Breaking News

Nasionalisme Di Ujung Jalan






Saya tergelitik dengan pernyataan seseorang yang mengatakan bahwa "Nasionalisme membuat agama terkotak kotak". Pernyataan ini kemungkinan besar di dasarkan atas situasi selama ini di mana bingkai nasionalisme seolah mengabaikan tumbuhnya rasa solidaritas 'ukhuwah' antar sesama pemeluk agama. Nasionalisme menghalangi kita untuk mengulurkan tangan kepada saudara kita yang sedang menderita nun jauh di sana. Suriah, Palestina, Mesir, Rohingnya dan lain sebagainya. Nasionalisme juga mencabut doktrin mulia yang pernah Allah dan nabi katakan.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara.” (Al Hujurat: 10)

“Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya adalah laksana bangunan yang saling menguatkan bagian satu dengan bagian yang lainnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

"Seorang muslim adalah bersaudara dengan sesama muslim lainnya" (HR Ibnu Majah)

Kalimat 'nasionalisme membuat agama terkotak kotak' ini kemudian menjadi justifikasi akan pentingnya membongkar sebuah sistem bernegara yang melandaskan diri pada semangat nasionalisme. Dengan begitu, apa yang di sebut ukhuwah islamiyah bisa di wujudkan tanpa berfikir akan sekat sekat negara yang membatasinya. Dengan dalih persaudaraan pula, negara mendapat legitimasi untuk melakukan aksi lintas batas secara penuh demi 'menyelamatkan' saudaranya di tempat lain yang dalam keadaan tertindas. Begitu kira kira yang ada dalam pikiran mereka yang selama ini begitu gigih mengkampanyekan jargon 'nasionalisme membuat agama terkotak kotak'.

Menolong sesama, entah mereka tinggalnya dimana saja apalagi saudara seagama tentu bukan perbuatan yang buruk. Karena sudah tabiat manusia menjadi makhluk sosial. Akan tetapi menjadi rancu ketika kemudian karakter sosial dalam bingkai ukhuwah itu di lakukan dengan cara menabrak sifat sifat alaminya sendiri. Dalam bahasa lain 'merdeka dengan cara menjajah'. Membebaskan satu golongan dengan menjajah golongan lain. Memperjuangkan sebuah ukhuwah dengan cara meruntuhkan ukhuwah.

Banyak kasus yang penulis merasa bahwa semangat ukhuwah itu nyatanya di laksanakan dengan cara berlebihan tanpa mengkalkulasikan akibat akibat yang mesti di tanggung oleh sebuah bangsa. Kasus Palestina - Israel misalnya, tidak sedikit yang mendorong pemerintah Indonesia untuk berpartisipasi lebih luas. Misalnya dengan cara mengirim kontingen angkatan perang demi membantu perjuangan mereka. Atau setidaknya negara ikut memfasilitasi, mengkoordinasi, melatih dan mengirim warganya untuk berjuang bersama saudaranya di tempat lain. Begitu juga dengan kasus Suriah dan Mesir. Sebagian kita berusaha untuk memaksa pemerintah untuk bersikap tegas dengan memutuskan hubungan bilateral atau kalau perlu dengan cara yang lebih keras lagi.

Solidaritas antar umat seagama yang saya pikir terlalu kebablasan. Bayangkan, dengan kondisi jarak yang demikian jauh, di tambah problematika lain misalnya mengenai biaya dan segala resikonya, kita secara gegabah mengirim kontingen perang ke Palestina. Selain tidak efisien, implikasinya terhadap nasib bangsa tentu tidak kecil. Ekonomi, keamanan dan stabilitas negara tentu akan menjadi taruhan. Begitu juga dengan kasus Mesir maupun Suriah. Jika kita secara membabi buta memutuskan hubungan diplomatik, lalu bagaimana dengan warga kita yang bekerja dan menuntut ilmu di sana. Bagaimana dengan hubungan dagang yang sudah terjalin baik dan saling menguntungkan selama ini. Bukankah justru akan memberi dampak yang lebih membuat bangsa ini menderita ?.

Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 190 berfirman, "Berperanglah kalian di jalan Allah melawan orang orang yang memerangi kalian dan jangan melampaui batas"

Kalimat 'jangan melampaui batas' ini kiranya yang wajib kita perhatikan. Ukhuwah islamiyah penting. Tapi semangat nasionalisme juga penting. Keduanya tidak bisa saling menafikan. Ada batasan batasan tertentu tentang seberapa jauh kita bisa berbuat untuk saudara kita di belahan negeri lain yang sudah di tetapkan oleh agama. Dalam banyak riwayat, nabi seringkali menekankan untuk menyelesaikan dulu perkara perkara yang ada di sekitar kita sebelum kemudian berkontribusi untuk dunia luar.

Nabi pernah melarang seorang sahabat untuk berjihad karena ia lebih di butuhkan oleh keluarganya. Nabi juga mewanti wanti para mujahid untuk menyelesaikan dulu hutangnya, memenuhi kebutuhan keluarga dan tetangganya sebelum berangkat jihad. Dalam bahasa lain, berjuang itu haruslah di mulai dari lingkungan sekitar. Keluarga, tetangga dan negara. Bahkan jumhur ulama memberi syarat lain bagi mujahid sebelum berangkat. Yaitu meminta ijin kepada mereka yang memberi piutang. Artinya, kalaupun kita hendak melakukan intervensi militer, salah satu yang harus kita penuhi dahulu adalah meminta ijin pada yang memberi piutang. Dalam skala negara, mau tidak mau kita harus meminta persetujuan pihak pihak yang menghutangi kita. Apakah itu IMF, World Bank, Amerika, Jepang atau bahkan mungkin musuh dari saudara muslim yang akan kita bela. Apakah ini sudah di lakukan ?

Mari kita simak ucapan manusia agung rasulullah Muhammad SAW di bawah ini :

Suatu ketika beliau berkhutbah mengenai jihad fii sabilillah. Seorang sahabat kemudian bertanya, " Ya Rasulullah, bagaimana pendapat anda jika saya terbunuh di jalan Allah apakah seluruh dosa saya diampuni ?.” Beliau menjawab,”Ya, jika kamu terbunuh di jalan Allah sedang kamu bersabar dan mengharap pahala Allah, kamu maju dan tidak melarikan diri.” Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bertanya,” Apa pertanyaanmu tadi?” Ia menjawab,” Apa pendapat anda jika saya terbunuh di jalan Allah, apakah seluruh dosaku terhapus?”. Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam menjawab,” Ya, jika kamu terbunuh di jalan Allah sedang kamu bersabar dan mengharap pahala Allah, kamu maju dan tidak melarikan diri (maka seluruh dosamu diampuni) kecuali hutang karena Jibril mengatakan hal itu kepadaku.”

(HR Muslim, Nasai, Ahmad, Baihaqi, Ad Darimi)

Dalam riwayat lain nabi mengatakan, "seorang syahid di ampuni segala dosanya, kecuali hutang".

Nasionalisme itu semangat mempertahankan kedaulatan dan martabat sebuah bangsa. Semangat satu nasib dan satu tujuan dalam skup bernegara. Sesuatu yang nyatanya juga di lakukan nabi Muhammad ketika beliau menandatangani piagam Madinah. Jadi tidak relevan jika di katakan bahwa nasionalisme membuat agama terkotak kotak. Apalagi jika di kaitkan dengan ciri nasionalisme yang sudah di bangun para pendiri bangsa.

"Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial".

Platform ini tidaklah jauh berbeda dengan apa apa yang di ajarkan nabi. Bahwa memenuhi kebutuhan keluarga, tetangga dan negara mesti di dahulukan sebelum ikut terlibat dalam urusan yang lebih luas. Sikap pemerintah yang mengedepankan misi kemanusiaan dalam setiap konflik yang melanda negara lain sudah lebih dari cukup. Dalam konflik Palestina, kita sudah tegas dengan mendukung kemerdekaan Palestina. Dalam konflik sesama muslim di Suriah dan Mesir, tindakan pemerintah juga sangat bijak. Menekankan dialog dan perdamaian. Jadi tidak ada alasan mengatakan nasionalisme Indonesia membuat agama terkotak kotak.

Justru sikap seperti ini yang mestinya kita dakwahkan ke sesama muslim di belahan dunia lain. Sangat ironis, jika sesama muslim di Suriah berperang, kemudian muslim di tempat lain ramai ramai datang ke sana untuk berperang di salah satu pihak. Ini bukannya menyelesaikan masalah tapi malah menambah masalah. Begitu juga dengan yang terjadi di Mesir. Mereka yang berkonflik adalah sesama muslim.

Kalau di katakan nasionalisme kita membuat agama terkotak kotak, bukankah yang terjadi di Suriah, Mesir dan lain sebagainya adalah kebalikan dari itu ?. Agama ternyata juga membuat sebuah bangsa terkotak kotak. Membuat antar warga negara berperang satu sama lain atas dasar keyakinan.

So, tidak semua bentuk nasionalisme itu mengkotak kotakkan agama. Dan tidak semua bentuk agama itu mengkotak kotakkan sebuah bangsa...


DIRGAHAYU INDONESIAKU,

Tidak ada komentar