Penantang Itu Bernama Assad
Pict : uncyclopedia.wikia.com
Oleh : Komandan Gubrak
Umurnya baru 48 tahun. Usia yang relatif cukup muda bagi seorang
pemimpin negara. Tapi prestasi yang di torehkan Assad dalam upaya
melindungi negaranya dari anasir anasir dukungan asing tak di ragukan
lagi. Banyak orang termasuk saya mengira setelah pecah revolusi Suriah,
nasib Assad tak akan jauh beda dengan Muammar Khadafi, Mubarak, Ben Ali
dan lain sebagainya. Apalagi seperti kita ketahui, revolusi Arab yang
selama ini berlangsung nyatanya juga melibatkan kekuatan kekuatan besar
dunia. Maka, apalah artinya Assad di banding dengan desakan publik yang
luar biasa besar.
Namun rupanya saya harus sedikit menahan
nafas menyaksikan kealotan putra Hafidz Assad ini. Kendati baru
beberapa tahun semenjak ia mengambil alih tongkat kepemimpinan Suriah
dari mendiang ayahnya, kemampuan dan kematangan Assad dalam menghadapi
badai revolusi patut di acungi jempol. Memang, pemberontakan yang
terjadi di Suriah tidak melibatkan secara langsung tentara reguler
negara negara barat layaknya di Libya, akan tetapi keberadaan para
jendral barat di belakang pemberontak di mana perannya adalah pelatih
strategi sekaligus pemasok senjata tentu tak bisa di anggap enteng
begitu saja.
Mari kita kembalikan ingatan pada peristiwa
tahun 80an di mana Afghanistan mengalami pergolakan luar biasa. Di sana
CIA memiliki peran penting dalam mengendalikan apa yang di sebut sebagai
pemberontakan terhadap dominasi Soviet. CIA terlibat dalam pembinaan,
pelatihan dan pengiriman jihadis jihadis asing ke Afghanistan. Operasi
pinjam tangan ini nyatanya berakhir dengan kesuksesan dan menghasilkan
kerugian tak terkira bagi Uni Soviet.
Apa yang di lakukan
barat dan sekutunya pada Suriah kurang lebih sama dengan apa yang mereka
lakukan di Afghanistan dulu. Mereka mengkoordinir, melatih dan
mempersenjatai pemberontak untuk melawan rezim Bashar Assad. Yang
membedakan adalah hasil akhir. Jika strategi yang di lakukan barat di
Afghanistan berakhir dengan jatuhnya rezim tanpa perlu tentara amerika
melibatkan diri secara langsung, nasib berbeda terjadi di Suriah.
Kendati sudah mendapatkan dukungan penuh dari negara barat dan sekutu
Arabnya, hingga lewat tempo 2,5 tahun kubu pemberontak tak juga mampu
menjungkalkan Assad. Yang terjadi justru sebaliknya, Bashar Assad secara
perlahan mulai menemukan celah menuju kemenangan.
Satu
persatu daerah daerah yang dahulu di kuasai oposisi berhasil di rebut
tentara Suriah. Di Provinsi Damaskus, tentara Suriah dengan gagahnya
mengontrol hampir seluruh wilayah. Begitu juga dengan daerah yang
berbatasan dengan Lebanon, Israel dan Yordania, balatentara Assad
menampilkan kegagahannya dengan menutup akses yang bisa di manfaatkan
oleh oposisi dalam menggalang dukungan dari luar. Di wilayah tengah,
terutama di Homs, sebuah kawasan yang oleh pemberontak di juluki kota
revolusi, setapak demi setapak mulai di kuasai tentara Assad. Terakhir
distrik Khaldiyah yang merupakan benteng utama pemberontak jatuh pula ke
tangan kubu pemerintah.
Ini rupanya yang membuat barat
dan sekutunya mulai frustasi. Bukan saja Assad sukses memperkuat
posisinya, tapi kubu koalisi oposisipun makin hari makin tak bisa di
andalkan. Maka tak heran jika akhirnya Amerika Serikat sebagai dalang
utama kerusuhan di Suriah memutuskan untuk membuka opsi intervensi
militer.
Dalih yang di pakai adalah kasus tuduhan
penggunaan senjata kimia oleh tentara Suriah. Akan tetapi menurut
penulis, ini hanya alasan belaka. Faktanya, jauh hari sebelum terjadinya
kasus itu, Amerika Serikat sudah mempersiapkan diri untuk berperang
secara terbuka dengan Assad. Amerika secara kontinyu mulai mengirim
kontingen militer ke negara negara tetangga Suriah. Di Yordania,
keberadaan ribuan tentara Amerika tak terbantahkan lagi. Belakangan juga
berhembus kabar Amerika telah mengirim kapal perangnya menuju laut
Mediterania. Tak ketinggalan pemerintah Inggris, yang walaupun
parlemennya menolak opsi militer ke Suriah, namun pemimpin negara itu
tetap nekad menempatkan armada udaranya di pulau Siprus.
Bagi
pemimpin lain, mungkin provokasi barat ini akan membuat mereka ciut
nyali. Apalagi seperti yang kita tahu, hampir semua medan tempur di mana
tentara Amerika terlibat, selalu berakhir dengan jatuhnya rezim. Kita
bisa saksikan bagaimana nasib Saddam Husein yang dahulu di anggap paling
kuat di Timur Tengah. Nyatanya invasi Amerika dan sekutunya tak bisa
membuatnya bertahan. Begitu pula dengan Muammar Khadafi di Libya.
Penulis
yakin, Bashar sangat paham resiko yang akan ia tanggung jika Amerika
benar benar menyerang Suriah. Dari segi apapun, tentara Suriah bukan
tandingan pasukan paman Sam. Walaupun nantinya Suriah, Iran dan China
terjun langsung bahu membahu membela Assad, rasanya belum tentu mampu
melawan kedigdayaan tentara sekutu.
Lalu apa yang membuat
Assad seolah tak menunjukkan rasa gentar sedikitpun terhadap ancaman
invasi itu ?. Bahkan dengan entengnya dia sesumbar akan membuat Suriah
menjadi Vietnam bagi Amerika. Di kesempatan lain Assad seperti di kutip
Islam Times menyemangati para petinggi seniornya dengan kalimat 'sejak
lama kita menunggu musuh sejati Suriah'. Retorika ini menunjukkan bahwa
Assad tidak bisa di gertak dan di takut takuti.
Orang
bijak mengatakan, perang yang tanpa tujuan tidak akan menghasilkan
kemenangan. Di sini Bashar secara cerdas memanfaatkan situasi. Sebesar
apapun invasi yang akan di lakukan Amerika nanti, jika di lihat dari
segi tujuan, maka Amerika nyaris tak memiliki tujuan pasti. Dalam bahasa
sederhana, Amerika sendiri masih galau mau di apakan Suriah jika
nantinya Bashar jatuh.
Peta politik Suriah menunjukkan
bahwa kekuatan dominan di kubu pemberontak justru berada di tangan
kelompok kelompok garis keras yang selama ini getol memusuhi Amerika.
Maka kalaupun Amerika berhasil menggusur Assad, ia akan di hadapkan pada
sebuah masalah yang tak kalah peliknya. Yaitu jatuhnya Suriah ke tangan
orang orang fundamentalis. Jika ini terjadi, maka itu sama saja Amerika
melahirkan lawan baru bagi Israel yang tak kalah garangnya dengan
militan Hizbullah.
Itu kalau Amerika berhasil menghabisi
Assad. Kalau Amerika gagal mengeksekusi Assad, problem lain yang tak
kalah pelik juga akan menimpa Amerika. Kegagalan Amerika mengintervensi
langsung Suriah bisa jadi akan memicu gelombang perlawanan lain terhadap
hegemoni Amerika di Timur Tengah.
Kartu truf lain yang di
miliki Assad adalah situasi regional yang cukup menguntungkan dia.
Faktanya Assad di kelilingi oleh negara negara dengan dominasi syiah
yang cukup kuat. Mereka adalah sekutu potensial yang sewaktu waktu bisa
di ajak Assad untuk berperang di pihaknya. Jalinan ini nyatanya sudah
lama di rajut Assad. Konon ribuan gerilyawan Syiah baik dari Lebanon
maupun Irak dan Iran secara aktif ikut terlibat membantu Assad. Invasi
Amerika ke Suriah, mau tidak mau akan berakibat perang merembet kemana
mana. Tidak hanya di Suriah, tapi juga di Irak, Lebanon dan tentu saja
Israel. Lihat saja statemen Hizbullah baru baru ini. Jika Amerika
menyerang Suriah, maka Hizbullah bertekad untuk melakukan perang habis
habisan dengan Israel.
Dus, agaknya Amerika Serikat perlu
berfikir ulang jika ingin bertanding melawan Assad. Setidaknya negeri
paman sam harus memperhitungkan untung ruginya jika perang terbuka
terjadi.
Tidak ada komentar