MIKUL DUWUR MENDEM JERO
Salahsatu hal yang membuat perang Baratayuda membosankan, setidaknya
dipandang dari sisi sportivitas adalah intervensi Basudewa Khrisna.
Tokoh legendaris yang sangat dihormati masyarakat India ini beberapa
kali membuat jalannya pertempuran antara Pandawa dan Kurawa menjadi
tidak menarik. Di awal peperangan misalnya, Khrisna yang melihat ada
keraguan di hati Arjuna terus memprovokasi anggota Pandawa itu untuk
tegas dan tanpa ampun memerangi musuh musuh yang notabene masih
saudaranya. Intervensi Khrisna lainnya yang tak kalah menjengkelkan
adalah ketika ia memaksa Sang Maha Dahsyat Bisma menanggalkan
senjatanya dan pasrah terbunuh oleh anak kemarin sore, Dewi Srikandi.
Pun juga ketika Guru Durna menjadi panglima perang kubu Kurawa, lagi
lagi Khrisna dengan tidak fair memaksa Durna untuk menanggalkan
senjatanya dan akhirnya terbunuh oleh anak Drupada, Drestajumna.
Pict : www.tosanajisakti.com |
Penonton
atau pembaca kritis kisah Mahabarata yang hidup di era modern tentu
akan kecewa dengan kejadian itu. Di atas kertas, jelas kelas Bisma lebih
tinggi dari semua jawara di kubu Pandawa. Ini terbukti ketika putra
Dewi Gangga itu didaulat sebagai Panglima Perang, tak satupun kubu
Pandawa sanggup menyentuh seratus anak Kurawa. Dan andaikata perang itu
tidak diselingi intervensi Khrisna, maka hampir dipastikan Pandawa akan
kalah. Pertanyaan yang kemudian menggelayut di benak penonton dan
pembaca adalah apa gerangan maksud penulis kisah Mahabarata dengan
menyisipkan Basudewa Khrisna sebagai sosok 'paling menentukan' dan juga
kisah mistis yang menyelubungi di tengah jalannya pertandingan.
Karakteristik
sebuah karya sastra biasanya sangat dipengaruhi oleh pola pikir,
tradisi dan kepercayaan yang melingkupi zaman dimana penulisnya hidup.
Di era ilmu pengetahuan, tehnologi dan rasionalitas berkembang dengan
sedemikian maju, hal hal berbau mistis seperti dalam kisah Mahabarata di
atas tentu tidak dijadikan pola baku dalam menulis karya. Jikapun ada
hal hal yang berbau irrasional, akan ada alasan yang membuat sebuah
kejadian terlihat rasional. Berkaca pada zaman dimana sebuah karya
sastra di tulis itulah modal utama kita untuk 'memaklumi' sesuatu yang
menurut akal tidak rasional. Dengan demikian, kematian Bisma, Durna dan
tokoh kuat lainnya akan dipandang sebagai sesuatu yang wajar.
Di
mata masyarakat India, guru atau brahmana adalah sosok yang sangat
dimuliakan. Kasta Brahmana dalam struktur masyarakat India menduduki
peringkat paling tinggi. Maka, merancang nasib dan kematian seorang
Brahmana dengan cara merendahkan adalah tidak dibenarkan. Bisma tidak
'diperkenankan' mati oleh murid sekaligus cucunya sendiri. Sebab, bila
itu terjadi, maka bukan saja kemuliaan Bisma sebagai guru ternoda, tapi
juga membuat citra Pandawa sebagai pihak yang benar terkesan negatif.
Alasan yang sama juga berlaku pada kematian guru Durna. Dan yang paling
penting adalah adanya intervensi Khrisna dalam kasus ini. Dimana ini
memberi makna bahwa kematian orang suci haruslah melibatkan Yang Maha
Kuasa sendiri yang bertindak.
Inilah jawaban tentang
pertanyaan kenapa penulis kisah Mahabarata menyisipkan hal hal yang
dianggap tidak masuk akal. Penulis senantiasa berpegang pada ketundukan
akan tradisi, budaya dan peradaban dimana ia hidup. Seorang guru, walau
ia berada dipihak yang salah, tetap harus di posisikan dalam keadaan
terhormat. Perilaku ini dalam hasanah kebudayaan Jawa disebut 'mikul duwur mendem jero'. Meninggikan derajat dengan mengingat hal hal baik belaka dan mengubur segala sesuatu yang dianggap tidak memberikan manfaat.
Implementasi 'mikul duwur mendem jero'
juga banyak kita saksikan dari kisah kisah mistis orang orang mulia
tempo dulu. Raja raja yang kalah perang tidak digambarkan sebagai sosok
pecundang. Melainkan dikaitkan dengan hal hal mistis. Prabu Siliwangi
yang kalah dalam konflik melawan Kian Santang misalnya, digambarkan
meninggal dengan cara moksa. Sebuah kematian dimana jiwa dan raganya
hilang dari muka bumi. Begitupun dengan kisah akhir hidup raja terakhir
Majapahit, Brawijaya, setelah kalah perang melawan penguasa Demak.
Brawijaya terakhir dikabarkan menyingkir ke Gunung Lawu dan wafat dengan
cara moksa disana.
Filosofi mikul 'duwur mendem jero'
inilah kiranya yang membuat masyarakat nusantara terutama Jawa seperti
memiliki tali kendali dalam membangun peradaban. Betapa sering kita
melihat rakyat begitu riuh mengkritik dan menghujat pemimpin, tapi
ketika sang pemimpin tiada, ia tetap mendapatkan penghormatan yang
layak. Baik oleh kawan, maupun lawan politiknya ketika masih hidup. Ada
batasan tertentu, ada etika bermasyarakat, etika berkompetisi dan etika
melestarikan kehidupan.
Maka, kalau masyarakat Indonesia
dikenal mudah memaafkan, itu karena mereka begitu erat menggenggam
filosofi itu. Mereka boleh saja bersuka ria melihat musuhnya sakit, tapi
tidak sampai hati untuk tetap menyimpan dendam ketika musuhnya sudah
tiada. Jika penulis boleh meminjam istilah 'kafir - iman', maka dalam
tradisi nusantara vonis itu tidaklah bisa dikatakan berlaku abadi.
Lalu,
apakah konflik dibelahan dunia lain yang terus berlarut larut tanpa
tahu kapan selesai adalah bentuk pengabaian atas filosofi 'mikul duwur mendem jero' ?. Entahlah.
Penulis : Komandan Gubrak
Penulis : Komandan Gubrak
Tidak ada komentar