang di usung
PKS.
Jawa Timur adalah provinsi terakhir di pulau Jawa
yang akan menggelar pilgub sebelum jadwal pemilu 2014. Dan seperti yang
telah di putuskan KPUD, pasangan cagub cawagub yang bertarung kurang
lebih juga merepresentasikan pertarungan klasik PDI Perjuangan dan
Partai Demokrat. Pasangan Karwo - Ipul di usung oleh koalisi borongan
yang terdiri dari hampir semua partai parlemen maupun non parlemen. Di
sana ada Partai Demokrat sebagai pengusung utama. Ada Partai Golkar,
Gerindra, PKS, PAN, PPP dan partai partai lain yang tidak memiliki kursi
di DPRD. Angka totalnya sekitar 70% dari total perolehan suara di
pemilu 2009. Sementara rivalnya adalah pasangan yang di usung PDI
Perjuangan dengan modal kursi DPRD sekitar 17%.
Peluang Karwo - Ipul
Jika
mengacu pada modal politik, pasangan ini terlihat sangat superior.
Keduanya adalah perpaduan antara karakter politik nasionalis - agamis.
Pakde Karwo adalah ketua DPD PD Jatim sekaligus alumni GMNI. Sementara
pasangannya berasal dari kaum sarungan dan merupakan salah satu tokoh
NU. Faktor lain yang menjadi modal utama pasangan ini tentu saja adalah
posisi mereka sebagai incumbent. Di mana mana, incumbent selalu di
untungkan, baik secara finansial maupun posisi. Ibarat pertarungan,
tanpa kampanyepun keduanya sudah berkampanye setiap saat. Mereka lebih
di kenal oleh masyarakat Jawa Timur daripada kandidat manapun karena
posisinya sebagai pemimpin daerah. Dan yang tak kalah menariknya,
pasangan ini nyatanya di dukung oleh hampir semua elemen politik formal.
Di usung oleh koalisi borongan dengan total suara 70%. Jarang jarang
ada kandidat yang di usung oleh kumpulan partai yang sedemikian
banyaknya. Artinya, peluang menang bagi pasangan ini sangat terbuka
lebar.
Namun demikian, politik memang kadang
membingungkan. Pasangan yang jelas jelas di usung oleh koalisi mayoritas
dalam banyak kasus nyatanya justru kalah. Kita bisa menengok kejadian
di DKI, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pasangan yang di usung oleh koalisi
besar ternyata tidak berdaya menghadapi kandidat lain yang di usung oleh
kumpulan koalisi lebih kecil. Di DKI, Foke - Nara yang di dukung oleh
semua partai (putaran kedua) terpaksa harus menelan pil pahit di
kalahkan oleh dua partai dengan kekuatan parlemen sekitar 17%. Begitu
juga di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Maka, modal 70% yang di miliki oleh
pasangan Karwo - Ipul sejatinya belum menjadi jaminan mereka akan
menang.
Bambang DH - Said Abdullah
Hanya
di usung oleh satu partai. PDI Perjuangan. Total suara di parlemen
sekitar 17%. Bagi publik Jawa Timur, nama Bambang DH memang cukup di
kenal. Terutama bagi masyarakat Surabaya di mana dia pernah menjadi
pemimpin di sana selama beberapa periode. Sementara wakilnya yang juga
kader PDI Perjuangan merupakan salah satu tokoh asal Madura. Sebuah
kawasan yang aroma santrinya sangat kental.
Dari segi
popularitas, pasangan ini masih kalah populer dengan pasangan Karwo -
Ipul. Satu satunya modal utama pasangan ini adalah mesin partai. Harus
di akui, mesin PDI Perjuangan di banyak pilkada di kenal lebih solid di
banding partai manapun. Kita bisa mengambil referensi dari pilkada
pilkada yang ada di pulau Jawa. Di DKI dengan modal 17% (PDI Perjuangan
dan Gerindra), Jokowi Ahok sanggup menang dengan angka 53%. Di Jawa
Barat, kendati modal suaranya hanya 15%, pasangan Rieke - Teten sanggup
finish di posisi dua dengan torehan 28% atau dua kali lipat dari modal
suara mereka. Di Bali, walaupun kalah di meja hukum, pasangan yang di
usung PDI Perjuangan kalah tipis dari lawannya yang di dukung koalisi
borongan. Di Jawa Tengah, Ganjar - Heru secara spektakuler menang besar
dengan membukukan kemenangan 46%. Padahal modal kursi yang di miliki PDI
Perjuangan hanya separuh dari itu.
Mengacu dari catatan
hebat yang di persembahkan PDI Perjuangan di setiap event Pilkada,
peluang Bambang DH - Said Abdullah untuk menang tentu terbuka. Segala
kemungkinan bisa saja terjadi. Apalagi jika nantinya pendukung Khofifah
yang merasa di dzolimi oleh pasangan incumbent ramai ramai pindah haluan
dengan mendukung lawan Karwo - Ipul.
NU 'absen' di Jatim
Kegagalan
Khofifah - Sumawiredja bertarung di ajang pilgub Jatim memberikan
catatan tersendiri bagi partai pengusungnya, PKB. Jika di pilkada
terdahulu PKB selalu ikut ambil bagian (kendatipun harus kalah), kali
ini partai yang salah satu deklaratornya adalah Presiden RI ke IV
terpaksa gigit jari. Bukan hanya absen secara formal, akan tetapi ajang
kali ini justru tidak menjadi representasi politik nahdliyin.
Pertarungan Karwo - Ipul vs BDH - Said yang di ramaikan dengan kehadiran
kandidat independen menurut penulis lebih condong sebagai pertarungan
kubu pemerintah yang di sana ada Partai Demokrat dan kubu oposisi yang
di wakili PDI Perjuangan. Dari segi haluan politik, ini pertarungan
partai partai tengah.
Memang, di sana ada PKNU, PPP dan
lainnya. Akan tetapi peranan mereka hanyalah penyokong tambahan.
Ketidakhadiran PKB yang pernah menguasai Jawa Timur dalam ajang ini
seolah menjadi lonceng kematian bagi partai yang oleh banyak kalangan di
anggap mewakili politik NU. Dalam polling yang di gelar Tampoll Gubrak
beberapa bulan lalu, PKB di prediksikan akan kembali menguasai Jawa
Timur pada 2014. Kengototan PKB mengusung sendiri kandidatnya, menurut
hemat penulis adalah satu cara untuk merebut kembali hegemoni PKB di
kandangnya sendiri. Jika Khofifah lolos dan menang, ini akan membuat
kepercayaan diri PKB semakin kuat. Maka target mengembalikan suara
seperti yang pernah di rengkuh pada pemilu 1999 dan 2004 menjadi
realistis. Atau kalaupun Khofifah lolos tapi kalah, minimal PKB memiliki
gambaran tentang seberapa kuat posisi mereka di Jawa Timur. Namun
nyatanya situasi politik berkata lain. Khofifah gagal dan PKB secara
formal harus absen di pilkada kali ini.
Lantas, apakah ini berarti nasib PKB pada pemilu 2014 di ujung tanduk ?.
Bisa
iya, bisa tidak. Tergantung manuver apalagi yang akan di lakukan partai
berlambang bola dunia ini. Pilihannya ada tiga. Mendukung Karwo - Ipul
dengan koalisi borongannya, mendukung pasangan PDI Perjuangan ataukah
abstain.
Pilihan pertama memang menjanjikan kemenangan.
Setidaknya dengan masuknya PKB, koalisi borongan mengumpulkan modal
kursi parlemen 80% lebih. Artinya, hanya tangan ajaib yang bisa
mengalahkan pasangan Karwo - Ipul. Akan tetapi dari kacamata politis,
maknanya tidak akan bisa di rasakan oleh PKB. Kalaupun menang,
kemenangan itu lebih pas di klaim sebagai kemenangan Partai Demokrat.
Tapi sebaliknya kalah, nasib PKB akan semakin menderita.
Pilihan
kedua sepertinya lebih memberi nilai tambah. Jika Bambang DH - Said
Abdullah menang, keberadaan PKB di barisan itu akan di anggap sebagai
penentu. Kalah sekalipun, apalagi kalah dengan angka tipis, bagi PKB
tetap ada nilainya. Mengingat modal yang di miliki pasangan ini relatif
minim. Jadi kalau PKB masuk, warnanya akan kelihatan. Apalagi dari sisi
lain, dukungan PKB maupun Khofifah pada kubu BDH - Said lebih bisa di
terima akal di banding jika mereka merapat ke kubu Karwo.
Pilihan
terakhir, abstain. Pilihan yang mungkin aman. Akan tetapi tidak
bermakna apa apa bagi PKB maupun Khofifah. Kecuali jika kemudian angka
golput melonjak hingga melebihi 50%, itu berarti ketidakhadiran PKB di
respon oleh pendukungnya. Jika angka golputnya landai landai saja,
absennya PKB tentu menjadi sia sia.
Tidak ada komentar