Membumikan Bahasa Indonesia
Pernahkan kita mendengar atau membaca sebuah pernyataan yang isinya
menngkritik dengan nada mencemooh penggunaan bahasa asing yang di
singkat singkat ?. Misalnya kata 'assalamu'alaikum wa rahmatullah wa
barakatuh' yang di singkat singkat menjadi 'ass, askum, mikum dan
seterusnya'?.
Jawabannya sudah tentu pernah. Bahkan mungkin bisa kita temui hampir setiap saat statemen statemen seperti di atas.
Lantas,
pernahkah kita mendengar atau membaca pernyataan serupa yang isinya
mengkritik penggunaan bahasa Indonesia yang di singkat singkat ?.
Misalnya, 'selamat pagi' hanya di ucapkan 'met pagi' atau hanya 'pagi'
saja. Atau bahasa Indonesia yang di campur campur dengan bahasa bahasa
lain?.
Sudah tentu sangat jarang kita menemui seseorang yang memiliki semangat yang begitu fanatik terhadap bahasanya sendiri.
Kecenderungan
lebih menggandrungi dan mengutamakan bahasa asing memang sudah menjadi
penyakit akut dalam masyarakat kita. Mereka yang memiliki kemampuan
dalam bahasa asing dianggap lebih siap menjawab tantangan dunia di
banding dengan mereka yang kurang mampu berbahasa asing. Maka tak heran
kalau lembaga lembaga pendidikan yang mengajarkan bahasa asing lebih di
minati ketimbang bahasa Indonesia apalagi bahasa daerah. Lihat saja di
perguruan perguruan tinggi, fakultas Bahasa Inggris dan bahasa asing
lainnya jauh lebih seksi di banding jurusan bahasa Indonesia maupun
daerah.
Ironisnya, entah berkaitan atau tidak,
meningkatnya minat siswa mempelajari bahasa asing justru tidak di
barengi dengan meningkatnya prestasi anak didik di bidang Bahasa
Indonesia. Laporan dari dinas pendidikan menunjukkan bahwa nilai UN
untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia terus mengalami penurunan. Untuk
level SMP, nilai rata rata siswa di tahun 2006 adalah 7,46. Tahun
berikutnya turun menjadi 7,39. Dan di tahun 2008 turun lagi menjadi
7,00. Penurunan serupa juga di alami pada siswa tingkat SMA. Baik siswa
SMA IPA, IPS bahkan SMA Bahasa.
Survey Tampoll Gubrak : 70% Gubraker Menolak Penghapusan Mata Pelajaran Bahasa Inggris SD
Rencana
pemerintah yang akan menghapus pelajaran Bahasa Inggris terutama di
tingkat Sekolah Dasar rupanya tidak mendapat dukungan penuh dari
Gubraker. 70% Gubraker menyatakan tidak setuju jika pelajaran itu di
hapus dari bangku Sekolah Dasar. Alasan yang mendasari itu kurang lebih
seragam. Bahwa penguasaan bahasa Inggris sejak dini di anggap sangat
penting bagi masa depan anak dalam menghadapi tatanan global.
Sementara
30% responden yang menyatakan setuju Inggris di hapus dari bangku SD
beralasan bahwa nilai patriotisme jauh lebih penting untuk di tanamkan
siswa dasar daripada mempelajari bahasa Inggris. Alasan lain adalah mata
pelajaran yang ada sudah terlalu banyak. Menghapus pelajaran bahasa
Inggris setidaknya mengurangi beban siswa yang notabene masih dalam
batas usia bermain.
Terlepas dari alasan masing masing
baik yang pro maupun kontra, sistem pendidikan di negara kita memang
perlu perbaikan perbaikan. Di banyak negara maju, mata pelajaran yang di
ajarkan di tingkat dasar jumlahnya tidak terlalu banyak. Antara 5 - 8
mata pelajaran. Sementara di Indonesia jumlahnya lebih dari 10 mata
pelajaran. Ini belum termasuk kegiatan pendidikan lain yang bersifat
informal semacam TPA, Kursus Bahasa, Kursus Komputer dan lain
sebagainya.
Banyaknya mata pelajaran yang harus di kuasai
siswa tentu akan berimbas pada psikologi mereka. Anak menjadi lebih
mudah stres, labil dan destruktif. Satu guru saja belum tentu sanggup
mengajar sepuluh mata pelajaran sekaligus, apalagi siswa didiknya. Oleh
sebab itu pengurangan mata pelajaran yang sudah terlalu banyak menjadi
suatu kebutuhan.
Benarkah penguasaan Bahasa Inggris menjadi kunci kesuksesan sebuah bangsa dalam bersaing di dunia global ?.
Inilah
alasan utama kenapa banyak masyarakat menginginkan Bahasa Inggris tetap
masuk dalam kurikulum Sekolah Dasar. Kegagapan berkomunikasi dalam
bahasa internasional berarti hambatan sebuah bangsa untuk maju dan
berkembang.
Sebuah alasan yang menurut penulis terlalu
subyektif dan merefleksikan kecemasan yang berlebihan. Kita bisa ambil
contoh Perancis dan Jepang. Di dua negara ini bahasa Inggris tidak di
anggap sebagai bahasa yang penting. Di Jepang, mata pelajaran Bahasa
Inggris baru di ajarkan secara efektif di tingkat SMA. Dalam pergaulan
internasional, orang Jepang di kenal sangat fanatik dengan bahasanya
sendiri. Ketika mereka bertemu dengan orang asing, yang pertama mereka
lakukan adalah berusaha mengajak berkomunikasi dalam bahasa Jepang.
Mereka baru menggunakan bahasa Inggris ketika lawan bicaranya tidak bisa
berbahasa Jepang. Itupun kemampuan bahasa Inggris mereka rata rata
buruk.
Apakah ketidakmampuan orang Jepang berbahasa
Inggris menghambat mereka untuk maju ?. Ternyata tidak. Dengan
masyarakat yang rata rata buta bahasa Inggrispun Jepang tetap mampu
bersaing di dunia internasional.
Begitu juga dengan bangsa
Perancis. Dalam penguasaan bahasa Inggris, barangkali masyarakat
Indonesia masih lebih baik dari bangsa Perancis. Keengganan orang
Perancis menggunakan bahasa Inggris juga terlihat dengan di keluarkannya
larangan menggunakan bahasa Inggris dalam setiap rapat pejabat
pemerintahan. Larangan ini tidak hanya penggunaan bahasa Inggris secara
keseluruhan, istilah istilah tertentu dalam bahasa Inggrispun dilarang
untuk di pakai dan harus di ubah ke dalam bahasa Perancis.
Jepang
dan Perancis hanya sekedar contoh bahwa kemampuan dalam menguasai
bahasa internasional bukanlah faktor utama yang menyebabkan sebuah
bangsa mampu bersaing di dunia internasional. Justru fanatisme mereka
terhadap kebudayaan dan tradisi sendiri yang membuat mereka kuat dan
maju.
Dari segi jumlah penutur, baik bahasa Perancis
maupun Jepang tidaklah lebih banyak dari jumlah penutur Bahasa
Indonesia. Bahkan jika usulan agar ASEAN menjadikan Bahasa Indonesia
sebagai bahasa resmi di sepakati, bahasa kita memiliki potensi besar
untuk menjadi bahasa internasional yang sejajar dengan bahasa bahasa
dunia lain.
Penghapusan Bahasa Inggris dari kurikulum SD
sejatinya bukan kiamat bagi Indonesia untuk berbuat banyak di kancah
internasional. Justru ini harus kita jadikan momentum yang tepat untuk
lebih mempopulerkan bahasa Indonesia di kalangan dunia. Seperti halnya
yang dilakukan orang Jepang yang setengah memaksa orang asing untuk
berbicara dalam bahasa Jepang, kenapa kita tidak berfikir bagaimana
caranya membuat orang lain mau belajar dan berkomunikasi dalam bahasa
Indonesia.
Untuk membuat bahasa Indonesia menarik di dunia
internasional, sudah tentu penuturnya harus mulai berfikir untuk
meningkatkan kualitas penguasaan bahasanya. Di level Asean, kita harus
terus mendorong bangsa bangsa Asean untuk menerima bahasa Indonesia atau
bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar pertama menggantikan bahasa
Inggris.
Perlu pembaca ketahui juga, bahwa Bahasa
Indonesia menurut Departemen Luar Negeri RI sudah di ajarkan di 45
negara. Selain menjadi bahasa ibu bagi masyarakat Indonesia, Timor
Leste, Malaysia, Brunei dan Singapura, bahasa Indonesia juga menjadi
bahasa resmi kedua di Vietnam. Ini berarti dunia sudah mulai
memperhitungkan kita.
Jadi, lebih baik menangis ketika
nilai ujian Bahasa Indonesia anak didik kita jeblok, daripada meratapi
di hapuskannya Bahasa Inggris atau bahasa asing manapun dari kurikulum
Sekolah Dasar.
Oleh : Komandan Gubrak
Tidak ada komentar