GOLKAR LANJUTKAN TRADISI MEMBELAH DIRI ?
Munas IX Partai Golkar di Jakarta telah usai. Agung Laksono yang
menjadi salahsatu motor diselenggarakannya Munas tandingan ini di daulat
memimpin Partai Golkar periode 2014 - 2019. Beberapa hal juga
diputuskan dalam rapat tertinggi partai yang digelar di Hotel Medcure
Ancol itu. Di antaranya memutuskan keluar dari KMP (Koalisi Merah
Putih), mendukung Perppu Pilkada Langsung dan mendukung penuh
pemerintahan Jokowi - JK dengan catatan tetap kritis.
Pict : www.kaskus.co.id |
Keputusan
hasil Munas Jakarta untuk keluar dari KMP dan mendukung pemerintahan
Jokowi - JK ini bertolak belakang dengan hasil Munas Bali beberapa hari
sebelumnya. Tak pelak banyak pihak menduga bahwa pemerintah berada di
belakang kisruh yang melanda Partai Golkar selama ini. Bagaimanapun,
pemerintah yang hanya ditopang empat fraksi di parlemen tentu
membutuhkan tambahan dukungan demi mengamankan agendanya. Dan dukungan
Partai Golkar selaku pemilik kursi terbesar kedua setidaknya akan
membuat peta pertarungan di gedung Senayan berubah.
Jika
kita membaca apa yang ada dipermukaan, tudingan campur tangan pemerintah
ini cukup masuk akal. Apalagi jika nantinya Kemenkumham tiba tiba
mengesahkan kepengurusan Partai Golkar versi Agung Laksono. Maka tuduhan
itu boleh jadi menemukan kebenaran. Akan tetapi jika kita kaitkan
dengan kepentingan Presiden Jokowi dan juga belajar dari sepak terjang
Partai Golkar di pemerintahan, tudingan itu tak selamanya benar. Kenapa ?
Menguasai
kursi mayoritas di parlemen memang sangat dibutuhkan Jokowi - JK untuk
menjaga berjalannya program program pemerintah. Dengan modal 207 kursi
dari empat partai pendukung utama, rasanya akan sulit bagi pemerintah
untuk memenangkan pertarungan di parlemen. Bahkan kehadiran PPP yang
memiliki 39 kursi belumlah cukup bagi pemerintah. Untuk mencapai
mayoritas, pemerintah membutuhkan tambahan satu fraksi lagi di DPR.
Tambahan dukungan dari parlemen ini tentu saja tidak harus dari Golkar.
Seperti kita tahu, untuk mencapai mayoritas dibutuhkan minimal 281
kursi. Gabungan PDI Perjuangan, PKB, Nasdem, Hanura dan PPP baru
mencapai 246. Butuh setidaknya 35 kursi tambahan lagi untuk menjadi
mayoritas. Semua fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih
memiliki kursi lebih dari 35. Artinya, dukungan Partai Golkar bukan satu
satunya opsi. Apalagi jika kita menyaksikan manuver Ketua Umum Partai
Demokrat yang bertemu dengan Presiden Joko Widodo kemarin. Jika
pertemuan itu membuahkan deal politik dimana Partai Demokrat memutuskan
mendukung pemerintah, maka dukungan Partai Golkar sudah tidak terlalu
diperlukan lagi.
Kedua, yang paling berkepentingan
masuknya Golkar ke kubu Koalisi Indonesia hebat sebenarnya bukan Joko
Widodo. Tapi Jusuf Kalla selaku wakil Presiden. Kehadiran Golkar di kubu
pemerintah setidaknya akan membuat posisi tawar JK di pemerintahan
menjadi semakin kuat. Peluang hadirnya matahari kembar seperti di era
SBY - JK bisa saja terulang. Jika ini terjadi, maka ruang gerak Jokowi
akan lebih sulit lagi karena JK berpotensi bisa mendikte Presiden.
Fakta
terakhir adalah ketidakhadiran Mendagri dan JK di Munas Jakarta seperti
yang sempat di gembar gemborkan kubu Agung Laksono. Bahkan konon JK
juga menolak di daulat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai. Absennya
pihak pemerintah di Munas Jakarta jelas sekali mengindikasikan tidak
adanya 'restu' penguasa. Dan kalaupun kepengurusan Partai Golkar di
daftarkan di Kemenkumham, penulis meyakini Menteri Hukum dan HAM tidak
akan memberikan legalitas seperti yang pernah diberikan pada PPP kubu
Muktamar Surabaya.
Munas Golkar di Jakarta sangat berbeda
dengan Muktamar PPP Surabaya. Setidaknya bisa dilihat dari legitimasi
dukungan pengurus cabang dan wilayah. Muktamar PPP di Surabaya dihadiri
mayoritas pengurus DPP, Ketua dan Sekretaris DPW maupun DPC dan juga di
dukung mayoritas anggota Fraksi PPP. Sementara Munas Jakarta hanya di
dukung minoritas Pengurus DPP dan pengurus pengurus lokal yang rata rata
bukan Ketua atau Sekretaris daerah. Itupun konon banyak yang datang
secara pribadi tanpa membawa rekomendasi pengurus daerah. Jadi, kalaupun
di daftarkan ke Kemenkumham, sangat sulit untuk mendapatkan legalitas.
Lantas, kenapa Munas itu tetap digelar walaupun minim sekali dukungan baik dari internal Partai maupun eksternal ?.
Penulis
memperkirakan kubu Agung Laksono akan memainkan rencana cadangan jika
gagal meng'kudeta' Aburizal Bakri. Membentuk Partai Baru adalah opsi
logis mengingat peluang islah dengan kubu Munas Bali sangat tipis.
Belajar dari sejarah perpecahan Partai Golkar, hasil belah diri partai
kuning ini tak selamanya gagal. Partai Gerindra, Hanura dan Nasdem
adalah contoh sukses yang 'dihasilkan' dari proses belah diri Golkar.
Oleh : Komandan Gubrak
Tidak ada komentar