Megawati dan Jokowi
Sebelum tahun 1986, belum
banyak yang mengenal sosok Megawati. Adalah Suryadi (Ketua Umum PDI kala
itu) yang mengajak Megawati terjun ke dunia politik. Di awal karirnya
bersama PDI, wanita dengan nama lengkap Dyah Permata Megawati Setyawati
Soekarnoputri ini di percaya sebagai wakil ketua DPC PDI Jakarta Pusat.
Sejak itulah nama Megawati mulai di kenal publik.
Oleh
banyak kalangan, Megawati di kenal sebagai sosok politisi yang tidak
banyak bicara, tidak suka beretorika dan terkesan sangat hati hati dalam
menyikapi situasi politik. Itu kenapa banyak yang menduga bahwa wanita
yang pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Psikologi UI walau tidak
sampai selesai ini sebagai pribadi yang tidak cakap dalam berpolitik.
Bergabungnya Megawati ke PDI di anggap hanya sebagai pendongkrak suara
saja mengingat sejak awal fusi suara PDI terus menerus berada di posisi
buncit.
Entah ada korelasinya atau tidak, semenjak
Megawati bergabung bersama PDI, partai bernomor urut 3 ini mengalami
kemajuan dari pemilu ke pemilu. Jika pada pemilu 1982 PDI hanya meraih
suara 7,88% dan berada di urutan terakhir di bawah PPP dan Golkar, di
pemilu 1987 suara PDI meningkat menjadi 10,93%. Pada pemilu 1992 suara
PDI kembali meningkat dengan perolehan suara 14,89%.
Seiring
dengan meroketnya prestasi PDI di panggung perpolitikan tanah air,
karir politik Megawatipun perlahan mulai terkatrol. Pada KLB PDI tahun
1993 di Surabaya, Megawati terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum
PDI.
Naiknya Megawati sebagai Ketua Umum PDI yang
sebenarnya sudah di prediksi sejak manakala namanya santer di sebut di
Kongres Medan tak pelak memicu ketakutan tersendiri bagi lawan
politiknya terutama rezim orde baru. Setidaknya kejadian ini boleh di
bilang melawan pakem. Di mana setiap suksesi di tubuh partai politik
kala itu tak pernah luput dari intervensi pemerintah. Naiknya Megawati
di anggap sebagai sebuah perlawanan arus bawah yang tidak mau tunduk
terhadap keinginan penguasa. Di sisi lain fenomena Megawati juga memicu
kekhawatiran akan bangkitnya kembali Soekarnoisme yang sekian lama
berhasil di bungkam orde baru.
Bagi Orde Baru, Megawati
tak ubahnya ancaman nyata yang harus segera di sikapi dengan tegas.
Prestasi PDI yang terus menerus mengalami peningkatan dukungan dari
rakyat dari pemilu ke pemilu adalah sinyal bahwa partai ini memiliki
potensi besar menghancurkan hegemoni Orde Baru melalui sayap politiknya
yang sering kita kenal ABG (ABRI, Birokrat dan Golkar).
Ketakutan
orde baru ini sepertinya cukup beralasan. Misalnya, semenjak Megawati
memimpin, setidaknya PDI mulai menunjukkan diri sebagai partai yang
'banyak' mencari masalah. Ahmad Bahar dalam buku kecilnya 'Biografi
Politik Megawati Soekarnoputri' mengungkapkan setidaknya ada 7 dosa
politik Megawati.
Pertama, Megawati di anggap sebagai
biang keladi bangkitnya Soekarnoisme. Kedua, Megawati dianggap telah
melakukan pembiaran manakala orang orang di sekelilingnya bersuara vokal
dengan mempermasalahkan isu isu sensitif seperti dwifungsi ABRI,
pencalonan presiden lebih dari satu dan lain sebagainya. Ketiga,
Megawati di anggap tidak tanggap terhadap suara suara anti kemapanan
yang terus menerus melakukan kritik terhadap orde baru. Bahkan Megawati
justru seolah sengaja membiarkan diri di simbolkan sebagai ikon
perlawanan. Keempat, Megawati di anggap mulai berani mengungkapkan suara
yang berbeda dengan rezim dalam berbagai isu dan seolah menempatkan
diri dan partainya sebagai kekuatan oposisi. Sesuatu yang sebenarnya
tidak lazim di jaman orde baru.
Kelima, Megawati dianggap
gagal memimpin PDI. Itu terbukti dari tidak pernah selesainya konflik
dualisme yang melanda PDI di daerah daerah. Selain itu Megawati di
anggap gagal menyelesaikan struktur kepengurusan partai di tingkat MPP
(Majelis Permusyawaratan Partai) dan Deperpu (Dewan Pertimbangan Pusat).
Sesuatu yang jika sampai 1997 tidak bisa di bentuk, akan menimbulkan
bahaya.
Keenam, Megawati dianggap sebagai pemimpin yang
kurang akomodatif. Itu terbukti dari gaya otoriter Megawati yang sering
mencopot dan memecat kader kader partai yang berseberangan. Terakhir,
Megawati di anggap lebih mempercayai orang orang di sekitarnya dan
cenderung mengabaikan suara suara yang berasal dari lingkaran partainya.
Alasan
alasan inilah yang kemudian memancing lawan politiknya baik yang ada di
lingkaran partai maupun di luar untuk segera mengambil langkah untuk
menghentikan Megawati. Puncaknya adalah Kongres Medan tahun 1996.
Sekelompok pengurus PDI yang berseberangan dengan Megawati dengan di
dukung penuh rezim menggelar kongres luar biasa. Kongres yang tidak
pernah di akui oleh kubu Megawati ini mengukuhkan Suryadi sebagai Ketua
Umum PDI dan melenyapkan Megawati dari struktur PDI. Alhasil PDI
terbelah menjadi dua kubu. Kubu Suryadi yang di dukung pemerintah dan
kubu Megawati.
Hampir mirip dengan PKB 2009 di mana PKB
Muhaimin di akui pemerintah dan menyingkirkan PKB kubu Gus Dur, pada
proses tahapan pemilu 1997 pemerintah orde baru lebih mengakomodir PDI
versi Suryadi dan mengabaikan PDI pimpinan Megawati.
Hasil
pemilu paska tersingkirnya tokoh tokoh yang lebih populer di mata
rakyatpun kurang lebih sama. Jika PKB pada 2009 mengalami penurunan
suara yang cukup signifikan, maka PDI pada pemilu 1997 juga mengalami
bencana politik. Hanya mampu meraup suara 3% setelah pemilu sebelumnya
sukses meraih hampir 15% suara. Situasi ini membuktikan bahwa secara
politik, pengaruh Megawati jauh lebih kuat di banding kubu rivalnya di
seberang. Di sisi lain ini juga sinyal bagi rezim bahwa rakyat tidak
bisa di intervensi oleh penguasa.
Pasca pemilu 1997,
situasi politik bukan bertambah baik, tapi makin tak menentu. Rakyat
yang tidak puas dengan tingkah polah rezim terutama pasca kejadian
memilukan di depan kantor PDI jalan Diponegoro tahun 1996 (kudatuli)
terus melakukan perlawanan. Megawati bersama tokoh tokoh masyarakat
seperti Gus Dur, Sultan HB X, Amien Rais dan elemen elemen pro demokrasi
lain terus menggalang kekuatan. Puncaknya pada 1998, pemerintah orde
baru yang di pimpin Soeharto tumbang oleh kekuatan rakyat.
Setelah
reformasi, Megawati kemudian merubah nama PDI menjadi PDI Perjuangan.
Partai berlogo moncong putih ini keluar sebagai juara pemilu 1999 dengan
torehan suara 33% lebih. Sayang, walaupun partainya menang pemilu,
Megawati gagal terpilih sebagai presiden setelah kalah dari Abdurrahman
Wahid yang berasal dari PKB.
MEGAWATI ORGANISATORIS ULUNG
Pepatah
bilang, orang kuat adalah ia yang mampu bertahan di berbagai situasi.
Megawati membuktikan diri sebagai salah satu tokoh yang memiliki daya
tahan dan daya juang luar biasa. Memimpin sebuah organisasi politik
dalam tempo lama dan dengan prestasi stabil tentu bukan sesuatu yang
mudah. Betapa banyak pemimpin yang sebenarnya memiliki visi besar, akan
tetapi di kemudian hari terhempas oleh ketatnya kompetisi demokrasi yang
terkadang kejam.
Megawati telah membuktikan diri sebagai
politisi yang tidak saja liat dalam menghadapi tekanan di masa orde
baru, akan tetapi juga survive di era reformasi. Prestasi partai yang di
pimpinnya juga tidak kalah menarik. Kendati tidak selalu menjuarai
pemilu, akan tetapi PDI Perjuangan secara konsisten sanggup berada di
posisi tiga besar dalam setiap kompetisi. Bahkan kalau kita menilai dari
dimensi lain, PDI Perjuangan harus kita akui sebagai partai yang paling
banyak memenangkan ajang pilkada. Baik di tingkat provinsi maupun
kabupaten kota.
Ini tentu tak terlepas dari peranan
Megawati dalam merekrut, mendidik dan memilih kader dan menempatkan
kader kadernya. Mesin politik PDI Perjuangan oleh berbagai lembaga
survey dan juga fakta di lapangan menunjukkan diri sebagai mesin politik
paling efektif. Tengoklah bagaimana kinerja PDI Perjuangan di pilkada
DKI, Jateng dan lain sebagainya. Suara calon yang di usung PDI
Perjuangan seringkali lebih besar dari modal suaranya di parlemen.
Bahkan kendati tidak sampai menang sekalipun. Kita bisa melihatnya di
ajang ajang pilkada misalnya di Sumut, Jabar, Bali dan seterusnya.
Yang
menarik bagi penulis adalah sistem yang hendak di bangun PDI Perjuangan
dalam rangka penguatan peranan partai politik. Dalam mengajukan
kandidat misalnya, PDI Perjuangan senantiasa berpegang pada prinsip
'kalau bisa mengusung sendiri, kenapa harus terlibat transaksi politik
yang bertele tele dan berbiaya mahal ?'. Semangat kemandirian ini yang
kami kira jarang di miliki partai lain. Sebagian besar partai politik
seringkali terjebak pada pola transaksional. Cenderung hanya mencari
kemenangan tanpa berfikir bagaimana mengolah potensi kader yang di
miliki. Padahal seperti kita tahu, tugas partai politik adalah mengkader
calon calon pemimpin bangsa. Jika partai politiknya saja susah untuk
mandiri, apa jadinya jika mereka di percaya menahkodai negara ini.
JOKOWI BUAH TANGAN MEGAWATI
Publik
boleh terkagum kagum dengan gaya kepemimpinan gubernur DKI, Jokowi.
Dengan caranya menyelesaikan permasalahan di Jakarta. Dan dengan
penampilannya yang sederhana dan merakyat. Akan tetapi semoga saja
publik tidak lupa bahwa di balik itu semua, ada tangan lain yang membuat
Jokowi bernilai positif di mata rakyat.
Politik itu
kombinasi antara kemampuan dan kesempatan. Karir seorang politisi tidak
bisa tidak di bentuk dari dua hal itu. Sebelum menjadi walikota Solo,
Jokowi bukan siapa siapa. Dia bahkan hanya kader biasa dan bahkan bukan
figur puncak di daerahnya, Solo. PDI Perjuanganlah yang memberinya
kesempatan untuk mengaktualisasikan bakatnya. Ibarat mutiara yang
terpendam, PDI Perjuangan yang menggali, mengambil dan kemudian
memolesnya.
Ada yang mengatakan, andai PDI Perjuangan
tidak mengambilnya, partai lain yang akan mengambil. Karena mutiara
tetaplah mutiara. Anggapan ini boleh jadi benar, akan tetapi tidak
selamanya seperti itu. Seperti yang kami utarakan di atas, politik itu
kombinasi kemampuan dan kesempatan. Pertanyaannya adalah, jika Jokowi di
kader oleh partai lain, apakah ia juga akan memiliki kesempatan yang
sama untuk naik ?. Belum tentu.
Sehebat hebatnya pemain
sepakbola, jika ia di tangani oleh pelatih yang tidak mengerti bagaimana
mengembangkan bakat pemain, maka kehebatan sang pemain hanyalah cerita
kosong belaka. Begitu juga dengan figur Jokowi. Dia membutuhkan sosok
pelatih yang paham bakatnya, butuh tim yang berkemampuan prima untuk
mengawal langkah langkahnya. Dan tentu saja butuh tool berupa
kesempatan.
Begitu juga dengan isu pencapresan Jokowi.
Banyak pihak yang menggadang gadang Jokowi agar bersedia maju sebagai
calon presiden RI. Bukan saja masyarakat umum, akan tetapi juga partai
politik. Mereka yang punya kepentingan tidak sedikit yang memiliki
hasrat untuk merekrut Jokowi. Bahkan kalau mau jujur, semua kandidat
calon presiden RI akan dengan tangan terbuka menerima Jokowi kalau
bersedia menjadi wakil mereka.
Namun demikian, sekali lagi
ibarat pemain bintang sepakbola, seorang Kaka yang ketika di Milan
bersinar terang benderang nyatanya ketika pindah ke Madrid performanya
tidaklah segarang di tim lamanya. Begitu juga dengan Jokowi, dia bisa
pindah haluan dengan memakai kapal lain. Tapi performanya belum tentu
akan sehebat ketika ia bersama kapal lamanya.
Yang paling
tahu bagaimana cara terbaik mengasah sebuah pedang sudah pasti adalah
pembuatnya. Fenomena Jokowi adalah buah tangan dari Megawati beserta
mesin partai yang merekomendasikannya untuk mengaktualisasikan gagasan.
Jadi, kalaupun Jokowi maju sebagai capres, pintu yang paling tepat
adalah melalui partainya sendiri.
Dalam mukernas PDI
Perjuangan kemarin memang nama Jokowi tidak di sebut secara gamblang
sebagai calon kuat presiden dari PDI Perjuangan. Akan tetapi melihat
pengalaman politik Megawati yang cukup panjang, Presiden ke V RI tentu
juga akan berfikir matang. Dia pernah menjadi bagian dari keinginan
rakyat. Menjadi simbol perlawanan terhadap hegemoni rezim. Sudah tentu
Megawati juga akan berfikir untuk tidak melawan kehendak rakyat.
Pict : kompasiana
Penulis : Komandan Gubrak
Tidak ada komentar