SEJARAH PANJANG PRAHARA PPP
Sejak awal berdirinya PPP, partai ini memang tak pernah lepas dari
aroma konflik. Mulai dari pembagian jatah posisi di parlemen, pembagian
posisi di struktural partai hingga konflik ideologi yang melibatkan
faksi faksi yang ada di dalam partai. Walaupun sama sama berangkat dari
basis keagamaan, nyatanya kelompok kelompok yang ada dalam PPP sangat
sulit untuk di padu padankan. Pergulatan antara kelompok tradisional
yang di wakili kubu NU maupun Perti dan kelompok modernis yang di
dalamnya ada Parmusi (MI) maupun PSII terus mewarnai sepanjang
perjalanan partai.
Pada tahun 1978 misalnya, ketika PPP di
'kudeta' secara dramatis tanpa melalui rapat partai maupun muktamar
oleh John Naro, perpecahan antara kubu tradisional dan modernis tak
terelakkan lagi. John Naro yang mewakili kubu modernis (Parmusi) secara
sepihak melakukan perubahan radikal dengan menyingkirkan banyak sekali
politisi politisi NU. Baik dalam susunan kepengurusan partai maupun
dalam penentuan DCS (daftar calon sementara) dimana banyak sekali
politisi politisi NU yang harus terpental dari nomor urut jadi menjelang
pemilu 1982.
Bagi NU, apa yang di lakukan John Naro ini
tak ubahnya seperti perlakuan Masyumi terhadap NU pada era orde lama.
Dimana kala itu NU yang sempat bergabung dalam satu wadah bersama
Masyumi merasa di pinggirkan peranannya dan pada akhirnya memutuskan
keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri. Gaya otoriter John
Naro ini akhirnya juga disikapi serupa oleh elite elite NU pada Munas NU
tahun 1983. Munas Alim Ulama yang di gelar di Situbondo, NU memutuskan
untuk keluar dari PPP dan kembali ke khittah 1926.
Walaupun
pada muktamar PPP tahun 1984 John Naro sukses menduduki posisi ketua
umum tanpa perlawanan berarti dari lawan politiknya, namun keluarnya NU
dari PPP memberikan pengaruh yang luar biasa pada perolehan partai di
pemilu 1987. PPP yang pada pemiu sebelumnya (Pemilu 1982) memperoleh
suara nasional 27,78%, pada pemilu 1987 suara PPP turun drastis menjadi
hanya 15,6%.
Merosotnya suara PPP pada pemilu 1987 ini
kemudian berakibat dicopotnya Naro dari posisi ketua umum pada muktamar
PPP 1989. Kendati penggantinya bukan dari unsur NU (yakni Buya Ismail
Hasan Metareum), tapi kejatuhan Naro ini mendapat sambutan positif dari
kubu NU yang sekian lama tersingkirkan. Hubungan antara PPP dan NU yang
semula retak perlahan diperbaiki. Bahkan menjelang muktamar NU tahun
1989 di Krapyak, kubu PPP sempat menggalang kekuatan untuk mengupayakan
di anulirnya keputusan Munas Situbondo. Walaupun upaya ini akhirnya
gagal, namun konflik di internal PPP relatif bisa di kendalikan.
Hasilnya pada pemilu 1992, PPP berhasil menambah jumlah kursi dari 61
menjadi 62 kursi. Dan pada pemilu selanjutnya tahun 1997, suara PPP
mengalami lonjakan luar biasa dengan merebut 89 kursi.
Pada
Pemilu pertama reformasi 1999, suara PPP memang mengalami banyak
penurunan. Tapi ini bukan semata mata karena konflik internal, tapi
lebih pada banyaknya partai sempalan yang secara langsung menggerus
basis basis PPP. Pun demikian, kendati suara PPP pada Pemilu 1999 hanya
sekitar 10%, partai ini sukses menempatkan ketua umumnya sebagai wakil
presiden mendampingi Megawati pasca lengsernya Gusdur.
REDUPNYA KONFLIK SEKTARIAN DI PPP
Apa
yang terjadi di internal PPP kali ini walaupun sekilas seperti
mengulang pola pola konflik yang lama. Ambil contoh sosok Emron Pangkapi
yang terlihat paling getol menyerang SDA. Wakil ketua umum PPP ini
berasal dari faksi Parmusi. Adalagi sosok Suharso Monoarfa yang juga
mewakili kubu Parmusi. Akan tetapi jika kita cermati betul, konflik kali
ini tidaklah di dominasi persaingan antar faksi. Di kubu yang
berseberangan dengan SDA nyatanya justru banyak di komandani politisi
politisi NU semisal sekjen PPP Romahurmuzy, ketua DPW PPP Jabar Rahmat
Yasin yang berlatar belakang NU serta banyak lagi pengurus DPP PPP dari
unsur NU.
Konflik kali ini lebih banyak di dominasi faktor
perbedaan pendapat atas isu pilpres. Dimana ada kubu SDA yang lebih
condong mendukung Prabowo Subianto melawan kubu lain yang menentang
tindakan SDA.
Terlepas dari itu semua, apa yang terjadi di
tubuh PPP kali ini mesti di sikapi dan di selesaikan dengan baik. Di
akui atau tidak, PPP adalah partai Islam tertua yang masih ada. PPP juga
boleh di bilang mewakili miniatur umat Islam di Indonesia yang memang
terfragmentasi dalam berbagai varian ideologi keagamaan. Di sana ada NU,
Muhammadiyah dan banyak lagi.
Jika nanti prosesnya
mengerucut pada tuntutan muktamar luar biasa, sebaiknya elite elite PPP
lebih memandang ajang itu sebagai titik balik memperbaiki partai. Soal
apakah nanti PPP akan mendukung Prabowo atau calon lain, bagi penulis
tidaklah terlalu penting. Yang penting adalah bagaimana merombak
sekaligus meregenerasi struktur PPP agar ke depan mampu mengemban agenda
agenda partai.
Bagaimanapun, publik selama ini memandang
PPP sebagai partai yang terlalu konservatif. Ini akibat mandegnya
regenerasi di tubuh partai. Lihat saja, ketika banyak partai berlomba
lomba menampilkan diri sebagai partai modern, muda dan memenuhi
tantangan zaman, PPP justru masih terjerembab pada perilaku
konservatisisme. Jargon jargon keagamaan yang sebenarnya telah memudar
di kalangan masyarakat justru di tonjolkan PPP.
Maka dari
itu, PPP ke depan mesti di awaki oleh figur figur muda dan memiliki visi
ke depan. Ada banyak pilihan di internal PPP untuk di daulat memimpin
partai. Ada Romahurmuzy yang tidak saja berusia muda, namun teruji dalam
berorganisasi. Ada Ahmad Yani yang juga muda lagi idealis, Dimyati
Natakusumah, Joko Purwanto (ketum Angkatan Muda Ka'bah) dan sebagainya.
Penulis : Komandan Gubrak
Tidak ada komentar