Breaking News

Rezim Saudi Di Ambang Keruntuhan


Setelah Amerika Serikat menolak untuk mengintervensi Suriah secara militer, harapan Saudi untuk mendongkel Presiden Assad dari singgasananya makin jauh panggang dari api. Ribuan pejuang asing dari berbagai negara telah di datangkan ke Suriah demi mempercepat proses kejatuhan Assad. Alih alih menggoyahkan kekuasaan Assad, yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Atas nama perebutan wilayah, penguasaan bantuan, senjata dan juga persaingan ideologi, kubu oposisi malah bertempur antar satu dengan yang lain.

Pertikaian terkini terjadi di kota perbatasan antara Turki dan Suriah. Sekelompok pejuang yang menamakan diri Front Islam menyerang dan mengambil alih sebuah gudang senjata milik FSA di Bab Al Hawa. Kisah ini hanya satu dari sekian rentetan perpecahan yang melanda kubu oposisi. Faksi lain semisal Front Nusra juga di ketahui beberapa kali terlibat bentrok dengan FSA. Begitu juga antara Front Islam dengan Front Nusra atau dengan ISIL (Negara Islam Irak dan Levant). Ini belum termasuk konflik antara gerilyawan Kurdi dengan kubu oposisi di daerah daerah basis suku Kurdi.

Beberapa pihak mencurigai kubu Assad telah berhasil menyusupkan agennya ke kubu pemberontak. Akan tetapi menurut hemat penulis, perpecahan antar faksi pemberontak ini sejatinya lebih banyak karena faktor makin tajamnya perbedaan antara pihak pihak yang mendukung dan membiayai mereka. Front Nusra yang merupakan kepanjangan tangan dari Al Qaeda di bekingi oleh Arab Saudi. Sementara Front Islam dengan faksi utama Liwa Tauhid dan berhaluan Ikhwanul Muslimin mendapat sokongan dari Turki. Kubu lain yang lebih moderat, FSA di dukung penuh Amerika dan sekutu Eropanya.

Ketidakkompakkan pihak pihak yang mendukung oposisi nyatanya tidak hanya dalam kasus Suriah. Soal Mesir, pihak Saudi berbeda pendapat dengan Amerika dan Turki. Rezim Saudi mendukung penuh militer Mesir, bahkan menggelontorkan dana besar demi menjatuhkan Morsi. Sementara Turki dan Amerika lebih cenderung mendukung kubu Ikhwanul Muslimin.

Silang pendapat antara Saudi dan sekutunya (Amerika) juga terlihat dalam perundingan nuklir Iran. Arab Saudi tampaknya kurang bisa menerima sikap Amerika yang terlalu lunak terhadap rival regionalnya. Walaupun masih dalam skala terbatas, akan tetapi pengenduran sanksi bagi Iran merupakan sinyal berbahaya bagi Saudi yang tak ingin hegemoninya di kawasan tersaingi. Kekhawatiran serupa juga di alami Israel. Rezim zionis ini satu sikap dengan Saudi mengenai nuklir Iran. Mereka lebih menginginkan sikap konfrontatif terhadap Iran daripada diplomasi.

Kegagalan perundingan Jenewa I kurang lebih juga di sebabkan tajamnya perbedaan antar faksi oposisi. Petempur terkuat kubu pemberontak yang dekat dengan Al Qaeda terang terangan menolak upaya perdamaian. Bahkan mereka mengancam akan menyerang pihak pihak yang datang ke meja perundingan. Walaupun faksi Al Qaeda di Suriah menjadi momok bagi semua pihak, terutama oposisi moderat dan rezim Bashar, akan tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa para petempur Al Qaeda lebih mendominasi. Maka kalaupun ada perundingan damai antara oposisi dan pemerintah Suriah, jika tidak mengakomodir faksi yang di dukung Arab Saudi, keadaan di lapangan akan sangat berbeda.

Menjelang perundingan Jenewa II di gelar, beberapa kemajuan di capai tentara Suriah. Di jalur sepanjang perbatasan Suriah dan Lebanon, tentara Assad meraih kemenangan strategis dengan mengusir sebagian besar pemberontak dari basisnya di pinggiran Lebanon. Terutama di kota Nabak dan Yabrud. Keberhasilan ini sekaligus mengamankan jalur logistik dari Suriah selatan menuju ke Homs dan kota kota di pantai.

Kondisi inilah yang menurut penulis menjadikan semua pihak di kubu oposisi mulai mempertimbangkan kehadirannya di Jenewa II. Walaupun Arab Saudi dan mitra teluknya melalui KTT GCC (Gulf Cooperation Council) tetap mendesak agar Bashar Al Assad tidak di libatkan dalam rencana masa depan Suriah, akan tetapi di pihak lain rezim Wahabi ini juga meminta oposisi untuk ambil bagian dalam perundingan.

Saudi tentu khawatir dengan kemajuan pesat yang di peroleh tentara Suriah. Beberapa kota kunci di selatan dan tengah kini berada dalam kontrol penuh tentara Suriah. Damaskus, Homs, Hama dan kota kota di sepanjang pantai mediterania. Selangkah lagi tentara Suriah akan memungkasi pertarungan di wilayah utara yang mana tentara oposisi masih memiliki pengaruh besar.

Di Idlib misalnya, walaupun wilayah perkotaan berada di bawah kontrol tentara Suriah, akan tetapi kubu pemberontak terutama dari faksi Al Qaeda masih menguasai wilayah wilayah pedesaan. Sebelum melancarkan serangan puputan di selatan, sudah pasti tentara Suriah akan berusaha menyapu bersih basis basis pemberontak di sekitar Idlib. Inilah yang membuat Saudi merasa perlu untuk memaksa oposisi agar ikut dalam perundingan. Jika perundingan itu gagal dan tentara Suriah keburu menyapu wilayah utara, tentu keadaanya akan lebih menyakitkan lagi. Ibarat jatuh tertimpa tangga. Sudah mengeluarkan biaya milyaran dollar, namun gagal dan kalah.

Jika Saudi kalah total di Suriah, maka konsekuensinya akan luar biasa. Setidaknya peristiwa itu akan memicu kebangkitan musuh musuh Saudi di tempat lain. Terutama di Bahrain dan provinsi timur Saudi yang kaya akan minyak dan di huni oleh mayoritas Syiah. Di Bahrain misalnya, rezim Al Khalifa sangat tergantung pada perlindungan Saudi. Negara dengan penduduk mayoritas Syiah ini sudah sejak lama di guncang aksi protes menentang rezim minoritas Sunni. Oposisi Bahrain tentu akan mengambil kesempatan untuk melancarkan revolusi seiring melemahnya Saudi. Dan jika gerakan oposisi Bahrain menuai sukses, virus serupa kemungkinan besar akan menjangkiti Saudi.

Memang, selama ini posisi Saudi terbilang cukup aman. Mengingat di negeri tempat nabi Muhammad lahir itu masih bercokol ribuan tentara Amerika yang siap membelanya dari serangan luar. Akan tetapi itu bukan jaminan bagi kelangsungan hegemoni Saudi di kawasan. Amerika dan sekutu Eropanya tentu akan mempertimbangkan masak masak tentang untung ruginya membela Saudi. Penolakan Amerika untuk mengintervensi langsung Suriah dan suksesnya perundingan nuklir Iran menjadi bukti bahwa barat tetap tidak bisa di dikte. Mereka akan tetap bersikap oportunis. Oleh sebab itu Saudi tidak selamanya bisa bergantung pada Amerika untuk survive.

Penulis : Komandan Gubrak

Tidak ada komentar