Menakar Kekuatan Berkah
Oleh : Hafidz Atsani
"Insya Allah Berkah menang" kataku pada seorang kawan.
"Wahh...ibu ibu Muslimat bakalan seneng" jawabnya dengan nada ceria.
"Kenapa sih, Khofifah di idolakan banget sama Muslimat ?" tanyaku lagi.
"Khan ibunya para Muslimat...".
Percakapan
yang singkat. Namun mensyiratkan adanya semangat luar biasa menggebu.
Apa yang di nyatakan ibu dua anak itu sepertinya mewakili hati para
wanita di Jawa Timur terutama ibu ibu Muslimat. Ormas wanita terbesar di
Indonesia ini mengklaim memiliki tak kurang dari 7 juta anggota di Jawa
Timur. Sebuah angka yang sangat fantastis. Jumlah itu paling tidak
seperempat dari jumlah pemilih Jawa Timur. Tentu, suara sebanyak itu
tidak bisa di jamin 100% total mendukung Berkah. Seperti yang di katakan
Lily Wahid, bahwa tidak semua Muslimat mendukung Berkah. Akan tetapi
melihat fakta yang ada, penulis memprediksikan bahwa minimal Berkah akan
mampu mengais suara dari kelompok ini setidaknya 3/4 atau hampir 5 juta
jiwa.
Sejauh pengamatan penulis, dari sekian kelompok
yang berdiri di belakang pasangan Berkah, Muslimat menjadi semacam
bemper terdepan yang sangat menentukan. Mereka yang paling banyak tampil
di setiap event event yang melibatkan sang ketua umum Muslimat. Tidak
hanya ketika kampanye di gelar, akan tetapi sudah jauh hari. Bahkan
ketika Berkah tidak di loloskan KPUD Jatim, lagi lagi yang paling gigih
membela hingga rela berpanas panasan di depan kantor KPUD adalah kaum
ibu Muslimat.
Jika kemudian pasangan Berkah memenangkan
Pilgub Jawa Timur, maka semua pihak harus mengakui bahwa Muslimatlah
yang paling berdarah darah. Loyalitas mereka kepada sang ketua umum tak
di ragukan lagi. Ini kontras sekali dengan situasi yang ada di barisan
partai pendukung Berkah semisal PKB. Bukan hanya ketika Berkah di
nyatakan tidak lolos, akan tetapi pasca keputusan DKPP yang meloloskan
Berkah, suara suara oposan di kubu PKB terus terdengar. KH Aziz Mansyur
misalnya, pasca keputusan DKPP langsung menggelar konpress bahwa dia
bersama jajaran Dewan Syuro PKB kukuh mendukung pasangan Karsa. Kita
juga sempat mendengar beberapa DPC PKB Jatim bermanuver di media dengan
menyatakan dukungannya terhadap Berkah. Kendati akhirnya di bantah oleh
pengurus teras PKB lain, akan tetapi aroma perpecahan di tubuh PKB tetap
tak bisa di sembunyikan lagi.
Muslimat menurut pengamatan
kami jauh lebih solid dan tulus mendukung Berkah. Ini mesin yang paling
mungkin bisa di gerakkan tanpa harus bertele tele dengan deal politik
di belakangnya. Penulis sempat bertanya tanya dalam hati, terbuat dari
apakah Khofifah ini ?. Hingga ia memiliki kemampuan mengorganisir
kekuatan massa dalam jumlah besar.
Testimoni mantan ketua
MK Mahfudz MD barangkali layak untuk di jadikan referensi. Kredibilitas,
integritas dan loyalitas Khofifah tidak di ragukan lagi. Sosok
kelahiran tahun 1965 ini di kenal bersih dari isu isu korupsi. Baik
ketika menjabat sebagai menteri Pemberdayaan Perempuan di era Gus Dur
maupun ketika memegang jabatan prestisius di Senayan sebagai wakil ketua
DPR. Loyalitasnya pada NU tak di ragukan lagi. Hingga ia di percaya
memimpin Muslimat selama tiga periode.
Selain itu Khofifah
juga di kenal gigih dan kukuh dalam melawan apa yang di sebut politik
kartel. Pengalamannya di tahun 2008, ketika harus kalah secara dramatis
melawan Karsa sama sekali tak membuatnya surut untuk maju kembali di
periode selanjutnya. Proses pencalonannya kali inipun tidak di lalui
dengan cara mudah. Ia harus melewati upaya penjegalan dan penghancuran
secara sistematis. Dan ketika ia di loloskan DKPP, mantan politisi PPP
dan PKB ini di hadapkan pada situasi di mana ia hanya memiliki waktu
singkat untuk mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa dirinya adalah
bagian dari proses menuju Jatim 1.
Seorang kawan yang
merupakan anggota team di kubu Karsa mengatakan kepada saya, "Khofifah
boleh saja lolos, tapi waktu yang tersedia terlalu sempit. Tetap saja ia
akan kalah, karena kompetitor lain sudah sejak dulu mensosialisasikan
diri di depan masyarakat Jawa Timur".
Ucapan kawan saya
ini mungkin ada benarnya. Sebelum di nyatakan gagal oleh KPUDpun
popularitas Berkah masih kalah jauh di banding incumben. Kemudian
setelah di nyatakan tidak lolos, sebagian publik yang merupakan
pendukung Berkah perlahan melupakannya. Ini terlihat dari survey Tampoll
Gubrak yang tidak menyertakan Berkah sebagai kandidat. Hasilnya 46%
responden menyatakan akan memilih Karsa. Dua saingan lain yaitu Bangsa
(Jempol) memperoleh 8%, sementara Eggy - Sihat hanya mendapat dukungan
kurang dari 1%, sisanya belum menentukan.
Sedikitnya waktu
ini bukan satu satunya masalah. Masalah lain tentu saja keterbatasan
dana. Kita bisa melihat di lapangan, bagaimana pasangan Berkah ini
sosialisasinya masih kalah dengan rivalnya. Serangan darat berupa
pemasangan alat peraga kampanye, Berkah kalah jauh dari Karsa. Begitu
juga dengan iklan di media massa. Durasi iklan Berkah masih berada di
bawah rivalnya. Ibarat pepatah, orang lain sudah bicara program, Berkah
masih berkutat pada masalah pengenalan diri di mata pemilih.
Satu
satunya kemenangan Berkah adalah persepsi media. Sejauh ini pemberitaan
media terhadap pasangan yang di usung PKB bersama empat partai gurem
lain tampak lebih positif jika di banding dengan pasangan lain. Begitu
juga dengan jejaring sosial. Dukungan pengguna jejaring sosial terhadap
figur dengan tagline Jatim Berkah ini tampak lebih unggul. Kita bisa
melihat angka angka pastinya di situs Politicawave. Sebuah lembaga
pemantau jejaring sosial yang akurasinya jauh lebih baik dari lembaga
survey lain.
Variabel kemenangan seorang calon memang
sangat kompleks. Penggunaan dana yang besar, iklan yang jor joran serta
banyaknya dukungan partai politik tidak serta merta menjadikan pasangan
kandidat akan memenangkan pertarungan. Begitu juga dengan durasi waktu
sosialisasi yang sempit. Kita bisa belajar dari kasus DKI di mana
situasi yang melingkupi Berkah kurang lebih sama. Jokowi - Ahok di
daftarkan oleh PDI Perjuangan dan Gerindra di menit menit terakhir. Dari
segi sosialisasi, pasangan ini kalah dengan yang lain. Alat peraga yang
di pasang di sudut sudut Jakartapun bisa di hitung dengan jari. Begitu
juga iklan di media elektronik semisal televisi. Seperti halnya Berkah,
satu satunya kemenangan Jokowi adalah persepsi media.
Lantas, apakah nasib Berkah akan sebaik Jokowi - Ahok ?
Dalam
berbagai kesempatan, penulis menyatakan bahwa salah satu tanda
kemenangan kandidat adalah keberadaan voluntair. Sukarelawan yang dengan
tulus memberikan apa saja demi memenangkan jagoannya tanpa di bayar.
Siapa yang memiliki dukarelawan paling militan, dia yang kemungkinan
besar menang.
Ini yang terjadi pada Jokowi - Ahok. Secara
kualitatif, pasangan ini lebih banyak memiliki voluntair. Mereka tidak
sekedar memberi dukungan, akan tetapi rela mengeluarkan biaya sendiri
untuk ikut mensosialisasikan. Soal pengadaan kostum misalnya, pendukung
Jokowi tidak keberatan kalaupun harus membeli baju kotak kotak yang
menjadi trend merk Jokowi. Mereka juga secara aktif membantu pasangan
ini untuk mensosialisasikan di media jejaring sosial. Tercatat ratusan
ribu akun berkumpul di group group pendukung Jokowi - Ahok.
Berkah
kendati tidak sama dengan Jokowi - Ahok, memiliki modal yang kurang
lebih sama. Penulis banyak mendengar langsung dari sumber di lapangan
bahwa mereka yang datang ke arena kampanye Berkah sebagian besar tidak
di ongkosi. Bahkan ibu ibu Muslimat yang merupakan tulang punggung
Berkah harus rela urunan untuk datang ke lokasi demi mendukung Berkah.
Antusiasme warga untuk sekedar melihat sosok Khofifah dan wakilnyapun
terlihat istimewa. Ini belum termasuk budaya saweran yang seringkali
terlihat dalam acara acara Berkah.
Selain dari massa
pendukung, Berkah juga mendapat dukungan gratis dari pihak luar. Ahmad
Dani dan Rhoma Irama adalah dua contoh di mana mereka rela tidak di
bayar demi memenangkan pasangan Berkah. Intinya, dukungan voluntair di
kubu Berkah menurut penulis jauh lebih banyak dari apa yang ada di kubu
lawannya.
Tanda tanda lain adalah situasi psikologis.
Selama ini publik terlanjur mempersepsikan Berkah sebagai pihak yang di
dzolimi. Terlepas benar atau tidaknya secara fakta, yang pasti kasus
kasus penjegalan yang di alami Berkah cukup memantik simpati massa.
Kultur masyarakat kita sangat lekat dengan budaya belas kasih. Mereka
akan melakukan segala cara untuk melakukan pembelaan jika terjadi
pendzoliman. Kasus Prita, kasus Bibit - Candra dan banyak lagi. Sama
halnya ketika Jokowi - Ahok jadi bulan bulanan isu SARA. Bukannya
dukungan masyarakat menyusut, justru pendzoliman itu di balas tuntas
oleh masyarakat dengan cara memenangkan Jokowi - Ahok.
Mengenai
program saya kira bukan faktor dominan. Bahasa program tidak terlalu
banyak di mengerti masyarakat. Sama seperti DKI, kemenangan Jokowi -
Ahok menurut kami bukan karena janji janji kampanyenya. Akan tetapi
kemampuan kandidat mengaduk aduk emosional pemilih. Gaya egaliter,
merakyat dan sederhana yang di tampilkanlah faktor utamanya.
Sejauh
pengamatan kami, Khofifah sukses menampilkan diri sebagai figur yang
egaliter. Ketika lawannya jor joran iklan di mana mana, ia dengan rendah
hati meminta maaf kepada pendukungnya karena tidak bisa melakukan hal
yang seperti di lakukan lawannya. Ketika lawannya menyewa helikopter
untuk menyambangi pendukungnya, Khofifah menyindir dengan cara yang
unik. Membeli helikopter mainan di pasar, lalu menumpang becak menuju
lokasi acara. Publik juga di jejali peristiwa peristiwa mengharukan
seputar Berkah. Misalnya ketika juru kampanye berceramah, belasan ibu
ibu berkeliling sembari membawa kardus meminta sumbangan pada hadirin.
Sumbangan itu di dedikasikan untuk membantu Berkah. Dalam kesempatan
lain, foto foto maupun video yang menampilkan Khofifah merangkul ibu ibu
tua juga luar biasa memantik simpati.
Pribadi yang
merakyat seperti ini kiranya menjadi trend. Sesuatu yang sekilas mudah,
akan tetapi sulit di praktekkan. Betapa banyak pemimpin yang berusaha
tampil merakyat akan tetapi tidak di respons positif oleh masyarakat.
Kenapa ?. Karena penampilannya tidak di barengi dengan ikatan batin
dengan pendukungnya. Tidak ada perasaan senasib sepenanggungan antara
pemimpin dan rakyat. Makanya, kemasan apapun menjadi terasa hambar.
Dari
segi dukungan tokoh masyarakat lokal, kiranya antara Berkah dan Karsa
memiliki pendukung yang berimbang. Kyai kyai yang ada di dua kubu
sekarang ini sebagian besar adalah pendukung utama mereka di ajang
sebelumnya. Di Karsa ada KH Idris Marzuki, KH Jazuli dan lain
sebagainya. Mereka adalah tokoh yang 2008 lalu juga mendukung Karsa.
Sementara di kubu Berkah ada KH Hasyim Muzadi, Gus Sholah dan lain lain.
Pada Pilgub 2008, para kyai ini juga mendukung Khofifah.
Yang
membedakan adalah gairah. Gairah warga Nahdliyin kali ini berbeda
dengan yang dulu. Wacana gubernur NU terdengar sangat kuat. Ini telihat
dari survey yang di lakukan ISNU (Ikatan Sarjana NU) bulan Maret silam.
Bahwa warga NU menginginkan gubernur yang berasal dari NU. Ironis
sekali, jika Jawa Timur yang mayoritas warganya pengikut NU akan tetapi
belum pernah memiliki Gubernur yang berlatar belakang NU.
Keberadaan
voluntair, profile egaliter, gairah nahdliyin dan loyalitas tanpa batas
yang di pertontonkan ibu ibu Muslimat akankah sanggup mengantarkan
Berkah memenangkan pilgub Jatim ?.
Waktu yang akan menjawabnya.
Tidak ada komentar