REPOTNYA MEMILIH KAPOLRI
Setelah
drama Pilpres yang kemudian berlanjut terbelahnya parlemen menjadi dua
kubu (KIH - KMP), kisruh calon Kapolri saat ini barangkali menjadi
episode pertarungan politik yang tak kalah menariknya. Jokowi
mengirimkan calon tunggal untuk di uji parlemen, KPK menetapkan Komjen
Budi Gunawan sebagai tersangka, lalu DPR melalui rapat paripurna
menyetujui calon yang diajukan Presiden. Ini belum termasuk intrik
sampingan mengenai beredarnya foto mesra Ketua KPK, Abraham Samad dengan
model kecantikan ternama.
Sumber foto : www.tempo.co |
Berbagai dugaan maupun tudingan
kemudian muncul ke permukaan. Ada yang mengatakan, Megawati dan Surya
Paloh berada di balik pengajuan calon tunggal Kapolri. Ada yang bilang,
ini perang bintang di internal Polri. Kritik pedas juga dilayangkan
kepada KPK yang dianggap terlalu memaksakan penetapan status tersangka
bagi BG. Anggapan lain yang tak kalah menariknya adalah dugaan Jokowi
hendak bermain aman. Yakni meminjam tangan KPK untuk menjegal calon yang
di ajukan partai politik pendukung. Kemudian adalagi yang mengatakan,
ini bagian dari rivalitas penguasa sebelumnya dengan suksesornya.
Kedatangan
Surya Paloh ke istana, baik sebelum pengajuan calon tunggal Kapolri
maupun setelah rapat paripurna DPR RI seolah menjadi sinyal bahwa campur
tangan partai pendukung benar adanya. Tudingan ini tentu masuk akal.
Secara politik, Jokowi tidak memiliki kaki kaki yang cukup kuat.
Jangankan menghitamputihkan partai partai yang mendukungnya, di internal
partainya sendiri Jokowi tidak memiliki kekuatan untuk membuat
keputusan. Imbasnya, Jokowi seperti tersandera oleh kepentingan
kepentingan partai atau elite partai pendukung. Jika ia terlalu frontal
melawan, tentu sangat tidak produktif. Tidak saja ia harus berhadapan
dengan partai oposisi di parlemen, akan tetapi juga bakal menghadapi
tantangan berat dari internal. Jokowi mungkin saja bisa berharap
munculnya kekuatan sipil yang mobile, kuat dan agresif guna membela
sikapnya. Tapi rasanya itu belum tentu menjamin Jokowi akan lolos dari
intrik intrik politik.
Mengenai isu perang bintang di
internal kepolisian, mungkin juga benar adanya. Sinyalemen adanya perang
bintang ini juga di ungkapkan oleh mantan Kapolri, Jendral (purn)
Chaerudin Ismail. Walaupun Kapolri era Gus Dur ini hanya menduga semata,
akan tetapi pernyataan seorang mantan Kapolri tentu tidak sekedar omong
kosong. Pengakuan Kapolri (Jendral Sutarman) bahwa penetapan calon
tunggal Kapolri adalah murni dari Presiden tanpa melibatkan pihak
kepolisian dalam proses seleksi juga menunjukkan adanya sesuatu dibalik
itu. Jika kita merujuk pada masa pensiun Kapolri, seharusnya Jendral
Sutarman baru akan pensiun oktober mendatang. Kenapa lantas muncul
keputusan yang mendorong agar Kapolri menanggalkan jabatannya lebih
cepat atau pensiun dini. Memang, itu semua hak prerogatif presiden. Tapi
dimata masyarakat, tentu akan timbul kecurigaan kecurigaan.
Kemudian
tentang KPK yang dianggap terlalu jauh bermain di ranah politik juga
susah sekali disembunyikan. Bukan kali ini saja KPK melakukan manuver di
saat proses politik berjalan dalam situasi panas. Kasus Anas
Urbaningrum menjadi salahsatu contoh bagaimana sekat sekat pemisah
antara hukum dan politik menjadi sangat tipis. Di mulai dari pernyataan
Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat yang meminta KPK untuk memperjelas
status Anas, kemudian muncul kebocoran sprindik yang di duga dilakukan
oleh KPK. Bocornya sprindik itulah yang akhirnya dijadikan modal bagi
Demokrat untuk menggulingkan ketua umumnya. Memang tidak bisa dibuktikan
keterkaitan antara keputusan KPK dan sikap partai Demokrat, tapi aroma
politisnya memang sangatlah kental. Apalagi jika kita merunut lebih jauh
tentang proses seleksi ketua KPK dimana Presiden adalah pihak yang
mengusulkan nama ke DPR, maka tidak salah juga kalau antara Presiden dan
figur pemimpin KPK ada hubungan. Minimal hubungan sejarah.
Kembali
pada persoalan Komjen Budi Gunawan yang baru saja lulus uji kelayakan
yang diselenggarakan DPR. Bagi penulis pribadi dan mungkin rakyat
kebanyakan, logikanya tentu berbeda dengan para elite yang duduk di
kursi kekuasaan. Apakah itu hasil intrik politik atau bukan, yang
namanya korupsi sudah barang tentu di nilai sebagai aib. Jangankan sudah
di stempeli status tersangka, baru sebatas isupun masyarakat sudah
memiliki persepsi sendiri. Rakyat awam tidak akan peduli dengan intrik.
Bahkan mereka juga tidak paham jika harus dipaksa mengerti soal
prosedur, proses, asas praduga tak bersalah dan lain sebagainya.
Ada
banyak nama jendral bintang tiga di kepolisian yang sama sama memiliki
kans untuk menjadi Kapolri. Kenapa harus memaksakan satu nama yang
apalagi jelas statusnya sebagai tersangka. Mungkin masyarakat akan
maklum jika stok calon Kapolri kesemuanya tidak ada yang memiliki rekam
jejak bagus, minimal dari catatannya mengenai kasus kasus korupsi. Dan
nama Budi Gunawan adalah calon terbaik di antara yang terburuk. Toh
faktanya, di jajaran jendral bintang tiga tidak seluruhnya memiliki
catatan buruk mengenai korupsi.
Maka, jika presiden Jokowi
dan juga elite politik yang terkait dengan proses pencalonan Kapolri
mendatang peduli dengan suara dan keluhan masyarakat, ada baiknya
kembali duduk bersama dan mencari format tepat guna mencari figur baru
yang sekiranya tidak mendapatkan resistensi dari masyarakat. Alternatif
lainnya adalah mengundur proses itu dan tetap mempercayakan pucuk
pimpinan Kapolri pada Jendral Sutarman hingga masa pensiun tiba. Atau
kalaupun dipaksakan pergantian kepemimpinan Polri, Presiden seyogyanya
tidak melantik Budi Gunawan hingga proses hukum di KPK tuntas. Presiden
bisa meminta nama lain kepada institusi Polri maupun Kompolnas untuk di
ajukan ulang ke DPR.
Penulis : Komandan Gubrak
Tidak ada komentar