Amin Rais Alami Puber Kedua
Oleh : Dhan Gubrack
Beberapa saat lalu saya membaca sebuah berita dari media online yang
isinya tentang statemen Prof Amin Rais. Dalam berita itu pria kelahiran
Solo yang pernah mendapat titel tokoh reformasi ini mengatakan bahwa
tidak selayaknya kita memilih pemimpin kafir. Entah kepada siapa kalimat
itu di tujukan, akan tetapi yang membuat saya terheran adalah perubahan
sikap mantan ketua umum PP Muhammadiyah.
Amin Rais yang
saya kenal dulu adalah seorang tokoh yang memiliki kredibilitas tinggi.
Walaupun lahir dari latar belakang Muhammadiyah, akan tetapi warna
nasionalis Amin Rais cukup kental. Di era orde baru, ia orang yang
paling getol mempersoalkan kebijakan kebijakan pemerintah yang
menurutnya lebih mementingkan kepentingan asing. Apakah itu soal
pertambangan, kebijakan yang kapitalis maupun hal hal yang bertentangan
dengan hajat hidup orang banyak lain. Di era Gus Dur, suara kritis Amin
Rais juga tak kalah lantang. Dia pula yang menjadi salah satu motor
penggerak di jatuhkannya Presiden Wahid dari tampuk kekuasaan. Walaupun
mantan ketua MPR ini awalnya menjadi salah satu orang yang mendorong Gus
Dur untuk maju menjadi calon presiden. Amin Rais juga cukup kritis
terhadap pemerintahan Megawati, bahkan di era SBY di mana PAN merupakan
mitra koalisi pentingpun tak luput dari kritiknya.
Amin
Rais bicara blak blakan itu wajar. Tapi menjadi sedikit aneh jika akhir
akhir ini kritik sang profesor mendadak terkesan serampangan dan
mempertontonkan sikap yang sektarian. Statemen Amin Rais yang meragukan
nasionalisme Jokowi sembari menyamakan gubernur DKI itu seperti Estrada
misalnya, menjadi sesuatu yang sulit di nalar. Kesannya terlalu membabi
buta dan hanya mencari sensasi. Dan ini rupanya bukan hanya sekali dua
kali. Sejak Jokowi di calonkan sebagai gubernur DKIpun Amin Rais seolah
merasa gatal kalau tidak menyerang.
Lucunya, kritik soal
nasionalisme Jokowi ini kemudian di barengi dengan sikap yang tidak
nasionalis seorang Amin Rais. Ibarat menepuk air di dulang terpercik
muka sendiri, dalam sebuah rapat yang di selenggarakan Muhammadiyah
bulan Februari silam dan di muat transkipnya oleh salah satu media
online, publik di suguhi pidato Amin Rais yang saya pikir tendensius.
Sebagai
seorang tokoh yang pernah menjabat sebagai Ketua MPR, pernyataannya
yang menganjurkan untuk tidak memilih pemimpin kafir ini patut di
sayangkan. Sebagai mantan pimpinan lembaga tinggi negara seharusnya dia
faham, bahwa kriteria calon pemimpin bangsa tidak di dasarkan pada
agama. Artinya, siapa saja, penganut agama apa saja punya hak untuk maju
sebagai calon pemimpin bangsa.
Di sisi agamapun, tafsir
tentang siapa yang layak di sebut kafir juga masih dalam perdebatan. Ada
yang mengatakan di luar Islam itu kafir, ada yang mengatakan nonmuslim
yang masih mempercayai Tuhan tidak bisa di katakan kafir. Seorang Amin
Rais seharusnya tahu masalah ini. Dan menurut penulis, pernyataan yang
berbau sektarian dari Amin Rais, sangat tidak biasa.
AMIN RAIS GALAU
Ucapan
seorang tokoh sekaliber Amin Rais tentu tidak bisa di anggap sebagai
salah ucap atau keseleo lidah. Sebagai politisi kawakan sudah pasti
memiliki pertimbangan matang sebelum mengeluarkan statemen. Artinya, ada
tujuan politik tertentu yang hendak di raih oleh mantan ketua umum PAN
itu.
Lalu apa tujuannya ?
Penulis membuat
dua analisis yang mungkin bisa menjelaskan kenapa sang tokoh reformasi
itu begitu bernafsu menyerang Jokowi dan juga cenderung berubah sikap
menjadi lebih sektarian.
1. Amin Rais Alami Puber Kedua
Walaupun
secara kultural basis PAN adalah Muhammadiyah, akan tetapi sepanjang
perjalanannya PAN selama ini lebih banyak menampilkan diri sebagai
partai tengah. Partai yang bisa di masuki oleh siapa saja, lintas agama
maupun sektoral. Bahkan figur ketua umum PANpun tidak harus berasal dari
Muhammadiyah. Tampilan PAN yang lebih ke tengah ini di awal reformasi
cukup mengesankan. Partai berlambang matahari ini meraih kursi 7,4%.
Selanjutnya pada 2004 perolehan PAN meningkat menjadi 9,6%. Namun di
pemilu 2009 perolehan suara PAN turun menjadi 7,7%. Di pemilu terakhir
ini PAN bahkan di salip oleh PKS yang memperoleh suara 10,18% kursi DPR
RI.
Di akui atau tidak, antara PAN dan PKS memiliki irisan
massa yang kurang lebih sama. Basis pendukungnya adalah muslim
perkotaan, anggota Muhammadiyah dan mereka yang oleh sebagian orang di
anggap berhaluan wahabi. Rivalitas PAN dan PKS dalam berebut pengaruh di
mata muslim perkotaan ini harus di akui cukup kental. Sebagian besar
pengurus PKS juga berasal dari Muhammadiyah, seperti halnya PAN. Namun
dalam perjalanannya PKS jauh lebih memiliki pengaruh di kalangan
Muhammadiyah. Ultimatum petinggi Muhammadiyah beberapa waktu lalu soal
pengaruh kader partai di tubuh organisasi adalah bukti terjadinya
perseteruan terselubung itu.
Kemampuan PKS untuk menarik
lebih banyak basis massa kanan ini kurang lebih di sebabkan karena
efektifitasnya mencitrakan diri sebagai partai agama. Akar rumput
Muhammadiyah menganggap PAN tidak lagi bisa mewakili cita cita mereka.
Oleh sebab itu mereka kemudian berbondong bondong hijrah ke PKS.
Citra
yang kurang islami inilah yang mungkin di tangkap oleh Amin Rais dan
PAN. Ibarat seorang pria paruh baya yang sudah lama tidak mengalami
romantisme cinta masa lalu, Amin Rais kini berfikir untuk membangkitkan
kembali gairah yang hilang. Apalagi faktanya, selama mencitrakan diri
sebagai partai tengah, PAN tidak banyak mengalami kemajuan. Malah
cenderung turun. Maka tidak ada salahnya menikmati massa puber kedua.
Kasus
kasus yang melanda PKS juga menjadi momentum yang paling tepat untuk
merebut kembali pengaruhnya di kalangan muslim puritan. Maka, jadilah
PAN kini mulai menampilkan lagi citranya sebagai partainya Muhammadiyah.
2. Strategi Menaikkan Daya Tawar
Di
berbagai survey, baik PAN maupun figur Hatta Radjasa yang di gadang
gadang sebagai capres, popularitas mereka di mata publik sangatlah
memprihatinkan. Bahkan beberapa pihak malah memprediksikan PAN tidak
akan lolos electoral treshold. Begitu juga dengan figur Hatta Radjasa.
Nama ketua umum PAN ini dalam berbagai survey nyatanya minim peminat.
Bahkan sekedar untuk posisi wakil presiden sekalipun. Amin Rais kami
kira menyadari kondisi ini.
Lalu kenapa yang jadi sasaran adalah Jokowi ?
Kalau
kita setback ke belakang, Amin Rais pernah memiliki pengalaman manis di
masa lalu. Tepatnya di akhir era orde baru, ketika ia masih menjabat
sebagai ketua umum Muhammadiyah. Di mana dengan segala keterbatasan, ia
sukses meng'kudeta' reformasi dan menahbiskan diri sebagai ikon
reformasi. Padahal jika kita runut sejarah, Amin Rais sejatinya bukan
orang yang paling berperan mengawali proses keruntuhan Orde Baru. Dia
datang belakangan, setelah orde baru gagal menghabisi Gus Dur melalui
skenario PBNU tandingan, setelah orde baru gagal menahan laju Megawati
dan setelah orde baru gagal meredam arus bawah. Ibarat prajurit, Amin
Rais datang belakangan setelah melihat posisi musuh mulai melemah.
Kenangan
manis Amin Rais juga tergambar manakala ia menggalang poros tengah yang
akhirnya menggagalkan Megawati dalam rangka merebut kursi RI 1. Padahal
fakta pemilu menunjukkan bahwa Megawatilah figur yang paling populer
dan di inginkan rakyat. Kemenangan PDI Perjuangan adalah bukti sahih
untuk mengukur itu. Tapi Amin Rais dengan modal 7% kursi PAN nyatanya
sanggup mengubah keadaan.
Belajar dari masa lalu, kali ini
Amin Rais tak ingin kehilangan momentum. Kendati modal politiknya tidak
seberapa, dia ingin menunjukkan kepada publik bahwa dirinya dan PAN
yang paling layak berhadapan satu lawan satu dengan tokoh yang paling
populer saat ini. Bukan Prabowo, ARB atau siapapun juga, tapi dia yang
layak menjadi penantang. Manuver Amin Rais ini menjadi semacam
konfirmasi kepada sang lawan, yaitu Jokowi, agar mau berhitung
dengannya.
Tidak ada komentar