KUDETA YANG (BELUM) GAGAL DI TURKI
Oleh : Mohammad Hafidz Atsani
15 Juli 2016.
Sekelompok anggota militer berseragam tentara Turki keluar dari barak dan mulai
menyebar di kota Ankara (Ibukota Turki) dan Istambul. Berbekal peralatan
tempur. Baik senjata ringan maupun berat. Selain itu, mereka juga mengerahkan
tank, jet tempur serta helikopter. Menutup bandara, memblokir jalan, jembatan, dan memaksa pengendara kembali ke
asalnya. Selain itu, mereka juga menyerbu stasiun TV dan memaksa kru media
untuk menyiarkan maklumat kudetanya. Mereka juga dikabarkan menahan panglima
militer Turki. Bunyi ledakan dan tembakan menggelegar di beberapa lokasi kota
Ankara.
Nun jauh di
kota Marmaris, Presiden Erdogan melalui siaran FaceTime menyerukan kepada
rakyat Turki untuk melawan upaya kudeta yang dilakukan militer. Tak lama
kemudian ribuan orang turun ke jalan memprotes langkah angkatan bersenjata
Turki. Sempat terjadi bentrok antar aparat loyalis Erdogan dan faksi pro kudeta.
Dilaporkan sedikitnya 17 polisi tewas tertembak. Bentrokan juga terjadi antara
warga sipil pro Erdogan dengan kawanan tentara. Selang berapa lama, sekelompok
unit militer dari komando pasukan khusus yang loyal pada Erdogan bergerak
mengamankan keadaan. Bersama para demonstran yang anti kudeta, mereka menangkap
kawanan tentara yang ingin menggulingkan pemerintah. Tepat pada pukul 04.40
waktu Turki atau 5 jam setelah aksi kudeta berlangsung, Komandan Pasukan Khusus
Turki, Zekai Aksakalli mengumumkan situasi ibukota dalam keadaan kondusif. Aksi
kudeta itu tidak didukung sepenuhnya oleh pihak militer. Situasi kota Ankara
dan Istambul akhirnya berada dalam kendali pemerintah. Presiden Erdogan muncul
di Istambul dan disambut meriah oleh para pendukungnya.
Fethullah Gullen (sumber : gulen-movement.net) |
Pertanyaannya,
apakah kegagalan kudeta militer kali ini menunjukkan bahwa pemerintah Turki di
bawah Reccep Thayyib Erdogan sudah sepenuhnya menang ?.
Menurut
hemat penulis, kegagalan kubu anti Erdogan kali ini belum tentu menjadi yang
terakhir. Jika menilik sejarah konflik politik di Turki, upaya merongrong
kewibawaan pemerintah yang sah melalui pemilu ini bukanlah yang pertama
kalinya. Awal November 2015 silam, kepolisian Turki menangkap puluhan aktifis
organisasi keagamaan pimpinan Fethullah Gullen yang anti Erdogan di 18 Provinsi.
Penangkapan itu berlangsung beberapa hari setelah AKP (Partai Erdogan)
dikukuhkan sebagai pemenang pemilu Turki. Jauh sebelumnya di tahun 1997,
militer Turki pernah melakukan kudeta atas pemerintahan Partai Islam Rafah dan
berhasil.
Hampir mirip
dengan peristiwa penangkapan aktifis organisasi keagamaan yang terjadi pada
tahun 2015 lalu, sosok sentral yang dituding menjadi biang keladi kudeta kali
ini adalah Fethullah Gullen. Ulama sufi yang berdomisili di Pensylvania Amerika
Serikat ini memang memiliki pengaruh luar biasa di kalangan rakyat Turki.
Melalui Gerakan Hizmet atau lazim disebut Gerakan Gullen, mereka mengembangkan
jaringan pendidikan berbasis agama seantero Turki dan dunia. Para pengikut
Gullen juga banyak mengisi pos pos pemerintahan. Terutama jaksa dan kepolisian.
Ini pula yang membuat Erdogan murka manakala kasus korupsinya diangkat ke meja
pengadilan pada awal 2014 lalu. Erdogan menuduh bahwa kasus korupsi yang
melibatkannya hanyalah upaya terselubung dari pengikut Gullen untuk menyingkirkannya
dari pemerintahan. Oleh sebab itu dengan sigap Erdogan melaksanakan operasi
pembersihan atas pengikut Gullen di kepolisian dan kejaksaan. Tak kurang dari
800 polisi berbagai tingkatan dipecat, dibebastugaskan dan dipindahkan. Media
lokal malah menyebut bahwa jumlah aparat kepolisian yang dipecat mencapai 6000
polisi.
Fethullah
Gullen dan gerakan Hizmetnya kini menjadi momok paling menakutkan bagi Erdogan.
Padahal jika ditilik dari masa lalu, mereka pernah terlibat kerjasama politik
yang erat. Mereka pernah bahu membahu menentang kudeta militer atas
pemerintahan Necmetin Erbakan dari Partai Islam Rafah. Perjuangan keduanya
menemui momentum ketika AKP (Sempalan Partai Islam Rafah) yang dipimpin Erdogan
memenangkan pemilu 2002. Namun persekutuan Erdogan dan Gullen tak berjalan
lama. Perbedaan pandangan dan ideologi membuat hubungan mereka semakin menjauh dan
malah berubah jadi permusuhan yang berlarut larut.
Terlepas
dari benar tidaknya tudingan kubu Erdogan pada sosok Gullen, kudeta militer
kali ini menunjukkan adanya peningkatan eskalasi konflik politik pasca kemenangan
dramatis AKP tahun lalu. Terbukti bahwa militer (meski dianggap hanya sebagian
kecil) yang semula cenderung diam kini mulai terang terangan ingin mendongkel Erdogan.
Ini artinya, jumlah musuh politik Erdogan kian bertambah. Selain daripada itu,
Erdogan juga terbebani oleh persoalan domestik maupun internasional. Kebijakan
tangan besi yang diberlakukan Erdogan pada kelompok separatis Kurdi (mundurnya
PM Ahmet Davutoglu di duga karena perbedaan pandangan atas penanganan Kurdi),
kemudian campur tangan Turki yang terlalu dalam atas konflik di Suriah adalah
persoalan yang bisa saja jadi amunisi bagi lawan lawan politiknya di masa
depan. Dan tak kalah pentingnya, meningkatnya infiltrasi kelompok radikal Islam
di Turki tentu akan menambah beban masalah. Serangan bom mobil pada Februari
silam yang mengakibatkan puluhan nyawa melayang adalah bukti betapa kian
rapuhnya rezim Erdogan. Jika Erdogan tidak mampu mengatasi keadaan, maka
kejatuhan pemerintahannya hanya tinggal menunggu waktu. Apalagi jika benar
telah terjadi persekutuan yang solid antara pendukung Gullen dan militer.
Bagaimanapun, militer Turki masih menyimpan kenangan indah ketika mereka sukses
menggulingkan Necmetin Erbakan (guru politik Erdogan) dan bisa jadi akan
kembali melancarkan aksinya. Kolaborasi antara militer, gerakan Gullen serta
kelompok oposisi lainnya masih mungkin terjadi. Apalagi jika petualangan
Erdogan di negara tetangganya berujung kerugian bagi Turki, nasib Erdogan makin
diujung tanduk.
Tidak ada komentar