Nyai Ronggeng
Priyo menarik nafas panjang, mengambil sepucuk pistol dari pinggang,
menarik pelatuk lalu mengarahkan moncong senjata api itu tepat di kening
kanannya. Matanya terpejam, batinnya meradang. Membayangkan nasib yang
kini tak ubahnya pecundang.
“Sungguh aku tak berguna” keluhnya.
Bayangan
Nyai Ronggeng dengan seringai bengis menari liar di pelupuk mata.
Perempuan setengah baya bergincu merah darah itu kini tak ubahnya
malaikat maut yang siap mengakhiri hidupnya. Ratu germo itu bukan saja
menjadi penyebab kehancuran karirnya sebagai polisi, akan tetapi sudah
menghabisi mimpinya untuk hidup bahagia bersama sang pujaan hati.
Lelaki
berpangkat Brigadir Satu itu mencengkeram erat gagang pistolnya. Jari
telunjuknya bergetar manakala bergerak menekan pemicu. Keringat dingin
bercucuran deras membasahi wajah pucatnya. Seakan menjadi pengiring akan
aksi tragisnya siang itu. Dan dengan sekali hentakan,
Dorrr!!!!
Asap
tipis mengepul ke udara. Bersamaan dengannya, tubuh yang masih terbalut
seragam kebesaran berwarna coklat itu kemudian sempoyongan, lunglai dan
dalam hitungan detik ambruk mencium lantai keramik di sudut kamar
kontrakkannya yang pengap.
Sebelum di angkat sebagai
anggota penegak hukum, Priyo memang di kenal sebagai pemuda yang jujur,
idealis dan tak kenal kompromi jika itu menyangkut sebuah kebenaran. Dia
memang terlahir dari keluarga sederhana, namun memiliki genetika
patriotik yang mungkin menjadi barang yang langka di negeri ini.
Kakeknya merupakan anggota laskar rakyat yang dulu terlibat pertempuran
di Surabaya dan menjadi salah satu martir di sana. Almarhum ayahnya
adalah sosok polisi teladan dengan track record bersih, namun sayangnya
harus gugur di tangan kelompok bersenjata saat bertugas di daerah
konflik. Sementara ibunya seorang guru di sebuah kawasan daerah
tertinggal yang di sanalah Priyo di besarkan.
“Menjadi
pejabat negara itu bukan berarti menjadi raja. Dia hanya abdi negara,
abdinya rakyat dan masyarakat. Kelak kalau kamu jadi pejabat, bertingkahlah
layaknya pelayan. Jangan mentang mentang. Jangan adigang adigung dan
sewenang wenang. Tegakkan kebenaran, walau itu pahit buatmu”
Begitu
pesan ayahandanya sesaat sebelum berangkat bertugas di daerah konflik.
Pesan mulia itu rupanya menjadi kalimat terakhir yang Priyo dengar dari
sosok yang begitu ia banggakan. Dan ketika ia mendengar ayahnya gugur
dalam tugas, Priyo tak lantas patah arang. Segumpal tekad ia bangun
dalam pikirannya. Bahwa apa yang terjadi pada ayah dan juga kakeknya
bukanlah akhir dari segalanya. Keteladanan, keberanian dan patriotism
leluhurnya tidak boleh berhenti hingga di situ. Sebagai keturunan
terakhir, Priyo merasa perlu untuk meneruskannya.
Angin
baik rupanya berpihak pada Priyo. Selepas SMA ia mendaftar sebagai calon
polisi. Setelah melalui serentetan tes yang melelahkan, akhirnya Priyo
lulus dan di terima sebagai anggota kepolisian dengan pangkat Brigadir
Satu.
Bertugas sebagai polisi lalulintas dengan tanggung
jawab mengamankan beberapa ruas jalan dengan tingkat kerawanan relatif
tinggi. Terutama di perempatan jalan Semar. Kawasan yang kiri kanan
jalan di penuhi pertokoan dan kantor ini memang di kenal ramai lagi
semrawut. Pengendara yang sering menerobos rambu rambu, angkutan umum
yang hoby ngetem menunggu penumpang, hingga hilir mudik pedagang asongan
yang menawarkan dagangannya pada penumpang. Begitu matahari terbit,
kemacetan langsung melanda kawasan ini. Ini berlangsung hingga malam
hari. Lewat tengah malam kondisi lalu lintas memang mulai lengang. Akan
tetapi nahasnya, anak anak muda yang hoby balapan seringkali
memanfaatkan kelengahan petugas dengan menggelar aksi balap liar di
kawasan itu lewat tengah malam.
Priyo sendiri sebenarnya
tak terlalu menyukai dunia jalanan semacam itu. Ia lebih suka di
tempatkan di bagian reskrim. Memburu pelaku kriminal, berjibaku dengan
para penjahat dan menjebloskan mereka ke penjara. Itu lebih membuat
ayahnya di surga sana tersenyum bangga daripada berurusan dengan
kebandelan para sopir angkutan umum, ketidaktaatan pengendara mematuhi
aturan lalulintas dan juga tingkah polah pedagang asongan yang mengais
rezeki di jalan.
Namun karena itu menjadi tugas dan
kewajibannya, mau tidak mau Priyo harus berbuat sebaik mungkin sembari
berharap nanti atasannya memberi tugas yang lebih menantang lagi.
Sebulan bertugas bersama beberapa rekannya, Priyo mulai menunjukkan
kapasitasnya sebagai petugas yang handal. Jika petugas sebelumnya lebih
sering kompromi dengan pengguna jalan yang melanggar, di tangan Briptu
Priyo, kawasan jalan Semar berubah menjadi momok paling menjengkelkan
bagi pelanggar lalu lintas.
Sudah tak terhitung lagi
berapa banyak pengendara terpaksa di tilang. Tidak ada istilah uang
damai atau belas kasih apapun. Semua harus di selesaikan sesuai
prosedur. Angkutan umum yang biasa ngetem sembarangan juga menjadi
sasaran penertiban. Tawaran upeti para pengusaha angkutan umum demi
mendapatkan ‘ijin’ untuk ngetem sembaranganpun di tolak Priyo. Imbasnya,
perlahan namun pasti lalu lintas di perempatan jalan Semar terurai.
Sementara para pedagang asongan yang biasanya sering memanfaatkan
kemacetan mulai berkurang jumlahnya.
Namun demikian, tidak
selamanya kinerja Priyo berjalan sesuai rencana. Sebuah insiden dalam
rangka menertibkan balapan liar sedikit mencoreng reputasi Priyo. Ketika
itu Priyo dan beberapa rekannya berencana merazia para pelaku balap
liar tengah malam. Awalnya operasi berjalan lancar. Anak anak muda yang
terlibat balap liar berhasil di tangkap. Belasan kendaraan mereka juga
berhasil di amankan di pos terdekat. Dari pemeriksaan fisik kendaraan,
Priyo menemukan benda mencurigakan di dalam jok motor milik salah satu
pelaku. Ada beberapa linting ganja, satu strip obat yang kemungkinan
narkoba dan beberapa lembar uang kertas.
Pemilik barang
haram itupun segera panggil untuk di periksa lebih lanjut. Di hadapan
komandan operasi yang juga atasan langsung Priyo, pelaku yang berumur
belasan tahun itu berulah. Alih alih ia mengakui kesalahan, justru yang
terjadi ia malah menantang petugas.
“Kalau mau tangkap, tangkap aja” tantang pemuda tanggung itu.
“Besok saya akan keluar dan kalian segera di pindahtugaskan!!!” lanjutnya menggertak.
Priyo
memang banyak mendengar isu bahwa balapan liar di kawasan jalan Semar
di bekingi oleh oknum aparat yang memiliki pengaruh kuat. Baru sebatas
isu, karena kebenarannya masih perlu di buktikan. Dan kini, dengan nada
suara penuh kepercayaan diri pemuda itu mengancam semua petugas. Ancaman
yang tidak main main. Dia tidak hanya mengancam satu dua, tapi semua
petugas. Dan kalau memang esok hari terbukti semua yang bertugas di
jalan Semar di pindah, berarti beking di belakang anak muda itu bukan
sembarangan.
“Gimana, Pri ??” bisik pemimpin operasi pada Priyo dengan suara gemetaran.
Priyo
terdiam. Dalam hati dia dongkol juga dengan reaksi atasannya yang mulai
melunak. Soal balap liar mungkin masih bisa di atasi dengan pembinaan
yang kontinyu dari petugas. Akan tetapi kasus di temukannya narkoba
dalam jok motor anak muda itu tentu tidak bisa di anggap kasus biasa.
Pelakunya harus di tindak sesuai hukum.
“Lanjutkan saja, ndan !” jawab Priyo tegas.
“Tapi….”.
“Baru ancaman. Belum tentu terbukti” potong Priyo memberi dukungan.
Sesaat
sang komandan mengerutkan kening. Ada secercah keraguan menyeruak dari
wajahnya. Sejenak bola matanya menatap pada anak muda yang duduk di
kursi pesakitan. Pemuda itu tampak begitu tenang menghadapi sorot mata
komandan.
“Gimana kalau kita…” tiba tiba terhenti.
“Kalau komandan takut, biar saya yang mempertanggungjawabkan semuanya. Saya siap pasang badan!!!” sahut Priyo dingin.
Kali
ini Priyo tak lagi mampu menahan rasa dongkolnya pada sang atasan.
Kalau ia membiarkan kejahatan berlalu di depan matanya, tentu sia sia
kedua orangtuanya mendidiknya menjadi patriot sejati. Dan ironi lagi,
kalau semua aparat bermental seperti komandannya, sia sia sekali
perjuangan kakeknya membebaskan tanah air ini.
“Jangankan cuma di pindah tugas, di pecatpun aku tak takut !” batin Priyo meradang.
Dengan
segala resiko, Priyo akhirnya sendirian membawa pemuda itu ke kantor
polsek untuk di periksa tim reskrim. Malam itu juga pemuda itu menginap
di tahanan polsek tanpa ada seorangpun datang menolong atau sekedar
menelpon petugas reskrim untuk meminta pembebasan.
Namun
rupanya penderitaan pembawa obat terlarang itu tidak berlangsung lama.
Siang hari bolong, Priyo mendengar pemuda itu di bebaskan. Sakit hati
Priyo mendengar berita itu. Dan yang lebih membuatnya merasa lebih sakit
lagi adalah kenyataan bahwa sore harinya ia harus mengepak semua
barangnya dari pos untuk di pindah tugaskan ke polsek lain.
“Kamu sudah menjalankan tugas dengan baik di pos lamamu” kata Kapolsek pada Priyo.
“Pak
Kapolres meminta kita untuk mengirim anggota terbaik untuk bergabung di
unit reskrim Polda, maka aku memilihmu untuk di kirim kesana” lanjutnya
memberi penjelasan.
Mendengar bahwa ia akan di tempatkan di unit reskrim, rasa kesal Priyo sedikit terobati.
“Membasmi penjahat” pekiknya dalam hati.
Ya,
itulah angan angan Priyo sejak sebelum masuk kepolisian. Setidaknya
memburu penjahat jauh lebih membuatnya merasa bangga daripada mengejar
pengendara motor tanpa helm. Walaupun jika di bandingkan dengan ayahnya
yang seorang brimob dan bertugas di kawasan konflik ia belum apa apa,
akan tetapi pencapaian ini bagi Priyo sudah lebih dari cukup.
Mulailah
Priyo mengais informasi dari berbagai pihak soal kawasan yang menjadi
area tanggung jawabnya. Bagaimanapun ia harus paham persoalan di daerah
tugasnya sebelum bekerja. Agar ke depan ia bisa berperan secara
maksimal. Dari keterangan atasannya di polres, ia mendapat gambaran
bahwa ada beberapa titik rawan yang perlu di pantau dan di tangani.
Terutama di Kelurahan Harapan Makmur. Kelurahan ini sudah lama di
identifikasi sebagai zona merah narkoba. Selain itu juga di indikasikan
sebagai tempat maraknya perdagangan manusia. Dan konon menurut cerita
para petugas senior, beberapa tempat di kawasan itu masih sulit di
sentuh petugas. Ada diskotik Surga Dunia, diskotik Jahanam, hotel
Indehoy dan beberapa panti pijat. Yang kesemuanya di curigai sebagai
sarang peredaran narkoba sekaligus pusat perdagangan manusia atau
lazimnya di sebut tempat prostitusi.
“Kamu bisa melibas
yang lain, tapi jangan berfikir bisa dengan mudah meruntuhkan ladang
bisnis Nyai Ronggeng” kata Bripda Janaka, salah satu rekan kerja Priyo
di sebuah kafe malam itu.
“Siapa itu Nyai Ronggeng ?” tanya Priyo penasaran.
“Ssssstttt… santai aja bro. Jangan keras keras” sergah Janaka memberi isyarat untuk tidak memancing perhatian orang.
“Sebentar…” kata Janaka seraya pandangannya tertuju pada sosok pelayan wanita yang berada di pojok ruangan.
“Anggie ….!!!” panggil Janaka.
Perempuan cantik dengan seragam karyawan kafe segera beringsut memenuhi lambaian tangan Janaka.
“Kenapa,
mas ?” sahut wanita berkulit putih bersih dengan rambut lurus sebahu
itu dengan nada yang sepertinya sudah sangat mengenal Janaka.
“Kenalkan ini, kawan baruku. Priyo” Janaka memperkenalkan.
“Anggie” wanita itu mengulurkan tangannya.
“Priyo” sambut Priyo sedikit berdebar.
“Dia yang bikin jalan Semar padat merayap jadi cepat merayap. Ha ha ha…” pamer Janaka sembari meledakkan tawanya.
“Waw…!” Anggie terpukau takjub, “aku pikir nggak akan bisa terurai, tapi ternyata…” mengangkat bahunya.
“Anggie
ini kawan lamaku” terang Janaka pada Priyo, “dia lahir dan tinggal di
kelurahan Harapan Makmur sini juga. Kalau siang dia kuliah, malamnya
kerja di kafe ini”.
“Anggie” menoleh ke Anggie, “aku harap
kamu juga bisa bekerjasama dengannya. Tenang aja, dia masih single kok
dan nggak nakal sepertiku. Ha ha ha..”.
“Iiihhh… mas Jana selalu aja begitu…” seloroh Anggie gemas.
Sementara
Priyo yang menjadi bahan pembicaraan hanya bisa mengulum senyum. Selama
ini Priyo memang belum terbiasa bergaul dengan wanita. Selain umurnya
yang terlalu belia, juga karena ia masih fokus terhadap karir.
Namun
sekarang, mau tidak mau ia harus bersinggungan dengan makhluk bernama
perempuan. Dari sisi strategi, pilihan Janaka sangat tepat. Priyo butuh
orang yang mengenal betul lokasi kerjanya. Dan itu ada pada sosok
Anggie. Dia bisa di manfaatkan sebagai informan, mata mata, atau hanya
sekedar kawan bertukar cerita.
Dan hingga beberapa minggu
berlalu, hubungan Priyo dengan Anggie mulai menemukan banyak kecocokan.
Tidak hanya dalam hal membantu tugas Priyo mengenal daerahnya, akan
tetapi kecocokan itu terjadi dalam banyak hal. Soal musik, makanan,
tempat nongkrong dan lain sebagainya. Anggie dengan cepat menempatkan
diri sebagai partner yang baik.
Perlahan namun pasti,
benih benih ketertarikan mulai bersemai di hati Priyo. Namun hingga enam
bulan bertugas, Priyo belum berani mengutarakannya terus terang.
Insting kehati hatiannya masih tertancap erat di otak Priyo.
“Banyak
orang yang memiliki kemampuan hebat untuk mengubah dunia, tapi ia gagal
melumpuhkan dirinya sendiri” begitu kata ibunya dulu.
Tugas
sebagai penegak hukum harus lebih di utamakan daripada mengurusi hal
hal yang bersifat pribadi. Apalagi kalau ia ingat ucapan Janaka tempo
dulu soal Nyai Ronggeng. Sosok yang konon memiliki beberapa tempat
hiburan malam dan sangat berpengaruh itu hingga kini masih belum ia
sentuh. Jangankan menangkapnya, bahkan bertemu muka sekalipun belum
pernah. Priyo dan rekan sejawatnya memang beberapa kali mencoba
menerobos lokasi yang di duga milik Nyai Ronggeng. Tapi
ia selalu kalah cepat. Entah siapa yang membocorkan informasi, yang
jelas begitu sampai di lokasi, situasinya sudah steril. Tidak ada barang
bukti yang di temukan.
Bahkan saat terakhir kali ia menggerebek diskotik Surga Dunia, Priyo malah sempat di ledek satpam penjaganya.
“Anda pikir ini taman bermain, bung ???” kata si satpam dengan nada pongah.
Priyo yang sudah jengkel dengan gagalnya operasi makin emosi mendengar ucapan itu. Dengan geram ia menuding muka sang satpam,
“Tunggu saja tanggal mainnya. Jangan sebut namaku kalau gagal menjebloskan majikanmu ke penjara!!”.
“Coba saja…” balas satpam tak mau kalah.
Dengan
raut muka tertekuk, Priyo dan team busernya segera meninggalkan lokasi.
Itu sudah ketiga kalinya mereka gagal melakukan operasi. Padahal dari
sisi strategi dan perencanaan sudah di atur dengan sangat teliti. Semua
anggota team sudah di minta menanggalkan alat komunikasi manakala rapat
penentuan target di laksanakan. Jadi sangat tidak mungkin ada anggota
yang bisa membocorkan rencana operasi. Apalagi operasi itu tak jarang
Kapolres sendiri yang memimpin.
“Atau jangan jangan, Nyai Ronggeng itu hanya isu belaka ??” Priyo bertanya tanya.
“Isu
bagaimana?” tandas Janaka, “kamu ingat khan, wanita di bawah umur yang
kemarin kita interogasi ?. Dia mengaku anak buah Nyai Ronggeng. Kita
juga tiga kali menangkap pengedar narkoba. Semua mengaku di pasok oleh
anak buah Nyai Ronggeng”.
“Itu hanya pengakuan belaka. Toh tak satupun yang bisa menunjukkan seperti apa dan dimana Nyai Ronggeng itu” bantah Priyo.
Janaka
menggaruk garuk kepalanya. Jangankan Priyo yang baru bertugas beberapa
bulan, ia yang sudah sekian tahun bertugas saja hingga hari ini belum
menemukan jawaban kenapa bisa serumit ini. Hampir semua penjahat yang
tertangkap selalu mengaku sebagai anak buah Nyai Ronggeng. Tapi ketika
di desak untuk menunjukkan dimana dan seperti apa sosoknya, mereka
bungkam.
“Aku pernah menanyakan ini pada Kapolres, beliau bilang itu PR kita semua untuk mengungkapnya”.
Priyo
mengernyitkan dahinya. Ucapan Janaka barusan makin membuatnya bertambah
bingung. Kalau pejabat sekelas kapolres saja masih samar samar,
bagaimana dengan anak buah sekelas dirinya maupun Janaka ?.
===========
Tidak
seperti biasanya, pagi itu udara terasa lebih dingin menyengat.
Matahari di ufuk timur masih belum menampakkan kegagahannya. Seolah tak
mau beranjak dari selubung awan tipis yang menutupi sinarnya. Rintik
hujan laksana taburan salju masih menghiasai setiap sudut bumi. Padahal
sepanjang malam langit terus menerus menumpahkan kemurkaannya.
Dari
sebuah warung kopi kecil di pinggir jalan, Priyo duduk seorang diri
melewatkan pagi. Dua cangkir kopi telah ia habiskan untuk mengobati rasa
bosan. Sesekali ia melongok gadget canggih di tangannya. Membaca berita
online, membuka facebook dan tidak lupa chatting online dengan Anggie.
“Kenapa tidak ke rumah saja ?” kata Anggie dalam pesannya.
“Aku sedang melakukan pengintaian, Ang” balas Priyo.
“Aku yakin pagi ini akan ada seseorang yang terakhir keluar dari diskotik dan menunjukkan jalan menuju tempat Nyai Ronggeng”.
“Inisiatifmu sendiri atau atasan yang memerintahkan, mas ?”.
Priyo menarik nafas dalam dalam.
“Atasan
tidak tahu menahu. Ini hanya ideku saja. Aku tak mau terus terusan
dihantui rasa penasaran akan keberadaan Nyai Ronggeng. Apapun resikonya”
Priyo memantabkan hati.
“Ada yang bisa aku lakukan ?” sahut Anggie.
Priyo terdiam.
“Kalau
ada sesuatu yang membahayakanmu, datanglah ke rumah. Ini kampung
halamanku, aku tahu bagaimana caranya keluar dari sini tanpa di ketahui
orang”.
Tidak ada tulisan balasan dari Priyo. Hanya tanda
jempol saja. Pemuda berusia duapuluhan tahun ini mulai sibuk mengamati
situasi di depan diskotik dari seberang jalan. Di depan gerbang, dua
orang satpam yang salah satunya pernah mengejeknya dulu berdiri
mengawasi setiap karyawan yang keluar dari dalam diskotik. Priyo sendiri
sudah menghafal betul semua karyawan yang bekerja di tempat itu. Dia
sudah mempelajari foto foto hasil tiga kali operasi tempo dulu. Jadi
kalau ada wajah baru, sudah tentu Priyo akan segera tahu.
Hingga
saat yang di tunggu tiba juga. Seorang lelaki bertubuh sedang dengan
mengenakan topi lebar terlihat mengunci pintu diskotik, lalu berjalan
menuju ke satu satunya mobil yang tersisa di parkiran. Wajahnya tidak
terlalu nyata terlihat, tapi Priyo tak mau kehilangan sosok ini. Dengan
cepat ia menyambar helmnya, memasukkan gadgetnya di kantong,
meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja lalu berjalan menuju
kendaraannya.
Mobil itu berhenti tepat di pintu keluar.
Dua satpam berlari mendekat ke pintu depan. Saat itulah kepala pemilik
mobil menyembul keluar.
“Bangsat itu rupanya…”.
Ya,
wajah yang kini tak tertutupi topi itu sangat di kenal Priyo. Dia
pemuda tanggung yang dulu menjadi biang keladi di pindahkannya Priyo
dari jalan Semar.
“Pantas saja teman teman tak berani menahannya. Ternyata orang kepercayaan Nyai Ronggeng” pikir Priyo dengan perasaan miris.
Dari
gerbang diskotik, mobil itu bergerak masuk ke jalan. Priyo segera
memacu motornya untuk membuntuti dalam jarak sekitar seratus meter.
Untung jalanan belum terlalu macet, sehingga Priyo leluasa mengawasi
kemana perginya mobil itu. Dan setelah melewati beberapa tikungan, mobil
itu berhenti di sebuah rumah sederhana yang pagarnya di tumbuhi tanaman
rimbun.
“Rumah Anggie…???” pekik Priyo tak percaya.
Siapa pemuda itu ?. Mau apa dia ke rumah Anggie ?. Mau berniat baik atau jahat ?. Apakah ia kawan Anggie, relasi keluarga Anggie ataukah bagian dari keluarga Anggie ?.
Berbagai
pertanyaan yang membutuhkan jawaban berkecamuk dalam otak Priyo. Namun
seolah tak ingin menunggu lama, Priyo segera memacu motornya dan
berhenti tepat di belakang mobil itu. Dengan sekali lompat ia sudah
berdiri di depan pintu mobil dengan pistol tergenggam.
“Ehhh… loe lagi rupanya” pemuda yang sudah sangat Priyo kenal ini keluar dari balik pintu.
Raut wajahnya masih seperti dulu. Tenang, sinis dan seperti sedang mengejek.
“Belum kapok jug aloe berurusan ame gue ?”.
“Udah cepat turun, jangan banyak bacot !!” bentak Priyo sembari menodongkan pistolnya di kepala pemuda itu.
“Santai dikit, bro. Ini kawasan gue, rumah gue. Yang sopan dikitlah” ucapnya enteng tapi cukup membuat Priyo terkejut.
“Rumah Anggie, rumah dia juga ??” batin Priyo seakan tak percaya dengan apa yang baru saja pemuda ini katakan.
“Kenape loe bengong ?” ejek pemuda itu sambil tersenyum sinis.
Priyo
mengendurkan tangannya. Selama ini Anggie tak pernah bercerita bahwa ia
memiliki adik atau keluarga pemuda tanggung bernama asli Leonardo itu.
“Oke,
aku tidak akan todong kamu dengan pistol ini. Tapi antarkan aku ke
dalam rumahmu untuk bertemu dengan keluargamu” kata Priyo hati hati.
“Oke. Nggak masalah…” sahut Leonardo sembari berjalan menuju pintu rumah dengan di buntuti Priyo di belakang.
Begitu
pintu rumah terbuka, sebuah ruangan besar yang sudah sangat Priyo
kenali terpampang di depan mata. Meja panjang dengan kursi ukir
berjumlah delapan buah. Hiasan hiasan berupa lukisan kuno di beberapa
bagian dindingnya dan juga guci guci berisi bunga bungaan di setiap
sudut ruangan. Biasanya di meja panjang itu Priyo bercengkerama dengan
Anggie. Di temani dua cangkir the dan beberapa makanan kecil. Tidak ada
siapa siapa selain mereka berdua. Anggie selalu bilang kalau keluarganya
sedang pergi ke luar kota setiap Priyo berkunjung.
Namun
kali ini suasananya sangat berbeda. Di kursi paling ujung dengan ukuran
paling besar, seorang wanita setengah baya dengan gincu merah darah
duduk manis dengan sebatang rokok di tangan. Di kursi sebelah kiri ada
Anggie yang duduk dengan wajah tertunduk. Di depan dan samping Anggie
persis, dua buah kursi di biarkan kosong. Sepertinya memang sudah di
siapkan untuk menyambut Priyo dan juga Leonardo. Sementara empat kursi
lain di isi oleh tiga pria berbadan dan seorang perempuan muda yang
menyandang laptop di depannya.
“Kaukah yang bernama Priyo ?. Silahkan duduk. Kami sudah menunggumu sejak tadi”
Perempuan
setengah baya itu berdiri menyambut sembari tangan kanannya mengarahkan
Priyo agar duduk di kursi kosong sebelah kanan. Tepat berhadapan dengan
Anggie.
“Maaf” Priyo tak mau basa basi, “apakah anda ibunya Anggie ?”.
Perempuan itu tidak segera menjawab. Hanya senyuman tipis terlempar dari bibirnya.
“Beliau
ibuku, Nyai Ronggeng…” sebuah jawaban laksana petir menyambar di siang
bolong keluar dari bibir wanita cantik yang berada tepat di depan Priyo.
Brakkk !!!
“Bajingan kamu Anggie !!!. Tega teganya kamu menjebakku….” tuding Priyo marah bukan main.
“Jaga mulutmu atau kamu mati di sini, bung !”.
Entah
bagaimana ceritanya, lelaki berbadan tegap yang duduk di sebelahnya
tiba tiba menempelkan sebuah benda keras di kepala Priyo. Sedetik
kemudian bunyi terdengar bunyi senjata di kokang.
Priyo menarik
nafas. Dia memang sering mendapat cerita heroik sang ayah manakala
berhadapan dengan bandit bandit seperti ini. Menjadi polisi berarti
mempertaruhkan nyawanya setiap saat. Priyo paham sekali resiko itu.
Namun sejujurnya baru kali ini Priyo merasakan langsung bagaimana maut
mengancamnya. Sekali ia berulah, kepalanya akan pecah di terjang peluru.
“Baik, kita bicarakan baik baik” akhirnya Priyo menurunkan tensi suaranya.
Perempuan
yang di juluki Nyai Ronggeng itu kembali menyunggingkan senyum.
Menghisap batang rokok di tangannya lalu menghembuskannya ke arah Priyo.
“Aku menyukai keberanianmu” kata Nyai Ronggeng tenang.
“Aku
dengar kamu memiliki prestasi bagus di jalan Semar. Maafkan anakku,
Leonardo. Kalau gara gara dia kamu harus di pindah kemari”.
“Anda yang meminta atasan agar aku di pindah kemari ?” tanya Priyo menyelidik.
Nyai Ronggeng mengangguk.
“Anda
tahu sifatku yang tak mau kompromi. Sewaktu waktu aku bisa mengobrak
abrik semua bisnismu. Tapi kenapa justru sepertinya senang saya bertugas
di sini ?” Priyo tak habis pikir.
“Aku hanya penasaran saja”.
“Hanya penasaran ?”.
“Ya”.
Priyo
menggaruk garuk kepalanya. Bingung dengan jalan pikiran wanita setengah
baya di depannya. Apakah wanita itu tidak tahu kalau selama ini dirinya
bukanlah aparat yang mau di ajak kompromi. Ataukah ia memang memiliki
nyali berlebih sehingga berani bermain dengan polisi setegas dirinya.
“Kalau
aku ini bodoh, mana mungkin aku bisa mengendalikan semua pejabat di
kota ini ?” kata Nyai Ronggeng dengan intonasi tinggi.
“Jangankan
hanya kapolsek, kapolres atau kapolda. Bahkan kapolri sekalipun akan
berhati hati kalau mencari gara gara dengan Nyai Ronggeng. Karena setiap
saat aku bisa membuatnya di mutasi, di pecat atau malah di penjara”.
Sampai
di sini Priyo benar benar kehilangan akal sehatnya untuk mencerna
kalimat kalimat yang meluncur dari bibir wanita itu. Mempengaruhi
pejabat di level bawah seperti dirinya hingga ke tingkat kapolda, tentu
masih bisa di percaya. Tapi kalau pucuk pimpinan kepolisian bisa di
pengaruhi, tentu sangat tidak masuk akal. Apalagi itu di lakukan oleh
seorang mucikari. Penjahat narkotika pula.
“Anda terlalu meremehkan ketangguhan perempuan bapak polisi…” Nyai Ronggeng setengah mengolok olok.
“Di kota ini, pelacur mana yang tak kenal Nyai Ronggeng ?. Katakan padaku ?” todongnya.
“Kamu yang anak kemarin sore saja dengan mudah di jerat paras ayu Anggie. Apalagi pejabat pejabat di atasmu ?”.
“Itu
pula alasan kenapa para bapak bapak yang di atas sana menghormatiku.
Karena aku memiliki banyak amunisi yang mampu membuat reputasi mereka
hancur dalam sekejap. Kebayang tidak, gimana hancurnya karir seorang
tokoh manakala selangkah lagi ia meraih kedudukan. Lalu tiba tiba media
memberitakan bahwa sang tokoh terlibat skandal mesum dengan wanita yang
bukan istrinya ?”.
“Kami mempunyai segalanya. Foto foto,
video, transkip pembicaraan dengan pelacur, sms atau apa saja. Bahkan
semua aktifitas Anggie denganmu berada di tanganku”.
“Kamu
bisa saja membunuhku sekarang. Tapi dalam sekejap negeri ini akan di
landa bencana besar. Orang orangku akan segera mempublikasikan semua
kejahatan moral para pejabat negeri ini. Sementara kamu tidak akan
selamat, karena di anggap sebagai biang keladi kekisruhan negeri ini”.
Bergidik
bulu roma Priyo mendengar penjelasan Nyai Ronggeng. Sekarang ia baru
tahu, kenapa tak satupun pejabat yang berani menyentuh bisnis Nyai
Ronggeng. Perempuan ini ternyata memegang banyak sekali rahasia rahasia
petinggi negara.
“Hubunganmu dengan Anggie tidak akan aku
otak atik. Aku tahu, dia sangat mencintaimu. Tapi dia itu anakku. Darah
dagingku. Tapi apakah ia rela ibunya di penjara ?. Tanyakan padanya…”.
Priyo
menatap ke arah wanita berambut lurus sebahu di depannya. Seolah ia
ingin mendengar langsung, apakah yang di katakan ibunya itu benar semua.
Apakah Anggie benar benar mencintainya dan bukan sekedar bersandiwara
demi menjalankan tugas ?.
“Benar yang ibumu katakan ?” tanya Priyo pelan.
Wanita berkulit putih itu mengangguk lirih.
“Sejak
pertama kenal, aku kagum dengan mas. Tapi kalau aku di suruh memilih
antara membela mas atau ibu, aku lebih memilih ibuku” ucap Anggie
tertunduk.
Priyo terkulai lemah. Situasinya serba
dilematis. Di satu sisi, hatinya sudah tergadai rasa cinta yang mendalam
pada Anggie. Ungkapan Nyai Ronggeng bahwa ia tidak akan mengotak atik
hubungannya dengan sang putri adalah sinyal baik sekaligus restu dari
seorang ibu. Apalagi dengan ia melepaskan Nyai Ronggeng, berarti dirinya
secara tidak langsung juga menyelamatkan muka banyak pejabat. Mungkin
muka kawan sejawatnya, komandannya, pucuk pimpinan di instansinya dan
bahkan para pejabat di negeri ini.
Tapi di saat lain,
kenyataan di depan mata sangat tak bisa di tolerir oleh hati nurani.
Ayahnya adalah seorang aparat dengan reputasi mentereng dan jauh dari
perbuatan buruk dan penyalahgunaan jabatan. Kakeknya adalah pahlawan
yang ikut menjadikan negeri ini kokoh berdiri. Sejak kecil Priyo sudah
di doktrin oleh kedua orangtuanya bagaimana menjadi patriotik sejati.
Menjadi warga negara yang seluruh jiwa raganya di persembahkan untuk
bangsa.
“Menjadi pejabat negara itu bukan berarti menjadi
raja. Dia hanya abdi negara, abdinya rakyat dan masyarakat. Kelak kalau
kamu jadi pejabat, bertingkahlah layaknya pelayan. Jangan
mentang mentang. Jangan adigang adigung dan sewenang wenang. Tegakkan
kebenaran, walau itu pahit buatmu”
Kalimat almarhum
ayahnya kembali terngiang di telinga Priyo. Pemuda berusia dua puluhan
tahun itu terpaku dalam renungan. Terjebak dalam pilihan pilihan sulit.
Antara kepentingan pribadi dengan keselamatan sekian juta anak bangsa.
Antara kebenaran dan kejahatan. Dan juga antara hidup serta matinya.
Lama
sekali pikiran Priyo mengembara. Hilir mudik mencari secercah jalan
keluar yang mungkin menjadi yang terbaik bagi semuanya. Di sepanjang
perjalanan, antara setan dan malaikat bertarung mati matian
mempertahankan prinsipnya. Hingga di ujung lorong ia kemudian menemukan
secercah jalan,
“Setiap warga negara memiliki tugas sesuai dengan batas kemampuan dan kewenangannya” kata Priyo dengan suara berat.
“Polisi
tentu berbeda dengan masyarakat biasa. Kami memiliki wewenang untuk
mengeksekusi setiap tindak kejahatan. Sementara kemampuan dan kewenangan
masyarakat biasa sangatlah terbatas” berhenti mengatur nafas, “kalau
besok aku masih di percaya sebagai polisi, maka bersiaplah kalian semua
untuk menerima hukuman”.
Setelah berkata demikian, Priyo
mengangkat tubuhnya. Tapi lelaki tegap di sampingnya dengan sigap
menahan pundak Priyo seraya menodongkan pistol di kening sang polisi.
“Biarkan dia pergi…” kata Nyai Ronggeng tanpa menunjukkan mimik khawatir sedikitpun.
Siang
itu juga Priyo memacu kuda besinya menuju kontrakkan. Sejak semalam ia
melakukan pengintaian hingga lupa membersihkan badan. Dan baru saja tiba
di kontrakannya, sebuah panggilan menyalak. Dari kejauhan terdengar
suara atasannya yang marah marah mengetahui tindakannya yang di luar
koordinasi.
“Pasti Nyai Ronggeng yang memberitahukan insiden itu pada atasannya” Priyo menduga.
“Ini
tindakan yang indispliner. Seharusnya kamu melapor dan berkoordinasi
terlebih dahulu. Hari ini pak Kapolres marah besar atas ulahmu ini”.
Priyo
hanya diam tak menanggapi celotehan atasannya yang mungkin saja ikut
termakan laporan sepihak Nyai Ronggeng. Dia hanya berharap masih ada
waktu untuk hari esok demi menegakkan keadilan. Setelah itu, kalaupun
nyawanya melayang karena bertempur melawan pengawal Nyai Ronggeng atau
di tendang dari dinas kepolisian, bukan masalah besar bagi Priyo. Toh,
ayah dan kakeknya juga demikian.
Tapi apa yang di perkirakan Priyo ternyata meleset. Di ujung pembicaraan, sang atasan berbicara dengan nada keras dan tegas,
“Sekarang
juga proses pemecatan dirimu sedang di proses. Sebentar lagi tim buser
akan segera menuju ke tempatmu untuk meminta paksa senjata yang kamu
bawa” kata sang atasan menutup pembicaraan.
“Anjing !!!”.
Spontan
Priyo membanting ponsel pintarnya. Benda yang terbuat dari plastik dan
logam itu hancur berantakan di lantai. Apa yang baru saja ia dengar bukan
lagi sambaran petir di siang bolong. Akan tetapi sudah kiamat bagi
Priyo. Sebentar lagi tim buser akan segera mengepung dan menangkapnya.
Musnah sudah harapannya untuk membuat perhitungan dengan sang ratu
germo, Nyai Ronggeng. Sebab ia akan di jadikan pesakitan di meja
pengadilan. Di jebloskan ke penjara lalu menghabiskan waktunya hanya
sebagai pecundang. Dan yang lebih memilukan lagi, ia akan kehilangan
biduan hatinya. Anggie.
“Baiklah, kalau memang dunia tidak mengijinkanku menjadi penerus para leluhurku. Biarlah aku mati sengsara sekalian!!!!”
Oleh : Komandan Gubrak
Tidak ada komentar