Nasionalisme Di Ujung Jalan
Pict : gredellelle.deviantart.com
Oleh : Dhan Gubrack
Saya tergelitik dengan pernyataan seseorang yang mengatakan bahwa
"Nasionalisme membuat agama terkotak kotak". Pernyataan ini kemungkinan
besar di dasarkan atas situasi selama ini di mana bingkai nasionalisme
seolah mengabaikan tumbuhnya rasa solidaritas 'ukhuwah' antar sesama
pemeluk agama. Nasionalisme menghalangi kita untuk mengulurkan tangan
kepada saudara kita yang sedang menderita nun jauh di sana. Suriah,
Palestina, Mesir, Rohingnya dan lain sebagainya. Nasionalisme juga
mencabut doktrin mulia yang pernah Allah dan nabi katakan.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara.” (Al Hujurat: 10)
“Seorang
mukmin terhadap mukmin lainnya adalah laksana bangunan yang saling
menguatkan bagian satu dengan bagian yang lainnya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
"Seorang muslim adalah bersaudara dengan sesama muslim lainnya" (HR Ibnu Majah)
Kalimat
'nasionalisme membuat agama terkotak kotak' ini kemudian menjadi
justifikasi akan pentingnya membongkar sebuah sistem bernegara yang
melandaskan diri pada semangat nasionalisme. Dengan begitu, apa yang di
sebut ukhuwah islamiyah bisa di wujudkan tanpa berfikir akan sekat sekat
negara yang membatasinya. Dengan dalih persaudaraan pula, negara
mendapat legitimasi untuk melakukan aksi lintas batas secara penuh demi
'menyelamatkan' saudaranya di tempat lain yang dalam keadaan tertindas.
Begitu kira kira yang ada dalam pikiran mereka yang selama ini begitu
gigih mengkampanyekan jargon 'nasionalisme membuat agama terkotak
kotak'.
Menolong sesama, entah mereka tinggalnya dimana
saja apalagi saudara seagama tentu bukan perbuatan yang buruk. Karena
sudah tabiat manusia menjadi makhluk sosial. Akan tetapi menjadi rancu
ketika kemudian karakter sosial dalam bingkai ukhuwah itu di lakukan
dengan cara menabrak sifat sifat alaminya sendiri. Dalam bahasa lain
'merdeka dengan cara menjajah'. Membebaskan satu golongan dengan
menjajah golongan lain. Memperjuangkan sebuah ukhuwah dengan cara
meruntuhkan ukhuwah.
Banyak kasus yang penulis merasa
bahwa semangat ukhuwah itu nyatanya di laksanakan dengan cara berlebihan
tanpa mengkalkulasikan akibat akibat yang mesti di tanggung oleh sebuah
bangsa. Kasus Palestina - Israel misalnya, tidak sedikit yang mendorong
pemerintah Indonesia untuk berpartisipasi lebih luas. Misalnya dengan
cara mengirim kontingen angkatan perang demi membantu perjuangan mereka.
Atau setidaknya negara ikut memfasilitasi, mengkoordinasi, melatih dan
mengirim warganya untuk berjuang bersama saudaranya di tempat lain.
Begitu juga dengan kasus Suriah dan Mesir. Sebagian kita berusaha untuk
memaksa pemerintah untuk bersikap tegas dengan memutuskan hubungan
bilateral atau kalau perlu dengan cara yang lebih keras lagi.
Solidaritas
antar umat seagama yang saya pikir terlalu kebablasan. Bayangkan,
dengan kondisi jarak yang demikian jauh, di tambah problematika lain
misalnya mengenai biaya dan segala resikonya, kita secara gegabah
mengirim kontingen perang ke Palestina. Selain tidak efisien,
implikasinya terhadap nasib bangsa tentu tidak kecil. Ekonomi, keamanan
dan stabilitas negara tentu akan menjadi taruhan. Begitu juga dengan
kasus Mesir maupun Suriah. Jika kita secara membabi buta memutuskan
hubungan diplomatik, lalu bagaimana dengan warga kita yang bekerja dan
menuntut ilmu di sana. Bagaimana dengan hubungan dagang yang sudah
terjalin baik dan saling menguntungkan selama ini. Bukankah justru akan
memberi dampak yang lebih membuat bangsa ini menderita ?.
Allah
SWT dalam surat Al Baqarah ayat 190 berfirman, "Berperanglah kalian di
jalan Allah melawan orang orang yang memerangi kalian dan jangan
melampaui batas"
Kalimat 'jangan melampaui batas' ini
kiranya yang wajib kita perhatikan. Ukhuwah islamiyah penting. Tapi
semangat nasionalisme juga penting. Keduanya tidak bisa saling
menafikan. Ada batasan batasan tertentu tentang seberapa jauh kita bisa
berbuat untuk saudara kita di belahan negeri lain yang sudah di tetapkan
oleh agama. Dalam banyak riwayat, nabi seringkali menekankan untuk
menyelesaikan dulu perkara perkara yang ada di sekitar kita sebelum
kemudian berkontribusi untuk dunia luar.
Nabi pernah
melarang seorang sahabat untuk berjihad karena ia lebih di butuhkan oleh
keluarganya. Nabi juga mewanti wanti para mujahid untuk menyelesaikan
dulu hutangnya, memenuhi kebutuhan keluarga dan tetangganya sebelum
berangkat jihad. Dalam bahasa lain, berjuang itu haruslah di mulai dari
lingkungan sekitar. Keluarga, tetangga dan negara. Bahkan jumhur ulama
memberi syarat lain bagi mujahid sebelum berangkat. Yaitu meminta ijin
kepada mereka yang memberi piutang. Artinya, kalaupun kita hendak
melakukan intervensi militer, salah satu yang harus kita penuhi dahulu
adalah meminta ijin pada yang memberi piutang. Dalam skala negara, mau
tidak mau kita harus meminta persetujuan pihak pihak yang menghutangi
kita. Apakah itu IMF, World Bank, Amerika, Jepang atau bahkan mungkin
musuh dari saudara muslim yang akan kita bela. Apakah ini sudah di
lakukan ?
Mari kita simak ucapan manusia agung rasulullah Muhammad SAW di bawah ini :
Suatu
ketika beliau berkhutbah mengenai jihad fii sabilillah. Seorang sahabat
kemudian bertanya, " Ya Rasulullah, bagaimana pendapat anda jika saya
terbunuh di jalan Allah apakah seluruh dosa saya diampuni ?.” Beliau
menjawab,”Ya, jika kamu terbunuh di jalan Allah sedang kamu bersabar
dan mengharap pahala Allah, kamu maju dan tidak melarikan diri.”
Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bertanya,” Apa
pertanyaanmu tadi?” Ia menjawab,” Apa pendapat anda jika saya terbunuh
di jalan Allah, apakah seluruh dosaku terhapus?”. Rasulullah Shollallahu
‘alaihi wasallam menjawab,” Ya, jika kamu terbunuh di jalan Allah
sedang kamu bersabar dan mengharap pahala Allah, kamu maju dan tidak
melarikan diri (maka seluruh dosamu diampuni) kecuali hutang karena
Jibril mengatakan hal itu kepadaku.”
(HR Muslim, Nasai, Ahmad, Baihaqi, Ad Darimi)
Dalam riwayat lain nabi mengatakan, "seorang syahid di ampuni segala dosanya, kecuali hutang".
Nasionalisme
itu semangat mempertahankan kedaulatan dan martabat sebuah bangsa.
Semangat satu nasib dan satu tujuan dalam skup bernegara. Sesuatu yang
nyatanya juga di lakukan nabi Muhammad ketika beliau menandatangani
piagam Madinah. Jadi tidak relevan jika di katakan bahwa nasionalisme
membuat agama terkotak kotak. Apalagi jika di kaitkan dengan ciri
nasionalisme yang sudah di bangun para pendiri bangsa.
"Melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial".
Platform ini tidaklah jauh
berbeda dengan apa apa yang di ajarkan nabi. Bahwa memenuhi kebutuhan
keluarga, tetangga dan negara mesti di dahulukan sebelum ikut terlibat
dalam urusan yang lebih luas. Sikap pemerintah yang mengedepankan misi
kemanusiaan dalam setiap konflik yang melanda negara lain sudah lebih
dari cukup. Dalam konflik Palestina, kita sudah tegas dengan mendukung
kemerdekaan Palestina. Dalam konflik sesama muslim di Suriah dan Mesir,
tindakan pemerintah juga sangat bijak. Menekankan dialog dan perdamaian.
Jadi tidak ada alasan mengatakan nasionalisme Indonesia membuat agama
terkotak kotak.
Justru sikap seperti ini yang mestinya
kita dakwahkan ke sesama muslim di belahan dunia lain. Sangat ironis,
jika sesama muslim di Suriah berperang, kemudian muslim di tempat lain
ramai ramai datang ke sana untuk berperang di salah satu pihak. Ini
bukannya menyelesaikan masalah tapi malah menambah masalah. Begitu juga
dengan yang terjadi di Mesir. Mereka yang berkonflik adalah sesama
muslim.
Kalau di katakan nasionalisme kita membuat agama
terkotak kotak, bukankah yang terjadi di Suriah, Mesir dan lain
sebagainya adalah kebalikan dari itu ?. Agama ternyata juga membuat
sebuah bangsa terkotak kotak. Membuat antar warga negara berperang satu
sama lain atas dasar keyakinan.
So, tidak semua bentuk
nasionalisme itu mengkotak kotakkan agama. Dan tidak semua bentuk agama
itu mengkotak kotakkan sebuah bangsa...
DIRGAHAYU INDONESIAKU,
Tidak ada komentar