Breaking News

Penantang Itu Bernama Assad


Oleh : Komandan Gubrak

Umurnya baru 48 tahun. Usia yang relatif cukup muda bagi seorang pemimpin negara. Tapi prestasi yang di torehkan Assad dalam upaya melindungi negaranya dari anasir anasir dukungan asing tak di ragukan lagi. Banyak orang termasuk saya mengira setelah pecah revolusi Suriah, nasib Assad tak akan jauh beda dengan Muammar Khadafi, Mubarak, Ben Ali dan lain sebagainya. Apalagi seperti kita ketahui, revolusi Arab yang selama ini berlangsung nyatanya juga melibatkan kekuatan kekuatan besar dunia. Maka, apalah artinya Assad di banding dengan desakan publik yang luar biasa besar.

Namun rupanya saya harus sedikit menahan nafas menyaksikan kealotan putra Hafidz Assad ini. Kendati baru beberapa tahun semenjak ia mengambil alih tongkat kepemimpinan Suriah dari mendiang ayahnya, kemampuan dan kematangan Assad dalam menghadapi badai revolusi patut di acungi jempol. Memang, pemberontakan yang terjadi di Suriah tidak melibatkan secara langsung tentara reguler negara negara barat layaknya di Libya, akan tetapi keberadaan para jendral barat di belakang pemberontak di mana perannya adalah pelatih strategi sekaligus pemasok senjata tentu tak bisa di anggap enteng begitu saja.

Mari kita kembalikan ingatan pada peristiwa tahun 80an di mana Afghanistan mengalami pergolakan luar biasa. Di sana CIA memiliki peran penting dalam mengendalikan apa yang di sebut sebagai pemberontakan terhadap dominasi Soviet. CIA terlibat dalam pembinaan, pelatihan dan pengiriman jihadis jihadis asing ke Afghanistan. Operasi pinjam tangan ini nyatanya berakhir dengan kesuksesan dan menghasilkan kerugian tak terkira bagi Uni Soviet.

Apa yang di lakukan barat dan sekutunya pada Suriah kurang lebih sama dengan apa yang mereka lakukan di Afghanistan dulu. Mereka mengkoordinir, melatih dan mempersenjatai pemberontak untuk melawan rezim Bashar Assad. Yang membedakan adalah hasil akhir. Jika strategi yang di lakukan barat di Afghanistan berakhir dengan jatuhnya rezim tanpa perlu tentara amerika melibatkan diri secara langsung, nasib berbeda terjadi di Suriah. Kendati sudah mendapatkan dukungan penuh dari negara barat dan sekutu Arabnya, hingga lewat tempo 2,5 tahun kubu pemberontak tak juga mampu menjungkalkan Assad. Yang terjadi justru sebaliknya, Bashar Assad secara perlahan mulai menemukan celah menuju kemenangan.

Satu persatu daerah daerah yang dahulu di kuasai oposisi berhasil di rebut tentara Suriah. Di Provinsi Damaskus, tentara Suriah dengan gagahnya mengontrol hampir seluruh wilayah. Begitu juga dengan daerah yang berbatasan dengan Lebanon, Israel dan Yordania, balatentara Assad menampilkan kegagahannya dengan menutup akses yang bisa di manfaatkan oleh oposisi dalam menggalang dukungan dari luar. Di wilayah tengah, terutama di Homs, sebuah kawasan yang oleh pemberontak di juluki kota revolusi, setapak demi setapak mulai di kuasai tentara Assad. Terakhir distrik Khaldiyah yang merupakan benteng utama pemberontak jatuh pula ke tangan kubu pemerintah.

Ini rupanya yang membuat barat dan sekutunya mulai frustasi. Bukan saja Assad sukses memperkuat posisinya, tapi kubu koalisi oposisipun makin hari makin tak bisa di andalkan. Maka tak heran jika akhirnya Amerika Serikat sebagai dalang utama kerusuhan di Suriah memutuskan untuk membuka opsi intervensi militer.

Dalih yang di pakai adalah kasus tuduhan penggunaan senjata kimia oleh tentara Suriah. Akan tetapi menurut penulis, ini hanya alasan belaka. Faktanya, jauh hari sebelum terjadinya kasus itu, Amerika Serikat sudah mempersiapkan diri untuk berperang secara terbuka dengan Assad. Amerika secara kontinyu mulai mengirim kontingen militer ke negara negara tetangga Suriah. Di Yordania, keberadaan ribuan tentara Amerika tak terbantahkan lagi. Belakangan juga berhembus kabar Amerika telah mengirim kapal perangnya menuju laut Mediterania. Tak ketinggalan pemerintah Inggris, yang walaupun parlemennya menolak opsi militer ke Suriah, namun pemimpin negara itu tetap nekad menempatkan armada udaranya di pulau Siprus.

Bagi pemimpin lain, mungkin provokasi barat ini akan membuat mereka ciut nyali. Apalagi seperti yang kita tahu, hampir semua medan tempur di mana tentara Amerika terlibat, selalu berakhir dengan jatuhnya rezim. Kita bisa saksikan bagaimana nasib Saddam Husein yang dahulu di anggap paling kuat di Timur Tengah. Nyatanya invasi Amerika dan sekutunya tak bisa membuatnya bertahan. Begitu pula dengan Muammar Khadafi di Libya.

Penulis yakin, Bashar sangat paham resiko yang akan ia tanggung jika Amerika benar benar menyerang Suriah. Dari segi apapun, tentara Suriah bukan tandingan pasukan paman Sam. Walaupun nantinya Suriah, Iran dan China terjun langsung bahu membahu membela Assad, rasanya belum tentu mampu melawan kedigdayaan tentara sekutu.

Lalu apa yang membuat Assad seolah tak menunjukkan rasa gentar sedikitpun terhadap ancaman invasi itu ?. Bahkan dengan entengnya dia sesumbar akan membuat Suriah menjadi Vietnam bagi Amerika. Di kesempatan lain Assad seperti di kutip Islam Times menyemangati para petinggi seniornya dengan kalimat 'sejak lama kita menunggu musuh sejati Suriah'. Retorika ini menunjukkan bahwa Assad tidak bisa di gertak dan di takut takuti.

Orang bijak mengatakan, perang yang tanpa tujuan tidak akan menghasilkan kemenangan. Di sini Bashar secara cerdas memanfaatkan situasi. Sebesar apapun invasi yang akan di lakukan Amerika nanti, jika di lihat dari segi tujuan, maka Amerika nyaris tak memiliki tujuan pasti. Dalam bahasa sederhana, Amerika sendiri masih galau mau di apakan Suriah jika nantinya Bashar jatuh.

Peta politik Suriah menunjukkan bahwa kekuatan dominan di kubu pemberontak justru berada di tangan kelompok kelompok garis keras yang selama ini getol memusuhi Amerika. Maka kalaupun Amerika berhasil menggusur Assad, ia akan di hadapkan pada sebuah masalah yang tak kalah peliknya. Yaitu jatuhnya Suriah ke tangan orang orang fundamentalis. Jika ini terjadi, maka itu sama saja Amerika melahirkan lawan baru bagi Israel yang tak kalah garangnya dengan militan Hizbullah.

Itu kalau Amerika berhasil menghabisi Assad. Kalau Amerika gagal mengeksekusi Assad, problem lain yang tak kalah pelik juga akan menimpa Amerika. Kegagalan Amerika mengintervensi langsung Suriah bisa jadi akan memicu gelombang perlawanan lain terhadap hegemoni Amerika di Timur Tengah.

Kartu truf lain yang di miliki Assad adalah situasi regional yang cukup menguntungkan dia. Faktanya Assad di kelilingi oleh negara negara dengan dominasi syiah yang cukup kuat. Mereka adalah sekutu potensial yang sewaktu waktu bisa di ajak Assad untuk berperang di pihaknya. Jalinan ini nyatanya sudah lama di rajut Assad. Konon ribuan gerilyawan Syiah baik dari Lebanon maupun Irak dan Iran secara aktif ikut terlibat membantu Assad. Invasi Amerika ke Suriah, mau tidak mau akan berakibat perang merembet kemana mana. Tidak hanya di Suriah, tapi juga di Irak, Lebanon dan tentu saja Israel. Lihat saja statemen Hizbullah baru baru ini. Jika Amerika menyerang Suriah, maka Hizbullah bertekad untuk melakukan perang habis habisan dengan Israel.

Dus, agaknya Amerika Serikat perlu berfikir ulang jika ingin bertanding melawan Assad. Setidaknya negeri paman sam harus memperhitungkan untung ruginya jika perang terbuka terjadi.

Tidak ada komentar